Masih belum dewasa dahulu kalau sedang “kumpul bocah” kemudian belakangan timbul lagi satu teman, sanggup saja permainan berhenti sejenak dan kita sambut rame-rame dengan menyanyikan:
“Eee dhayohe teka; Eee gelarna klasa; Eee klasane bedhah; Eee tambalen jadah; Eee jadahe mambu; Eee pakakna asu: Eee asune mati; Eee buwangen kali; Eee kaline banjir; Eee kelekna pinggir”.
Terusnya apa lagi? Ingat aku berhenti hingga disini. Kadang-kadang ada yang sanggup meneruskan hingga lebih panjang atau memplesetkan, misalnya: “ ... Eee jadahe mambu: Eee panganen dhewe ...” bahkan ada yang lebih konyol lagi. Dulu aku tertawa mendengar orang-orang inovatif yang suka mlintir-mlintir lagu ini. Sekarang aku merasa sayang, sebab makna lagu menjadi sirna.
Semula aku pikir tembang ini sekedar tembang dolanan bocah saja, mana nyanyiannya amat sederhana, nyaris tanpa nada meskipun ada guru lagunya. Hanya sehabis ketemu teman-teman, berdiskusi, dan dasar orang Jawa suka othak-athik kalau sanggup gathuk maka semua akan mathuk, tenyata ada juga piwulang (pelajaran) di dalamnya.
Dalam hal ini ada EMPAT KUBU yang pendapatnya beda meskipun pada karenanya hingga ke wilayah yang sama.
ADA YANG RAWUH: TIGA "UH"
Terusnya apa lagi? Ingat aku berhenti hingga disini. Kadang-kadang ada yang sanggup meneruskan hingga lebih panjang atau memplesetkan, misalnya: “ ... Eee jadahe mambu: Eee panganen dhewe ...” bahkan ada yang lebih konyol lagi. Dulu aku tertawa mendengar orang-orang inovatif yang suka mlintir-mlintir lagu ini. Sekarang aku merasa sayang, sebab makna lagu menjadi sirna.
Semula aku pikir tembang ini sekedar tembang dolanan bocah saja, mana nyanyiannya amat sederhana, nyaris tanpa nada meskipun ada guru lagunya. Hanya sehabis ketemu teman-teman, berdiskusi, dan dasar orang Jawa suka othak-athik kalau sanggup gathuk maka semua akan mathuk, tenyata ada juga piwulang (pelajaran) di dalamnya.
Dalam hal ini ada EMPAT KUBU yang pendapatnya beda meskipun pada karenanya hingga ke wilayah yang sama.
ADA YANG RAWUH: TIGA "UH"
Yang pertama beropini bahwa sudah menjadi adab orang Jawa kalau kedatangan tamu rumusnya yakni “tiga UH” yakni “lungguh, gupuh dan suguh”. Banyak rumah orang Jawa ada goresan pena "sugeng rawuh" dalam abjad Jawa di ruang tamunya. Tamu jangan dibiarkan bangun terlalu lama, secepatnya diaturi lenggah (lungguh). Karena tembang ini tembangnya rakyat jelata ya digelarkan klasa (tikar) sudah hormat sekali. Setelah tamu “lungguh” maka tuan rumah akan “gupuh” (sibuk) untuk mempersiapkan “suguh” (suguhan makanan minuman). Dalam tembang ini “gupuh”nya makin menjadi-jadi dikala ternyata tikarnya sudah jebol dan seterusnya.
HARUS SELALU SIAP MENERIMA TAMU
Lalu yang kedua lebih analitik dan antisipatif. Dia menyaksikan ada perkara dengan tikar yang ternyata jebol dengan rentetannya. Mungkin usang tidak ada tamu, tikar tidak pernah digelar. Bahkan jadah pun sudah bau. Intinya tuan rumah kita tidak siap menerima tamu. Bisa juga tuan rumah memang jarang menerima tamu. Tetapi apapun argumentasinya, namanya tetap tidak siap juga. Dengan demikian tembang ini menenteng pesan, bahwa kita mesti siap menerima tamu kapan saja. Saya ingat dahulu kalau piknik di rumah eyang. Disana senantiasa ada makanan kecil demikian pula cangkir minum dan piring camilan elok sudah standby. Kala itu eyang ngendika, agar kalau ada tamu sanggup cepat nyuguhi. Kalau tidak ada tamu? Ya nanti niscaya ada yang makan, itu balasan eyang.
TAMU JADI TERLANTAR
Adapun yang ketiga yakni persepsi agak sinis namun benar. Lalu dhayohnya kan tidak dijumpai sebab kita menjadi sibuk mencampakkan bangkai anjing di kali yang ternyata banjir. Si tuan rumah yakni orang yang tidak memiliki visi dan misi. Hidup tak pasti tujuan, mana yang prioritas mana yang bukan; mulai dari dayoh, klasa, jadah, anjing hingga ke kali banjir. Semua jadi tidak bermanfaat kalau hidup tanpa rencana.
APESLAH KITA KALAU TAMUNYA MALAIKAT PENCABUT NYAWA
Terakhir yang ke empat, mungkin ini pertimbangan orang yang sudah usia senja. Dhayohnya melambangkan malaikat pencabut nyawa, malaikat Izrail. Kita mesti siap menerima kedatangannya, namun tidak segampang itu (baca “Tembang Ilir-ilir”). Dalam tembang “Dhayohe teka” ini ketidak-siapan kita digambarkan selaku “klasa yang bedhah” dan seterusnya. Klasa yang bedhah melambangkan Iman dan taqwa kita masih bolong-bolong; kalau menyerupai ini, apa ikita ya siap menghadap Al Chaliq?
KESIMPULAN
Empat pertimbangan ini bergotong-royong sanggup dirangkum jadi satu: Hidup mesti punya visi dan misi jelas, yang ditindak-lanjuti dengan seni administrasi dan tindakan yang operasional. Ancaman, tantangan, persoalan dan gangguan senantiasa ada. Kita mesti antisipatif, jangan reaktif. mengatasi perkara sebelum perkara terjadi. Dhayoh sanggup siapa saja. Manusia, mulai sanak saudara, teman dekat karib hingga penagih hutang. Tapi diingatkan, sanggup juga malaikat pencabut nyawa. Begitu sederhana tembangnya namun kalau kita mau merenungkan maknanya begitu dalam. Kita mesti siap hidup dan siap mati. Makanya aku kurang pas kalau lagu ini dipleset-plesetkan. (IwMM)
0 Komentar untuk "Tembang Dhayohe Teka"