Tuladha Dari (Hom)Pimpah Dan Pingsut

Keduanya ialah cara mengundi guna menegaskan satu orang untuk kepentingan apa saja pada masa kanak-kanak. Ini bukan milik orang Jawa saja. Anak-anak di seluruh tanah air rasanya mengenal ini, cuma “lelagon”nya yang berbeda. Misalnya ada 7 anak sedang kumpul kemudian mau main katakan “sepak sekong” maka mesti diseleksi satu anak yang menjadi penjaga bola sementara lainnya bersembunyi. Mulailah ber”hompimpah”. Telapak tangan tengkurap atau telentang yang sedikit, dieliminasi. Bila ada tiga yang sedikit, bisa ditanggulangi dengan hompimpah. Bila sisa dua, maka “pingsut”lah penyelesaiannya.

Pingsut” mempergunakan tiga jari tangan. Jempol mewakili gajah, telunjuk untuk insan dan kelingking selaku semut. Manusia kalah sama gajah dan semut kalah sama insan rasanya sanggup diterima kecerdikan dengan cepat. Ketika gajah dipecundangi semut, mulailah kita berpikir asal-muasalnya bagaimana?

Ada fabel yang menceriterakan semut dan gajah selaku bintang film utama. Salah satu kisah sebelum tidur dari eyang putri. Gajah takluk saat semut masuk ke lobang telinganya. Blingsatan nabrak kemana-mana. Tangan gajah tidak dapat mencapai telinganya. Demikian pula gajah tidak punya jari untuk mengorek lobang telinganya.

Tuladha yang kita petik kembali terhadap ungkapan “jalma tan kena ingina” dan “aja dumeh”. Karena kisah anak-anak, menjadi terang sekali dengan personifikasi gajah dan semut. Eyang dahulu mengatakan, jikalau kau besok jadi “orang” jangan meremehkan orang kecil.

Ada sobat yang berceritera jikalau di Jepang juga ada semacam “pingsut”. Serupa namun tak sama dengan yang di Indonesia, mereka menyebutnya “Jankenpon”. Mainnya menurut aku lebih rumit, mungkin sebab budayanya beda. “Jankenpon” menggunakan kepalan tangan mewakili “batu”, jari membentuk aksara V selaku representasi “gunting” dan lima jari terentang melambangkan “kertas”. Kertas kalah sama gunting, namun menang sama kerikil (karena kerikil sanggup dikemas kertas), berikutnya gunting kalah sama kerikil (barangkali sebab gunting tidak dapat memotong kerikil yang keras itu, atau gunting jikalau digepuk dengan kerikil akan rusak.

Kalau aku ibaratkan “gunting” yaitu cendekiawan dan “batu” yaitu orang pada lazimnya maka ketemunya sama dengan yang dipakai belum dewasa negeri kita. Jangan merasa sok pintar. Belum pasti yang tidak cerdas itu tak punya kelebihan. Boleh juga untuk referensi. Cuma untuk mempraktekannya, sebab tidak biasa, risikonya amat lama.

Tiba-tiba terlintas dalam otak: Di kurun “voting” ini jikalau “voting” bisa digantikan “hompimpah” dan “pingsut” apa berkaitan ya. Yang terang niscaya seru, murah dan meriah. Mbah Hardjo yang ada di samping aku pribadi menimpali: “Lha pemenangnya kan yang sedikit” dan disambung Toni: “Dan biasanya menang malah kena plekotho”. Memangnya jikalau menang mesti enak? (IwMM)

Related : Tuladha Dari (Hom)Pimpah Dan Pingsut

0 Komentar untuk "Tuladha Dari (Hom)Pimpah Dan Pingsut"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)