“Nrima itu tidak “ngaya” tapi bukannya kurang upaya. Orang “nrima” tetap berupaya biar cita-citanya tercapai. Bukannya menjadi orang yang tidak mau ikhtiar. Bila tanpa upaya samasekali, namanya bukan “nrima” lagi melainkan malas. Orang malas cuma mau enaknya tidak mau kerja kerasnya, “gelem ngemplok suthik tombok” alias mau makan tapi tidak mau keluar biaya. Yang menyerupai ini yakni orang tidak tahu aib dan dihindari dari kehidupan masyarakat.
njagakake endhoge si Blorok”. Si Blorok yakni ayam kampung betina yang kita tunggu-tunggu telurnya. Dia akan bertelur terserah kapan ia mau. Apalagi ia cari makan sendiri di luar sana sebab tidak pernah kita beri makan secara rutin.
Ada lagi mental “thenguk-thenguk nemu kethuk”. Ya memang sering kali ada orang yang praktis mendapatkan sesuatu tanpa kerja, tapi kan tidak semua orang. Atau barangkali waktu kecil suka membaca “Donal Bebek” dan mengidolakan “Untung Bebek” yang senantiasa mendapat apa saja tanpa kerja, sementara Donal Bebek perjuangan tapi senantiasa apes. Ketika si pemalas ini melakukan pekerjaan kemudian ia merasa sudah perjuangan tapi hasil yang diperoleh tidak memadai, ia cepat keluh kesah menyampaikan “gupak pulute ora mangan nangkane”, sanggup getahnya tidak makan nangkanya. . Lebih baik kita meneladani Donal Bebek. Bagaimanapun ia terus berupaya.
Jarang orang sanggup menempatkan rasa “nrima” atas apa saja yang dicapainya. Umumnya insan tidak pernah merasa cukup dan akan mencari tambahan. Ternyata setelah bertambah ia masih merasa kurang juga. Saat sudah berlebih-lebihan ia akan berupaya biar tidak ada orang lain yang menyamai. Manusia dengan hati menyerupai itu bekerjsama kasihan. Hidup senantiasa “ngaya”, senantiasa dikejar-kejar. Kemudian untuk mengejar-ngejar apa yang ia harapkan ia sanggup bertindak yang tidak sebaiknya dan menyimpang dari sikap benar. Sebenarnya rasa “tidak pernah puas” kepada hasil kerja atau kiprah yang sedang diemban, sepanjang tidak “ngaya” ialah cambuk yang bagus untuk kemajuan.
Perlu dicatat bahwa orang yang sudah puas dengan capaiannya belum pasti masuk katagori nrima. Ada seorang tukang becak habis nggenjot keliling-keliling kota ngantar wisatawan bule “sightseeing” dikasih selembar duit 20 ribu eksklusif pulang. Padahal hari masih pagi. Masih banyak waktu dalam jam kerja normalnya yang terbuang percuma. Ini bukanlah nrima. Justru tergolong katagori pemalas.
Keuntungan orang yang mempunyai hati “nriman” senantiasa hening dan nyaman hidupnya, sebab semua tingkah-lakunya senantiasa dilandasi kepercayaan yang tebal atas “kadar” derma Allah. “Nrima” bukan memiliki arti puas dengan apa yang ada tapi justru sebaliknya orang “nriman” tidak mau diam. Hanya saja tindakannya tidak pernah grusa-grusu, kemrungsung menyerupai orang yang “ngaya” seolah tidak mau mengakui adanya “pandum” untuk masing-masing manusia. Orang “Nrima” tidak pernah mengumpat atas hasil yang ia peroleh, sebab sudah ada “pandum” dari Tuhan. Ia merubah umpatannya dengan menghibur diri bahwa rejeki yang ia terima sudah dikontrol timbangannya sesuai dengan perbuatannya dan yang penting apa yang ia dapatkan berasal dari perbuatan tidak tercela. (IwMM)
0 Komentar untuk "Nrima Ing Pandum"