Masa Pandemi Dan Pentingnya Mengisi Tangki Emosional Anak

Ilustasri keluarga menerapkan prokol kesehatan (Foto: Mohamed Hassan/ Pixabay)

SEJAK
dinyatakannya pandemi wabah covid-19 melanda seluruh elemen dunia, maka secara otomatis sejak dikala itulah kiprah orang renta menjadi multi talent, tergolong menjadi guru di rumah untuk belum dewasa mereka. 


Dengan segala drama dan kondisi yang dipengaruhi pandemi ini, menghasilkan tak sedikit para orang renta kesusahan dalam mengontrol emosi dikala mendampingi anak di rumah.


Dengan ungkapan gres yakni mencar ilmu online atau daring, menghasilkan aktivitas rutin gres untuk para orang tua. Tidak gampang memang untuk menyesuaikan segala aktivitas gres ini oleh anak serta orang tua, utamanya bagi belum dewasa yang merasa jenuh serta tidak bergairah belajar.


Belum lagi kalau anak sengaja mengulur waktu di saat mendapatkan tugas, dengan banyak argumentasi yang mereka tawarkan menyerupai kecapekan menulis, bosan, bahkan enggan untuk menyelesaikan tugas. 


Dengan kondisi semacam ini, orang renta dituntut sanggup sabar membujuk dan menenangkan anak mudah-mudahan proses mencar ilmu di rumah sanggup berlangsung dengan baik.


Sebenarnya ada cara untuk menghasilkan situasi menjadi aman di rumah di masa pandemi berkepanjangan ini, yakni mengisi tangki emosional anak dengan baik. 


“Tangki Emosional” 


Terma tangki emosional mungkin masih gila di telinga. Isitilah ini yakni citra kondisi dasar emosi pada diri anak. Artinya, kalau tangki emosi dalam diri anak penuh, maka anak akan merasa bahagia, serta mereka sanggup gampang diajak bekerjasama.


Setiap anak memiliki tangki emosionalnya masing masing. Ia yakni wadah atau kawasan kekuatan emosional yang sanggup menyediakan materi bakar ketika mengerjakan acara sehari-hari.


Kita orangtua sanggup mengisi tangki emosional mereka dengan bahasa cinta, tentunya cinta tanpa syarat. Karena, cinta tanpa syarat inilah cinta sejati, yang mendapatkan serta memastikan seorang anak siapa mereka, bukan alasannya yakni sesuatu yang sudah mereka lakukan.


Apapun jenis bahasa cinta yang paling dipahami anak yakni yang sedimentif atau bahasa cinta yang benar benar berupaya merangkul, menyelinap, menembus, mengendap dan merasap dalam hati sanubari anak. 


Agar sanggup diresapi dan dicicipi si anak, ungkapan cinta itu memang sering kali sukar dijalankan alasannya yakni orangtua mesti menepikan ego pribadinya apalagi dulu yang tak memposisikan anak selaku terdakwa.


Orang tau mesti legowo tanpa mempedulikan menyerupai apa anak, potensi, ataupun segala kelemahan yang ada pada diri mereka. Terutama tanpa mempedulikan sikap anak yang barangkali, menurut kita selaku orang tua, beliau nakal.


Banyak kesalahan yang terjadi alasannya yakni penglihatan kita keliru mengenai anak. Seringkali di saat menghadapi si anak, kita selaku orangtua yakni pihak yang benar sementara si anak yakni pihak salah, yang, alasannya yakni itu, beliau mesti bersiap mendapatkan dakwaan atas kesalahannya. 


Problem tersebut kemudian besar lengan berkuasa terhadap cara kita berkomunikasi dalam membahasakan cinta. Tidak sedikit orang renta yang gagal mengatahui cara menyodorkan cinta yang mereka rasakan dari hati ke hati anak.


Beberapa orang renta berasumsi bahwa cinta mereka terhadap anak akan otomatis dikenali anak. Padahal tidaklah demikian. Bahasa cinta itu yakni komunikasi yang tidak saja dijalankan secara ekspresi tetapi juga mesti ditingkahi oleh gesture yang benar. 


Sementara, beberapa orang renta berpendapat bahwa di saat mereka mengucapkan kalimat, misalnya, “Nak, ibu mencintaimu”, hal itu sudah dianggap jawaban dan pesan itu dianggap sampai. Padahal belum tentu. Si anak mungkin saja mengangguk, namun bukan bermakna itu menandakan bahwa pesan itu diterima. 


Karena itu, sekali lagi, kata-kata saja bahwasanya tidak cukup untuk sanggup mengantarkan sinyal rasa cinta terhadap anak mudah-mudahan kemudian anak menangkap kesan tersebut dengan baik. 


Membangun kedekatan emosional (emotional bonding) antara orangtua dengan anak memang tak gampang dan tidak sesederhana membalik telapak tangan. Disinilah pentingnya mengidentifikasi "asa" dan "mengalirkan rasa" tersebut terhadap anak dengan sebuah instrumen yang biasa dipahami dengan istilah "lima bahasa cinta".  


Apa itu Lima Bahasa Cinta?


Cinta ialah inti dari perjalanan anak menjadi makhluk remaja yang mau mengasihi dan mengasihi orang lain. Karakter tersebut cuma sanggup menempel dan bersenyawa sejalan dengan berkembang kembang anak apabila diikuti dengan internalisasi nilai-nilai luhur mengenai cinta. 


Pada dasarnya terdapat 5 cara biasa anak sanggup mengerti dan mengekspresikan cinta mereka, inilah maksud dari 5 bahasa cinta itu, yakni sentuhan fisik (physical touch), kata-kata motivatif (words of affirmation), waktu bermutu (quality time), kado (receiving gifts), dan yang kelima, pelayanan (acts of service).


Pada biasanya setiap anak sanggup mendapatkan cinta lewat kelima bahasa di atas, namun, biasanya, ada salah satu bahasa yang paling mayoritas pada setiap masing-masing anak dimana mereka sanggup mencicipi cinta melampaui bahasa lainnya. 


Dengan ini para orangtua sanggup menyediakan bahasa cinta mereka dengan cara yang paling maksimal mudah-mudahan komunikasi serta kedekatan dengan anak sanggup lebih efektif.


Dengan mempraktekkan 5 bahasa cinta pada dikala masa pandemi ini secara tidak sadar kita sudah mengisi tangki emosional anak dengan cinta. Serta seiring dengan penuhnya tangki ini maka rasa aman anak pun akan terpenuhi, dimana mereka akan gampang untuk mengerti segala pergeseran dan aktivitas gres yang mereka lakukan. 


Diharapkan dengan intensitas referensi interaksi yang efektif dan terus berupaya positif, bahasa cinta yang kita praktikkan sanggup kian menguatkan ikatan batin antara orangtua dengan belum dewasa utamanya di saat mesti sekolah online yang mungkin membosankan.


Selain itu, dengan kesadaran akan pentingnya bahasa cinta yang sejatinya bukan sekedar kalimat biasa, belum dewasa akan mendapatkan ritme atau situasi hangat sehingga sanggup mengawali hari-hari dengan aktivitas rutin gres dengan lebih bergairah dan menyenangka.


Selamat menjajal para bunda mengisi tangki emosional anak dengan bahasa cinta. Selalu sediakan waktu untuk peluk cium untuk anak anak kita setiap hari. 


*)Rosda Ayu Fitria, S.Pd penulis adalah alumni Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PAUD) IAIN Ponorogo dan dikala ini mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta


Sumber https://www.parentnial.com/

Related : Masa Pandemi Dan Pentingnya Mengisi Tangki Emosional Anak

0 Komentar untuk "Masa Pandemi Dan Pentingnya Mengisi Tangki Emosional Anak"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close