Wani Silit Wedi Rai Dan Tumbak Cucukan


Wani: Berani; Silit: Anus; Wedi: Takut; Rai: Wajah. “Silit” tempatnya di bab belakang sedangkan “Rai” di bab depan. Jelas sekali bahwa sebutan ini memiliki arti orang yang beraninya cuma dari belakang. Bukan berati orang yang menusuk kita dari belakang. Ungkapan ini tidak ada kaitannya dengan serangan fisik dari belakang, tapi serangan lisan pada di saat yang bersangkutan tidak ada di hadapan kita.
 

WANI SILIT WEDI RAI

Hal seumpama ini banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kita ambil pola di saat ibu-ibu sedang kumpul, dapat kumpul bersiklus seumpama waktu arisan, atau kumpul tidak bersiklus misalnya sore-sore di depan rumah. Semula dua orang lama-lama dapat duabelas orang. Kebanyakan “ngrasani” ibu lain yang tidak ada di situ. Mulai hal kecil hingga hal besar, mulai hal biasa hingga hal khusus. Ketika ibu yang dirasani tahu-tahu muncul, mungkin alasannya merupakan perasaan tidak lezat kemudian keluar rumah, atau secara kebetulan saja, obrolan pun tahu-tahu beralih. Bahkan mungkin memuji-muji ibu yang tadi dirasani jelek.

Apalagi di kantor, “ngrasani” bos merupakan hal biasa. Bos yang bagus pun dapat dirasani. Dan susahnya jarang ada orang “ngrasani” hal-hal yang baik. Mulai dari sikap eksklusif hingga sikap kepemimpinan, atau membanding-bandingkan dengan bos terdahulu. Padahal bos yang dahulu pun juga dirasani jelek. Ketika diundang boss atau rapat dengan boss, yang tadinya merupakan materi “rasan-rasan” tidak timbul samasekali. Kata-kata yang banyak terdengar hanyalah: “baik, Pak”, atau “Siap Ibu”.

Di dunia pewayangan pun hal ini berlaku. Pada waktu Korawa final mengikuti paseban, sehabis keluar kemudian mempersiapkan barisan, Ki Dhalang dengan mahirnya memperlihatkan tokoh-tokoh yang “wani silit wedi rai” ini. Disitu ada patih Sangkuni, Dursasana, Citraksa, Citraksi, Durmagati dan lain-lain. Kalau nanti ketemu tokoh Pandawa, seumpama Gatutkaca atau Antasena, sesumbarnya seumpama membelah langit. Untuk mengalahkan ... “sipil” kata orang Jogja. Ketika ketemu betul, belum berperang telah lari.


TUMBAK CUCUKAN

Ngrasani” itu nikmat, “wani silit wedi rai” itu pengecut yang aman, sepanjang tidak ada diantara kita orang yang “tumbak cucukan”. (Tumbak: Tombak; Cucuk: paruh burung). Yaitu orang yang suka “wadul-wadul” atau mengadu. Mungkin ia malah memancing-mancing untuk menemukan materi “wadul” nya. Orang “tumbak cucukan” umumnya telah dikenali teman-temannya. Ia juga jadi materi rasanan tersendiri. Dia juga punya kenikmatan tersendiri jikalau dapat “wadul” dan yang “diwadulkan” dapat saja lebih besar dari ceritera yang digossipkan. Wadul tidak cuma terhadap boss tapi juga dapat terhadap kawan dekat yang lain. Ia dapat dianggap selaku intel atau tukang mencerai-beraikan di saat kemudian ia “wadul” sana sini.
 

KESIMPULAN

Hidup ini mestinya jangan menjadi keduanya, “wani silit wedi rai” dan “tumbak cucukan”. Persaudaraan dapat rusak, korelasi atasan bawahan juga dapat kacau. Hidup telah sarat masalah, jangan memperbesar perkara lagi dengan gossip dan mencerai-beraikan (IwMM).

 

Related : Wani Silit Wedi Rai Dan Tumbak Cucukan

0 Komentar untuk "Wani Silit Wedi Rai Dan Tumbak Cucukan"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)