Rindik Kirik (Asu) Digitik



 

Rindik: Pelan; Kirik: Anak anjing; Gitik: Sejenis alat pemukul, bisa dari bilah bambu atau rotan). Lebih sering disebut “Rindik asu digitik”.

Purwakanthi “Rindik Kirik digitik” lebih komplit ketimbang “Rindik asu digitik”. Dilihat dari segi bahasa, ini urusan “lari”, dengan pengertian: Larinya jauh lebih singkat ketimbang “kirik” atau “asu” yang dipukul dengan “gitik”. Sedangkan dari segi peribahasa, ini bukan problem lari. Beda dengan ungkapan “playune sipat kuping” ini memang sungguh-sungguh lari lintang pukang, misalnya pencuri yang tertangkap berair warga, namun bukan demikian halnya dengan "rindik kirik digitik"

“Rindik kirik/asu digitik” yaitu wacana menjalankan sesuatu. Kita akan serta merta menjalankan begitu memperoleh perintah. Begitu cepatnya sehingga lebih singkat ketimbang anjing yang dipukul pantatnya pakai gitik. Kalau begitu kan bagus. Nanti dulu, sebab ungkapan ini digunakan untuk seseorang yang menjalankan sesuatu yang ia sukai. Misalnya saja ada ibu memerintahkan anaknya beli sate di warung pak Kromo. Maka “rindik kirik/asu digitik” si anak secepatnya meninggalkan permainannya dan bergegas ke warung pak Kromo. Kalau disuruh belajar, ya kembali klelat-klelet nguler kambang, wong masih asyik bermain kok disuruh belajar.

Sifat menyerupai ini kita bawa hingga dewasa. Mau dikatakan jelek ya tidak jelek-jelek banget. Rasanya manusiawi juga, kalau mengasyikkan ya cepat, sebaliknya kalau tidak mengasyikkan ya kalau bisa nanti saja lah. Seorang staf, walau tidak semua menyerupai ini, kalau disuruh mempersiapkan sambutan, menghasilkan analisis, menghasilkan surat dan lain-lain pekerjaan berkala lazimnya ogah-ogahan. Kalau tidak terus-terusan ditanyakan bisa tidak jadi-jadi. Biasa kita menjawab “inggih Pak” namun tidak kunjung “kepanggih”. Di tempat lain ada yang menjawab “Sebentar, Pak”, namun tidak kelar-kelar juga. Ternyata di tempat itu ada ungkapan “Sebentar siang, sebentar sore dan sebentar malam”. Ada lagi yang menyampaikan “Sementara dikerjakan, Pak”. Sama saja artinya dengan belum selesai. Memang H-1 niscaya siap, masalahnya kalau ada koreksi bisa nabrak-nabrak, terlebih kalau hal yang mesti disiapkan yaitu sediaan untuk atasannya atasan.

Lain halnya kalau pekerjaan itu menyenangkan, misalnya disuruh mengikuti konferensi di Surabaya. “Rindik kirik/asu digitik” kita secepatnya urus tiket. Pertemuan kan enak, tinggal duduk, makanan niscaya beda dengan makanan rumah, demikian pula tidur di hotel. Pulang masih sanggup sangu duit harian lagi. Walaupun duit harian kini ini jauh lebih minim dari dulu, namun konferensi senantiasa menyenangkan.

Sebenarnya ini bukan problem etos kerja. Siapapun penduduknya niscaya punya motif. Pemimpin mesti bisa memotivasi bawahannya. Harus ada motivator yang menghasilkan kita suka bekerja. Motivator tiap orang berlainan dan pimpinan mesti tahu hal ini. Supaya tahu motif bawahan, mudah-mudahan bisa memotivasi bawahan dengan memamerkan motivator yang pas, seorang pemimpin mesti bisa Manjing Ajur Ajer dengan bawahan.

Dulu saya diajari untuk menyempatkan waktu minimal 50 persen untuk staf. Ketika saatnya saya punya banyak staf, maka menawarkan 10 persen saja tidak mampu. Ternyata waktu tersedot ke tempat lain.

Adalah “motivator” yang membuat anak secepatnya “rindik asu digitik” lari beli sate sebab ia akan makan sate hari ini. Mengapa di saat disuruh berguru kok “nguler kambang” sebab berguru sesuatu yang berkala dan orang bau tanah lupa memberi motivasi, misalnya diberi “reward” kalau rapornya bagus. Jangan cuma dimarahi kalau rapornya jelek. Demikian pula staf. Berikan senyum ikhlas , sampaikan terimakasih sekaligus kebanggaan atas hasil kerjanya, dan .... reward .... sesuai hukum yang berlaku, tentusaja.  Bolehlah sekali-sekali kita berguru dari “kirik” yang “digitik” (IwMM)

Related : Rindik Kirik (Asu) Digitik

0 Komentar untuk "Rindik Kirik (Asu) Digitik"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)