Alkisah, ada sepasang suami istri yang sungguh menginginkan kemunculan momongan. Setelah lewat banyak sekali macam perjuangan dan waktu yang lama, hasilnya mereka dikarunia seorang putera yang berparas tampan. Sayangnya, si anak menderita kelainan bawaan yakni penyusutan otot sehingga memiliki efek pada kaki yang lemah yang tidak cukup berpengaruh untuk menopang badan yang bertumbuh.
Dokter menyarankan, “Bapak, ibu. Tidak ada cara lain untuk menghasilkan putera anda kelak bisa berdiri dan berlangsung sendiri, yakni dengan membiarkan beliau berlangsung dan melakukan segala sesuatunya sendiri. Anda berdua mesti tega demi masa depannya. Itu satu-satunya jalan jikalau kelak ingin melihatnya bisa berlangsung sendiri”. Sejak di saat itu, dengan sarat sayang dan hati yang pedih, mereka saban hari mesti menyaksikan putera kesayangan melakukan pekerjaan keras menimba ilmu berjalan, terjatuh, sakit, kadang terluka sampai menangis dan kemudian mesti mulai berdiri dan berlangsung lagi. Begitu seterusnya.
Suatu hari, di saat si anak berusia 9 tahun, terjadi insiden yang cukup tragis. Hari itu, udara begitu dingin, salju turun dengan cukup lebat. Jarak dari rumah ke sekolah kira-kira 1 kilometer. Saat sekolah usai, si anak sungguh berharap orang tuanya akan tiba menjemput dan membantunya berlangsung pulang. Ditunggu-tunggu dengan cemas, sampai sekolah sepi, orang tuanya tak kunjung tiba. Hati anak itu pun dipenuhi dengan kekecewaan, kemarahan dan kebencian.
“Papa Mama kejam. Jahat. Tidak sayang padaku. Membiarkan saya menderita. Aku benci mereka!!” sambil mengertakkan gigi, beliau pun berlangsung pulang dengan langkah terseok-seok. Jalanan tertutup oleh salju dan itu sungguh menyusahkan untuk mengendalikan langkah kakinya yang lemah. Setapak demi setapak. Berkali-kali beliau jatuh, kesakitan, memar dan bahkan berdarah. Setiap kali terjatuh, hatinya kian sakit dan kebencian terhadap orang tuanya makin membara. Tekad di dadanya lingkaran untuk tidak senang orangtuanya seumur hidup.
Akhirnya...si anak tiba di depan rumah. Saat pintu dibukakan, ayah dan ibunya secepatnya memeluk dan menangis dengan histeris.
“Anakku, kau andal sekali! Kami tahu kau sungguh menderita, kami menyaksikan dari jauh setiap langkah dan kejatuhanmu, maafkan ayah dan ibu yang tidak membantumu. Tapi lihatlah ke belakang....bekas tapak kakimu di atas salju....dan itu merupakan tapak kakimu sendiri, Nak. Kamu sendiri, sukses lewat perjalanan sulit hari ini. Ingat nak, hari-harimu ke depan masih panjang dan tidak mudah, namun dengan kemampuanmu hari ini, papa mama percaya dan percaya, kau akan bisa melaluinya, dengan percaya diri dan tanpa perlu bertopang terhadap orang lain”.
Si anak pun secepatnya larut dalam tangis bahagia. Karena ternyata orang tuanya bukannya tidak mengasihi namun mereka berbincang kasih sayang dengan membiarkan berlangsung sendiri menyongsong masa depan yang mau dilalui nantinya.
Sahabat fb yang berbahagia,
Jika Anda selaku orang tua, di saat anak mengalami kesulitan, cobalah untuk membiarkan mereka berdiri dan mendapatkan solusi. Biarlah mereka menimba ilmu dan berusaha. Justru keberanian untuk menanggung setiap kesusahan yang dihadapi lah yang mau memunculkan anak kita selaku eksklusif yang tangguh, percaya diri dan bertanggung jawab. Hingga kelak, tanpa kita, mereka akan bertumbuh selaku insan yang kuat, bijak dan bernilai di hadapan sang Pencipta-nya.
Jika Anda selaku anak, ketahuilah bahwa di saat orang renta Anda memperlakukan dengan sedikit "keras", itu bukan alasannya merupakan mereka tidak mengasihi Anda, tetapi justru mereka ingin Anda menjadi eksklusif berdikari yang dapat sukses dalam menjalani kehidupan.
Salam hangat luar biasa.
From Newsletter Andrie Wongso.
From Newsletter Andrie Wongso.
0 Komentar untuk "Jejak Kaki Yang Bermakna"