Kita dihentikan "ngendhak gunaning janma". insan yakni manusia, dihentikan dianggap remeh keberadaannya, siapapun dia.
Ada tiga goresan pena senada yang sudah saya buat yaitu: Giri lusi, janma tan kena ingina; Bathok bolu isi madu dan Ajining raga dumunung ada pakaian dan ajining diri dumunung ing lathi.
Hal yang sama telah ditekankan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh, pupuh Kinanthi bait ke empat, bahwa manusia walau pada lahirnya hina dina (nadyan asor wijilipun) jikalau kelakuannya baik, punya banyak ceritera yang baik nasihatnya bermanfaat, (Catatan: Kang dadi misil; Misil: manfaat, keuntungan), layak kita dekati mudah-mudahan "budi kita meningkat. Lengkapnya bait ke empat selaku berikut:
Demikian pula pada Pupuh Gambuh bait ke tiga disebutkan bahwa petuah baik itu, bergotong-royong yang itu yang ditiru, meskipun berasal dari orang sudra dan papa. Kalau ajarannya baik, itu layak dipakai. Lengkapnya selaku berikut:
KISAH TUKANG PATRI
Saya lupa persisnya kapan, mungkin saya masih Sekolah Menengah Pertama alasannya yakni masih mau disuruh ibu mengundang tukang patri yang kebetulan melalui (dengan arahan suara kecrek-kecrek dari lempeng-lempeng besi yang selalu beliau goyang-goyangkan sambil jalan).
Sementara Pak Tukang Patri mencari posisi di bawah pohon kersen saya lari ke dalam mengambil panci-panci bocor yang sudah disiapkan ibu. Maunya habis menampilkan panci-panci ke pak patri saya masuk ke tempat tinggal lagi. Tapi tetanggaku Tafkir yang tadinya bertengger di pohon kersen justru turun dan jongkok di akrab pak patri.
“Namanya siapa Pak?” Tafkir memang komunikatif
Pak renta itu tersenyum, “Singgih. Ngerti tegese le?”
“Ya ora ngerti Pak, tetapi namanya manis lho Pak”
Pak patri pun berceritera sambil kerja. Dia dapat berceritera dalam bahasa yang dimengerti anak belasan tahun. Bahwa bapaknya menerangkan makna “Singgih” sehabis beliau dewasa. “Singgih” artinya “inggih” dan maknanya bersedia mengerjakan apa saja yang bagus dengan sungguh-sungguh. “Apapun jalankan dengan sungguh-sungguh, jangan setengah hati walau cuma menambal panci bocor”. Ia menyelesaikan penjelasannya kemudian mengajukan pertanyaan terhadap Tafkir “Kalau besar mau jadi apa le?”
“Hakim, Pak”. Jawab Tafkir. Ia memang ingin jadi hakim
“Jadilah hakim yang singgih, menyerupai kanjeng sultan yang di Bagedad itu (maksudnya Sultan Harun Al Rasyid)”
Ibu saya keluar menenteng segelas teh panas dan sepiring pisang goreng. “Sembah nuwun ndoro putri”.
Walapun masih bawah umur saya tersadar. Orang ini menghormati ibu saya dengan istilah “ndoro” sementara saya cuma diundang “Le, atau Thole”. Saya mendapatkan jawabannya sehabis ibu masuk ke tempat tinggal lagi. “Le, ibumu itu orang yang bisa ngajeni (menghargai) wong cilik. Besuk jikalau jadi orang kau dapat begitu?”
“Recall” kenangan wacana pak patri ini timbul beberapa hari yang lalu, simpulan Sholat Jum’at saya berpapasan dengan tukang patri, tua, jalan dengan kecreknya. Di Jakarta, 2012. Potongannya nyaris menyerupai dengan di Jogja nyaris 50 tahun yang lalu. Saya belum pernah baca Wulangreh waktu itu, tetapi maknanya yang dalam sudah disampaikan oleh aktornya sendiri, Pak Singgih ..... Pitutur bener iku; Sayektine kang iku tiniru; Nadyan metu saking wong sudra papeki;.......... (IwMM)
0 Komentar untuk "Serat Wulangreh: Jangan Lihat Penduduknya Namun Makna Ucapannya"