Semarang yakni satu-satunya kota besar di Jawa yang tidak dilayani Staatsspoorwegen (SS). Tapi sebaliknya dilayani oleh tiga perusahaan kereta api swasta ternama di masa itu: selain Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) juga Samarang-Joana Stoomstram Maatschappij (SJS) dan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). SJS dengan jaringan sekitar 400 kilometer menghubungkan Semarang dengan Cepu dan Blora, lewat Demak dan Rembang. Selain itu SJS mengoperasikan trem kota Semarang Jomblang – Bulu. Sedang SCS dengan jaringan sekitar 230 kilometer menghubungkan Semarang dengan Cirebon, lewat Pekalongan dan Tegal. NIS sendiri kemudian memperluas jaringannya dengan membangun lintasan ke Surabaya lewat Brumbung, Gambringan, Cepu dan Bojonegoro dengan lebar sepur 1067 mm.
Keadaan Semarang itu, yang seakan-akan suasana perkeretaapian di Paris menimbulkan duduk kasus tersendiri. Ketiga perusahaan itu mempunyai jaringan terpisah yang tidak berhubungan, kecuali secara tidak langsung. Lebar sepur juga berbeda; 1435 mm (NIS jurusan Solo dan Yogya) dan 1067 mm (NIS jurusan Surabaya, SJS dan SCS). Keadaan ini cukup merepotkan, tidak cuma bagi penumpang tetapi (terutama) untuk transportasi barang. Akibat jaringan yang terpisah, masing-masing perusahaan itu mempunyai stasiun yang terpisah pula. Tidak kurang dari lima stasiun kereta api pernah berdiri di Semarang (tidak tergolong halte trem Bulu-Jomblang).
STASIUN SEMARANG NIS (1867)
Stasiun pertama di Semarang (yang mempunyai arti juga pertama di Indonesia) yakni stasiun Semarang NIS yang terletak di Tambaksari, kelurahan Kemijen. Stasiun ini mulai dipakai serempak dengan beroperasinya kereta api Semarang - Tanggung pada 1867. Stasiun Samarang NIS yakni stasiun ujung (terminus, kopstation) berupa U. Satu sayap yakni gudang barang, sedang sayap lainnya stasiun penumpang.
Ada beberapa sumber yang menyebutkan stasiun pertama di Semarang yakni stasiun Kemijen. Sebenarnya NIS tidak pernah mempunyai stasiun yang berjulukan Stasiun Kemijen. Yang ada yakni halte Kemijen (SJS), yang terletak tidak jauh dari stasiun Samarang NIS. Halte Kemijen berada pada jalur Semarang – Demak. Ketika NIS ini dirobohkan untuk memasang rel menuju ke Tawang, sebagian stasiun Samarang NIS dirobohkan untuk memasang rel menuju ke Tawang, dengan cuma menyisihkan gudang barang. Sekarang stasiun Samarang NIS dipahami selaku stasiun Semarang Gudang.
STASIUN JURNATAN
Pada tahun 1882 SJS memulai pembangunan jalur kereta api dari Semarang ke Juana lewat Demak, Kudus dan Pati. Jalur SJS ini kemudian diperpanjang hingga ke Blora lewat dua rute: Semarang-Rembang-Blora dan Semarang-Purwodadi-Blora. Dari Blora pembangunan rel kemudian diteruskan hingga ke Cepu. Di Semarang SJS membangun stasiunnya di Joernatanweg (sekarang jalan Agus Salim). Karena pada waktu itu letak stasiun ini berada di tengah-tengah kota, maka disebut Central St ation.
Di jalan Bojong (yang di saat itu masih ialah kawasan pinggiran kota) banyak ditemukan rumah-rumah besar dengan kebun yang luas (dalam bahasa Belanda disebut landhuis). Pada mulanya stasiun Jurnatan hanyalah berupa bangunan kayu sederhana. Namun pada tahun 1913 stasiun kecil itu dibongkar dan digantikan oleh suatu bangunan gres yang besar dan megah dengan konstruksi atap dari baja dan kaca. Meski stasiun Jurnatan berada di final jaringan SJS, bangunan gres itu tidak dirancang selaku stasiun ujung (terminus atau kopstation) ttapi berupa stasiun paralel, yakni dengan satu segi memanjang selaku pintu masuk utama sedangkan di segi seberangnya terdapat peron-peron.
Mulai 1974 stasiun Jurnatan tidak difungsikan lagi dan semua kereta api jurusan Demak dialihakan ke stasiun Tawang. Tak usang kemudian seluruh jaringan kereta api eks SJS ditutup alasannya yakni tidak dapat berkompetisi dengan moda transportasi darat lain. Stasiun Jurnatan sempat terlantar namun kemudian dimanfaatkan selaku termnal bus antar kota. Tetapi ini juga tidak berjalan usang dan pada permulaan tahun 1980-an bangunan stasiun Jurnatan dibongkar dan ditempatnya kini berdiri suatu komplek pertokoan.
STASIUN PENDRIKAN
Stasiun Pendrkan yakni stasiun ketiga di Semarang, sehabis stasiun Tambaksari dan stasiun Jurnatan. Stasiun ini dibangun oleh SCS, suatu perusahaan swasta yang memperoleh konsesi untuk membuka jalur kereta api dari semarang ke Cirebon. Stasiun Pendrikan sudah ada sejak 1897 serempak dengan pembangunan jalur itu. Disebut stasiun Pendrikan alasannya yakni terletak di kawasan Pendrikan Lor, di sebelah utara jalan Indrapasta sekarang, tidak jauh dari perempatan Jalan Indraprasta, Jalan Imam Bonjol dan Jalan Pierre Tendean yang di saat itu masih ialah kawasan pingiran kota.
Jalan kereta api Semarang – Cirebon melulalui Pekalongan dan Tegal disebut juga “jalur gula” (Suikerlijn) karen pembangunannya semula untuk melayani tidak kurang dari 27 pabrik gula yang berada di pantai utara Jawa Tengah bab barat. Jalur ini tadinya cuma jalur rel ringan yang dibangun di segi jalan raya. Karena konstruksi yang ringan kecepatan maksimum kereta api cuma 35 km/jam. Tetapi antara 1912-1921 jalur ini ditingkatkan sehingga kereta api yang lebih singkat dan berat bisa melintasinya. Sejak itu jalur ini menjadi bab yang penting hubungan rel antara Jakarta (Batavia), Semarang dan Surabaya.
Stasiun Pendrikan berfungsi hingga 1914 di saat stasiun SCS yang gres di Poncol selesai dibangun dan mulai beroperasi. Namun meski dipakai cukup lama, stasiun Pendrikan bahu-membahu tidak patut disebut selaku stasiun dan lebih sempurna disebut selaku halte. Memang stasiun ini sejak semula tidak dirancang selaku tempat naik dan turun penumpang. Para penumpang SCS memulai dan mengkahiri perjalanan mereka di stasiun Jurnatan milik Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS).
Untuk meraih stasiun Jurnatan kereta api SCS lewat jalur trem kota yang melintasi Bojong (Jalan Pemuda). Saat ini stasiun Pendrikan dan emplasemennya sudah menjelma kawasan perumahan yang padat, sehingga tidak mengherankan bahwa sedikit sekali warga Semarang yang tahu bahwa dahulu di Pendrikan pernah ada stasiun kereta api.
STASIUN SEMARANG PONCOL
Pada 6 Agustus 1914 SCS resmi menggunakan stasiun gres di kawasan Poncol. Karena berada di pinggir barat kota Semarang stasiun itu disebut Semarang – West. Stasiun Semarang – West ini dirancang oleh Henry Maclaine – Pont yang antara lain juga mendesain kampus ITB. Bagian tengah bangunan itu, yang sekaligus ialah pintu masuk utama dihiasi dengan ubin berwarna hitam dan abu-abu. Pada panel di kiri dan kanan bangkit terdapat goresan pena SCS dan angka tahun 1914 yang dibikin dari ubin hitam dan keemasan. Sebuah jam berada di puncak bangunan. Sayang, semua pernak-pernik itu sudah tidak ada lagi sehingga hilang pula keindahan bangunan itu. Ditambah lagi peron yang semula terbuka kini tertutup dinding sehingga kesan ringan bangunan hilang.
Meski berada pada ujung jalur Semarang – Cirebon, stasiun Semarang West berupa stasiun paralel. Sejak semula memang direncakan stasiun ini akan dihubungkan dengan stasiun yang gres di Tawang selaku stasiun utama Semarang. Tapi gres pada 1940, sehabis pecah Perang Dunia II, atas desakan pihak militer, rencana itu betul-betul menjadi kenyataan. Pihak militer menyaksikan bahwa tidak adanya hubungan antara Semerang – West dan Tawang ialah titik lemah dalam pertahanan pantai utara Jawa yang di saat itu terancam serbuan Jepang. Saat ini stasiun Semarang – West ini dinamakan stasiun Semarang Poncol yang ialah stasiun pemberangkatan dan kemunculan untuk KA kelas ekonomi.
STASIUN SEMARANG TAWANG
Stasiun Tawang didirikan penggunaannya pada 1 Juni 1914. Stasiun ini dibangun untuk mengambil alih stasiun Samarang NIS di Tambaksari yang dianggap sudah tidak mencukupi lagi sekaligus menyambut Koloniale Tentoonstelling, ekspo internasional untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol yang diadakan di kota Semarang.
Stasiun ini yakni yang terakhir dibangun di Semarang hingga dikala ini. Proses pembangunannya berjalan sekitar tiga tahun. Rancangan bangunan ini dibentuk oleh Ir. Sloth Blauwboer yang diperkirakan yakni staff NIS. Meski hasil rancangannya terkesan megah, kode direksi NIS di Den Haag lebih menekankan pada bangunan yang fungsional.
Stasiun Tawang dirancang selaku perhentian kereta api jurusan Solo dan Yogya lewat rel 1435 mm. Pada 1924 Tawang menjadi perhentian kereta api Surabaya lewat Brumbung, Gambringan dan Cepu denganlebar sepur 1067 mm. Untuk itu dibangun peron gres di utara peron sepur lebar.
Sampai kini stasiun besar Tawang masih berfungsi selaku stasiun utama Semarang untuk pemberangkatan dan kemunculan KA kelas direktur dan bisnis. Setiap tahun tidak kurang dari 600.000 penumpang menggunakan stasiun ini.
Written by: Tjahjono Rahardjo
0 Komentar untuk "Kilas Sejarah Stasiun-Stasiun Ka Di Semarang"