“Rai gedheg” (ada yang menulis “gedhek”) merupakan sebutan metaforik Jawa yang memiliki arti “ora duwe isin” alias tidak mempunyai malu. Rai samasekali tidak ada keterkaitannya dengan Pak Rai kawan dekat saya yang orang Bali, namun “rai” disini memiliki arti wajah atau muka, sedangkan “gedheg” merupakan dinding yang yang dibikin dari anyaman bambu. Mengapa “gedheg” dikambing-hitamkan untuk mewakili orang-orang yang tak tahu aib agak susah menjelaskannya. Ada yang beropini bahwa dinding anyaman bambu itu permukaannya tidak rata dan jalinan antar bilah bambu tidak bisa sepenuhnya rapat sehingga ada celah-celah berlubang. Ketidak-rataan dan bolong-bolong inilah yang konon berkonotasi jelek.
Disisi lain dalam bahasa Indonesia kita kenal paras tembok dan paras tebal yang artinya setali tiga duit dengan “rai gedheg” yakni tidak tahu malu. Ungkapan lain yang serupa maknanya adalah: Rai teki (teki: rumput teki); Rai dhingklik (dhingklik: daerah duduk yang kakinya amat pendek); Rai trumpah (Trumpah: terompah, bakiak).
PANEL DISKUSI GEDHEG
Teman-teman yang suka berdiskusi interaktif tanpa keputusan pernah membahas hal ini di rumah mbah Harjo yang senantiasa dengan bahagia hati menawarkan kopi dan gorengan.
Kenapa rai gedheg sama dengan paras tebal atau paras tembok, padahal yang satu tidak rata sedang satunya rata?” Mas Bagyo yang suka browsing memulai pembahasan.
Toni yang spontan dan dijuluki Toni Boster (Waton muni ndobose banter) pribadi menyahut: “Gedheg itu bahasa Jawa jadi tidak tahu aib yang bersifat setempat Jawa, sedang tembok tebal alasannya dalam bahasa Indonesia ya bersifat nasional”.
“Gak dapat gitu,” kata Darman, “Gedheg terperinci untuk orang-orang jaman dahulu waktu negara kita masih banyak rumah gedheg. Sekarang alasannya telah maju dan banyak rumah tembok ya tidak rai gedheg lagi.
“Tapi kenapa koran kini suka sebut-sebut rai gedheg?” Kembali mas Bagyo konsumen koran elektronik gratis unjuk bicara. Mbah Harjo yang dari tadi membisu angkat bicara dengan kalem: “Karena gedheg telah comeback menjadi komoditas modern. Coba lihat kini banyak rumah makan dan hotel besar di kota besar memakai gedheg untuk aksesori.”
Karena "gedheg" telah jadi identitas modern, tak heran jikalau sikap "ora duwe isin" ini makin merebak. Mbah Harjo kemudian menampilkan beberapa contoh: NUCUK NGIBERAKE (sudah ikut makan, masih bawa pulang). NYALULU NRUWELU (Truwelu: kelinci). Maksudnya orang tidak ikut dipanggil hajatan, namun tiba sekedar cari makan. Mengapa Kelinci yang dijadikan contoh? Dapat kita lihat sikap kelinci yang kita umbar di pekarangan. Kalau kita keluar, ia akan tiba walau tidak dipanggil. NUMPAL KELI (Orang yang bepergian tanpa ongkos samasekali alasannya nunut teman. Ikut naik mobilnya, ikut makan jikalau mampir di warung, ikut semuanya). Walau disindir-sindir, tetap saja pakai TESMAK BATHOK (Tesmak: Kacamata; Bathok: Tempurung kelapa) dan KANDEL KUPINGE (Kandel: tebal) alias tutup mata dan telinga.
Diskusi tanpa penyelesaian ini senantiasa berhenti sendiri seiring dengan merayapnya malam dan kosongnya gelas kopi dan piring gorengan. Mbah Harjo putri punya cara yang cukup bijak untuk menyetop konsumsi sekaligus menghentikan diskusi pada di saat yang pas sehingga tidak terjadi pertumpahan ludah diantara sesama teman.
LIDING DONGENG
Hari demi hari kita senantiasa berjumpa dan mempunyai problem dengan orang-orang yang rai gedheg dan paras tembok yang tebal ini. Wah interupsi .... Ada ketokan pintu dari luar. Ketika saya bukakan, tanpa salam sang tamu pribadi nyerocos: “Nanti sore bikin hajatan ya? Saya kok tidak diundang?” Wah apeslah saya. Mas Jiman ini tidak dipanggil alasannya saya kira belum pulang dari desa.
Ketika beliau telah di luar rumah, saya menggerutu: “Dasar rai gedheg, tidak dipanggil saja kok nagih”. Padahal diluar sana, mas Jiman barangkali juga ngomel dalam nada yang sama: “Dasar rai gedheg, bikin hajatan gak mau undang teman”. Kaprikornus .... siapa bergotong-royong yang rai gedheg? Kalau toh saya, niscaya saya tidak mau mengakuinya. (IwMM).
0 Komentar untuk "Rai Gedheg Alias Tampang Tembok"