TANGGAP: Mampu menangkap (pembicaraan, arah pembicaraan); SASMITA: Informasi simbolis. Jadi TANGGAP ING SASMITA berarti kesanggupan menangkap isu simbolik”.
Orang jikalau diajak bicara tidak menangkap maksudnya, yakni orang yang tidak tanggap atau tidak ngamper. Tapi awas ada juga orang yang mengambil sikap akal-akalan tidak “dhong”, sebab jikalau dia “dhong” akan menyulitkan dia sendiri. Contoh sederhana yakni jikalau kita kedatangan orang mau pinjam uang. Yang tiba juga aib mau ngomong langsung, maka dia bicara berputar-putar. Sikap kita juga akal-akalan tidak tahu. Sebaliknya jikalau yang tiba orang mau nagih utang, Dia ngomongnya niscaya langsung, namun kita yang berputar-putar.
“Tanggap ing sasmita” akan lebih rumit lagi. Sasmita simbolis bisa verbal, misalnya kita bertamu, telah duduk usang kemudian tuan rumah menyampaikan “Kok telah waktunya sholat Dhuhur, ya”. Mestinya kita tanggap, kemudian mohon diri. Walaupun ada juga yang mengatakan, “Kalau begitu saya sekalian nunut sholat sekalian”.
Pemahaman bahasa badan juga ialah sifat “Tanggap ing sasmita”. Misalnya wajah musuh bicara kita tiba-tiba berubah berona merah, atau pucat. Mungkin juga duduknya menjadi gelisah. Pasti ada sesuatu yang terjadi.
Pada waktu kita menghadap pimpinan, katakan mau menyodorkan atau memohon sesuatu, kemudian ia tersenyum, ini juga bahasa tubuh. Hanya saja yang satu ini sulit. Senyum orang Jawa yang telah mengendap ilmunya, sulit dipahami. Maknanya bisa macam-macam.
Orang jikalau diajak bicara tidak menangkap maksudnya, yakni orang yang tidak tanggap atau tidak ngamper. Tapi awas ada juga orang yang mengambil sikap akal-akalan tidak “dhong”, sebab jikalau dia “dhong” akan menyulitkan dia sendiri. Contoh sederhana yakni jikalau kita kedatangan orang mau pinjam uang. Yang tiba juga aib mau ngomong langsung, maka dia bicara berputar-putar. Sikap kita juga akal-akalan tidak tahu. Sebaliknya jikalau yang tiba orang mau nagih utang, Dia ngomongnya niscaya langsung, namun kita yang berputar-putar.
“Tanggap ing sasmita” akan lebih rumit lagi. Sasmita simbolis bisa verbal, misalnya kita bertamu, telah duduk usang kemudian tuan rumah menyampaikan “Kok telah waktunya sholat Dhuhur, ya”. Mestinya kita tanggap, kemudian mohon diri. Walaupun ada juga yang mengatakan, “Kalau begitu saya sekalian nunut sholat sekalian”.
Pemahaman bahasa badan juga ialah sifat “Tanggap ing sasmita”. Misalnya wajah musuh bicara kita tiba-tiba berubah berona merah, atau pucat. Mungkin juga duduknya menjadi gelisah. Pasti ada sesuatu yang terjadi.
Pada waktu kita menghadap pimpinan, katakan mau menyodorkan atau memohon sesuatu, kemudian ia tersenyum, ini juga bahasa tubuh. Hanya saja yang satu ini sulit. Senyum orang Jawa yang telah mengendap ilmunya, sulit dipahami. Maknanya bisa macam-macam.
Beberapa hari yang kemudian ada sobat yang tanya: “Mas, jaman dahulu jikalau kita menyodorkan sebuah masalah terhadap pimpinan, kan sering sanggup jawaban, kau atur saja bagaimana baiknya. Kemudian kita mengerjakan perintah mengendalikan tersebut sesuai penangkapan kita. Apa dalam hal ini pimpinan memberi sasmita dan kita tanggap ing sasmita?”
Jawabnya menjadi sulit jikalau dibentuk sulit. Memang bener yang satu memberi sasmita dan satunya tanggap ing sasmita. Tetapi tidak semestinya dijalankan sebab memicu multitafsir. Yang memberi sasmita yang tidak benar. Perintah mesti jelas. Yang menemukan perintah juga semestinya bertanya: “Maksudnya dikontrol itu apa, Pak?”
Lalu apa sikap “Tanggap ing sasmita” dalam budaya Jawa itu salah? Atau telah bukan jamannya lagi?. Jawabnya “Samasekali tidak salah. Kalau ada yang salah, maka yang salah yakni manusianya. Supaya orang bisa “Tanggap ing sasmita” syaratnya berat. Syarat tersebut terdapat dalam Serat Wulangreh, Anggitan Sri Pakubuwana IV, pada Pupuh Kinanti bait pertama: Padha gulangen ing kalbu; Ing sasmita amrih lantip; Aja pijer mangan nendra; Kaprawiran den kaesti; Pesunen sariranira sudanen dhahar lan guling”
Supaya “Lantip” (menguasai) dalam “Sasmita” maka kalbu mesti di”gulang” (dilatih). Kita mesti fokus pada keperwiraan dan jangan cuma “Mangan” (makan) dan “nendra” (tidur). Apakah pada jaman ini masih banyak orang yang menyerupai ini? (IwMM).
0 Komentar untuk "Tanggap Dan Tanggap Ing Sasmita"