Ora: tidak; Uwur: Gerakan tangan (dalam hal ini menabur); Sembur: Yang dijalankan lisan (menyemburkan sesuatu, tergolong ucapan).
Kembali kalangan “Diskusi Tanpa keputusan” kami bertemu. Sekedar diketahui, kalangan ini hingga kini tidak memiliki nama. Tempo hari Darman menganjurkan nama “DTK” namun mbah Harjo tidak suka, sanggup diplesetkan menjadi “Dana Taktis Kelompok” padahal dana taktis kalangan kebanyakan berasal dari dapur mbah Harjo putri. Nanti dikira mbah Harjo minta dana taktis, padahal eksistensi dana taktis sanggup membahayakan institusi. Toni menganjurkan nama “Distan” sama juga dengan abreviasi “Diskusi Tanpa Keputusan” sekaligus ada makna “distant” yang lebih baik tidak usah diterangkan alasannya merupakan telah diprotes Darman, nama itu tidak “njawani”.
Kali ini Darman yang membuka obrolan bahwa waktu tujuhbelasan tempohari ia menjadi sekretaris panitia di Kelurahannya. Ternyata menjadi sekretaris itu berat. Ada saja orang yang tidak mau partisipasi samasekali. Diminta tunjangan ada saja alasannya, disuruh ikut kerja juga tidak kurang dalihnya. Tapi waktu resepsi tiba dan makan banyak. Tahun baruan nanti dia tidak mau jadi sekretaris.
Mbah Harjo yang paling sepuh menyaksikan Darman dengan tatapan kasihan. “Man, kau masih muda jangan cepat patah semangat”. Selanjutnya dia menyodorkan pidato, kali ini sungguh-sungguh selaku orang tua.
“Tuhan menganugerahi insan mata, telinga, kaki dan tangan bukan tidak ada manfaatnya. Adanya dua mata supaya kau banyak melihat. Dengan banyak menyaksikan kau sanggup menganggap kondisi insan dan alam. Kamu punya dua pendengaran supaya banyak yang didengar. Dengan menyaksikan dan mendengar maka otakmu sanggup mengolah dan menyeleksi hidup ini maksudnya untuk apa. Selanjutnya Tuhan menganugerahkan dua tangan dan dua kaki, supaya banyak yang sanggup kau lakukan untuk kebaikan hidup bermasyarakat”
Semua orang membisu mendengarkan. Mudah-mudahan Toni (yang bukan orang Jawa) tahu alasannya merupakan mbah Harjo menyodorkan dalam bahasa Jawa menyerupai ini:
“Allah maringi manungsa peranganing awak iku wis kasalarasake kanggo urip bebrayan. Diparingi mripat loro perlune supaya akeh kang dideleng. Yen akeh sing mbok deleng kowe sanggup weruh ala becike kahanan lan jaman. Nanging kudu mbok olah nganggo nalar. Mulane kowe diparingi telinga loro supaya akeh sing mbok rungu. Dadi sanggup mbok pilah maneh apa sing becik. Isih tambah maneh diparingi tangan loro lan sikil loro supaya akeh sing mbok tandangi, nanging kudu mbok pilih sing murakabi kanggo bebrayan agung”.
“Bagaimana, Man?” tanya mbah Harjo terhadap Darman, namun sebelum Darman menjawab diiris Toni: “Mbah, kalimat terakhir tadi, yang pakai murah ... maksudnya apa?”
“Murakabi kanggo bebrayan agung, Ton. Maksudnya berharga untuk masyarakat”, Darman yang menjawab, kemudian dilanjutkan: “Mbah, saya ngerti. Tapi coba mbah Harjo jadi saya. Sudah kerja sungguh-sungguh, ada orang yang tidak mau bantu samasekali. Saya betul-betul kecewa. Orang menyerupai itu mestinya disuruh pindah saja dari kampung saya”.
“Orang menyerupai itu memang senantiasa ada dalam kehidupan manusia. Dan memang mesti ada selaku teladan tidak baik untuk semangat tolong-menolong bangsa kita. Dari dahulu ya telah ada Man,orang menyerupai itu, dan para sesepuh dahulu menyebut selaku orang yang ora uwur ora sembur”, lanjut mbah Harjo.
“Wah, ilmu gres mbah. Ora uwur ora sembur. Penjelasannya, mbah?” Tanya Toni.
“Gantian Bagyo yang menjelaskan, masa dari tadi saya terus yang ngomong”, jawab mbah Harjo sambil menoleh ke mas Bagyo.
“Ngetes ya mbah?” Mas Bagyo tersenyum. “Jangan kawatir, saya tidak akan mengecewakan”, Sambil menggeser letak kakinya mas Bagyo melanjutkan: “Uwur itu gerakan tangan menabur. Pengertiannya kita ikut serta dengan menabur. Mulai bantu-bantu angkat dingklik hingga memberi tunjangan uang. Sedangkan sembur, siapa lagi yang sanggup nyembur kecuali mulut. Tapi dalam hal ini merupakan sembur yang baik, misalnya menampilkan saran-saran atau partisipasi lain yang menggunakan mulut, namun bukan lisan waton njeplak mencela kiri kanan tati tanpa rekomendasi solusi. Betul ya mbah?”
Mbah Harjo menganggukkan kepalanya. “Teruskan Bag, kesimpulannya bagaimana?”.
“Kesimpulannya ....”, mas Bagyo berpikir sejenak. “Orang yang ora uwur ora sembur merupakan orang yang tidak mau melakukan apa-apa, tidak mau dukungan samasekali. Padahal dia punya mata, telinga, kaki dan tangan masing-masing dua”.
Mas Bagyo menoleh ke mbah Harjo seperti minta persetujuan. “Hebat Bag, saya sanggup bicara namun belum pasti sanggup menyimpulkan sebagus kamu”, kata Mbah Harjo.
“Orang menyerupai itu mesti menimba ilmu jadi manusia, mbah”, Timpal Toni.
Mbah Harjo tertawa keras. “Karena kau bukan Jawa, Ton. Maka kesimpulanmu sanggup lugas. Itu kelebihanmu”.
Tiba-tiba Darman lari keluar, mengundang pedagang Mie yang kebetulan lewat. “Makan mie ya, saya yang uwur”.
Semua tertawa (IwMM)
Kembali kalangan “Diskusi Tanpa keputusan” kami bertemu. Sekedar diketahui, kalangan ini hingga kini tidak memiliki nama. Tempo hari Darman menganjurkan nama “DTK” namun mbah Harjo tidak suka, sanggup diplesetkan menjadi “Dana Taktis Kelompok” padahal dana taktis kalangan kebanyakan berasal dari dapur mbah Harjo putri. Nanti dikira mbah Harjo minta dana taktis, padahal eksistensi dana taktis sanggup membahayakan institusi. Toni menganjurkan nama “Distan” sama juga dengan abreviasi “Diskusi Tanpa Keputusan” sekaligus ada makna “distant” yang lebih baik tidak usah diterangkan alasannya merupakan telah diprotes Darman, nama itu tidak “njawani”.
Kali ini Darman yang membuka obrolan bahwa waktu tujuhbelasan tempohari ia menjadi sekretaris panitia di Kelurahannya. Ternyata menjadi sekretaris itu berat. Ada saja orang yang tidak mau partisipasi samasekali. Diminta tunjangan ada saja alasannya, disuruh ikut kerja juga tidak kurang dalihnya. Tapi waktu resepsi tiba dan makan banyak. Tahun baruan nanti dia tidak mau jadi sekretaris.
Mbah Harjo yang paling sepuh menyaksikan Darman dengan tatapan kasihan. “Man, kau masih muda jangan cepat patah semangat”. Selanjutnya dia menyodorkan pidato, kali ini sungguh-sungguh selaku orang tua.
“Tuhan menganugerahi insan mata, telinga, kaki dan tangan bukan tidak ada manfaatnya. Adanya dua mata supaya kau banyak melihat. Dengan banyak menyaksikan kau sanggup menganggap kondisi insan dan alam. Kamu punya dua pendengaran supaya banyak yang didengar. Dengan menyaksikan dan mendengar maka otakmu sanggup mengolah dan menyeleksi hidup ini maksudnya untuk apa. Selanjutnya Tuhan menganugerahkan dua tangan dan dua kaki, supaya banyak yang sanggup kau lakukan untuk kebaikan hidup bermasyarakat”
Semua orang membisu mendengarkan. Mudah-mudahan Toni (yang bukan orang Jawa) tahu alasannya merupakan mbah Harjo menyodorkan dalam bahasa Jawa menyerupai ini:
“Allah maringi manungsa peranganing awak iku wis kasalarasake kanggo urip bebrayan. Diparingi mripat loro perlune supaya akeh kang dideleng. Yen akeh sing mbok deleng kowe sanggup weruh ala becike kahanan lan jaman. Nanging kudu mbok olah nganggo nalar. Mulane kowe diparingi telinga loro supaya akeh sing mbok rungu. Dadi sanggup mbok pilah maneh apa sing becik. Isih tambah maneh diparingi tangan loro lan sikil loro supaya akeh sing mbok tandangi, nanging kudu mbok pilih sing murakabi kanggo bebrayan agung”.
“Bagaimana, Man?” tanya mbah Harjo terhadap Darman, namun sebelum Darman menjawab diiris Toni: “Mbah, kalimat terakhir tadi, yang pakai murah ... maksudnya apa?”
“Murakabi kanggo bebrayan agung, Ton. Maksudnya berharga untuk masyarakat”, Darman yang menjawab, kemudian dilanjutkan: “Mbah, saya ngerti. Tapi coba mbah Harjo jadi saya. Sudah kerja sungguh-sungguh, ada orang yang tidak mau bantu samasekali. Saya betul-betul kecewa. Orang menyerupai itu mestinya disuruh pindah saja dari kampung saya”.
“Orang menyerupai itu memang senantiasa ada dalam kehidupan manusia. Dan memang mesti ada selaku teladan tidak baik untuk semangat tolong-menolong bangsa kita. Dari dahulu ya telah ada Man,orang menyerupai itu, dan para sesepuh dahulu menyebut selaku orang yang ora uwur ora sembur”, lanjut mbah Harjo.
“Wah, ilmu gres mbah. Ora uwur ora sembur. Penjelasannya, mbah?” Tanya Toni.
“Gantian Bagyo yang menjelaskan, masa dari tadi saya terus yang ngomong”, jawab mbah Harjo sambil menoleh ke mas Bagyo.
“Ngetes ya mbah?” Mas Bagyo tersenyum. “Jangan kawatir, saya tidak akan mengecewakan”, Sambil menggeser letak kakinya mas Bagyo melanjutkan: “Uwur itu gerakan tangan menabur. Pengertiannya kita ikut serta dengan menabur. Mulai bantu-bantu angkat dingklik hingga memberi tunjangan uang. Sedangkan sembur, siapa lagi yang sanggup nyembur kecuali mulut. Tapi dalam hal ini merupakan sembur yang baik, misalnya menampilkan saran-saran atau partisipasi lain yang menggunakan mulut, namun bukan lisan waton njeplak mencela kiri kanan tati tanpa rekomendasi solusi. Betul ya mbah?”
Mbah Harjo menganggukkan kepalanya. “Teruskan Bag, kesimpulannya bagaimana?”.
“Kesimpulannya ....”, mas Bagyo berpikir sejenak. “Orang yang ora uwur ora sembur merupakan orang yang tidak mau melakukan apa-apa, tidak mau dukungan samasekali. Padahal dia punya mata, telinga, kaki dan tangan masing-masing dua”.
Mas Bagyo menoleh ke mbah Harjo seperti minta persetujuan. “Hebat Bag, saya sanggup bicara namun belum pasti sanggup menyimpulkan sebagus kamu”, kata Mbah Harjo.
“Orang menyerupai itu mesti menimba ilmu jadi manusia, mbah”, Timpal Toni.
Mbah Harjo tertawa keras. “Karena kau bukan Jawa, Ton. Maka kesimpulanmu sanggup lugas. Itu kelebihanmu”.
Tiba-tiba Darman lari keluar, mengundang pedagang Mie yang kebetulan lewat. “Makan mie ya, saya yang uwur”.
Semua tertawa (IwMM)
0 Komentar untuk "Ora Uwur Ora Sembur: Tidak Mau Kontribusi"