Kisah Air Mata Kejujuran Ka'ab Bin Malik

Bismillahirrahmanirrahim.
Matahari gurun kala itu sungguh tidak ramah Kisah Air Mata Kejujuran Ka'ab bin Malik
Matahari gurun kala itu sungguh tidak ramah.  Seakan begitu akrab di ubun-ubun kepala yang berada di bawahnya.  Dan hari itu, Rasulullah memberitahu perang terhadap segenap kaum muslimin.  Perjalanan yang panas dan teramat jauh, serta musuh yang betul-betul handal menghasilkan ia berusaha untuk merencanakan pasukannya jauh-jauh hari dengan rencana yang sungguh matang.  Padahal sebelumnya dalam setiap pertempuran ia senantiasa merahasiakannya.

Adalah seorang teman dekat berjulukan Ka'ab bin Malik.  Dia salah seorang teman dekat yang tidak pernah bolos pada setiap pertempuran bareng Rasulullah SAW, kecuali dalam pertempuran yang justru sudah berkala ini.  Kala orang-orang menuju Tabuk, kala seluruh kaum muslimin menyambut ajakan mulia ini, Ka'ab bin Malik tertinggal alasannya yakni kemalasannya sendiri.

"Ketidakikutsertann-ku dalam perang Tabuk itu memang kelalaianku sendiri alasannya yakni problem dunia,"ujarnya.  "Padahal di saat itu kondisi ekonomiku jauh lebih baik ketimbang hari-hari sebelumnya.  Demi Allah, saya tidak pernah mempunyai barang barang jualan lebih dari dua muatan unta.  Akan tetapi pada waktu pertempuran itu saya memilikinya," terangnya.
Ka'ab bin Malik bercerita :

Rasulullah SAW merencanakan pasukan yang hendak berangkat.  Aku pun merencanakan diri untuk ikut serta.  Namun tiba-tiba muncul fikiran ingin membatalkannya, kemudian saya berkata dalam hati, 'Aku bisa melakukannya jikalau saya mau.!'

Akhirnya, saya terhanyut oleh banyak sekali niatan yang berujung pada satu keragu-raguan.  Hingga saya menyaksikan para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah.  Timbul niatku untuk mengejar-ngejar mereka, toh mereka belum jauh.  Namun saya tidak melakukannya, rasa malas sudah menghampiri bahkan menguasai diriku.

Tampaknya saya ditakdirkan untuk tidak ikut dalam pertempuran itu.  Akan tetapi, saya betul-betul mencicipi penderitaan batin sejak Rasulullah SAW meninggalkan Madinah.  Bila saya keluar rumah, saya seolah dikucilkan.  Karena saya cuma menyaksikan orang-orang yang disangsikan keislamannya.  Baik orang-orang yang sudah memperoleh izin Allah alasannya yakni uzur.  Kalau tidak, mereka orang-orang munafik.  Padahal, saya merasa saya tidak tergolong dalam keduanya.

Konon, Rasulullah SAW tidak pernah menyebut-nyebut namaku kecuali di saat hingga ke Tabuk.

Setiba di sana, di saat ia sedang duduk-duduk bareng para sahabatnya, ia bertanya, "Apa yang dilaksanakan Ka'ab bin Malik.?"

Seorang dari Bani Salamah menjawab, "Ya Rasulullah, ia ujub pada kondisi dan dirinya.!"

Mu'az bin Jabal menyangkal, "Buruk benar ucapanmu itu.! Demi Allah, wahai Rasulullah, saya tidak pernah mengetahui melainkan kebaikannya saja.!" Rasulullah SAW pun cuma terdiam.

Waktu pun berlalu.  Aku mendengar Rasulullah SAW hendak kembali dari kancah Tabuk.  Pikiranku sibuk dengan banyak sekali argumentasi artifisial untuk diajukan ke hadapan Rasulullah SAW.  Aku terus mengajukan pertanyaan pada diriku sendiri, bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya.

Aku pun meminta pertimbangan dari bebrapa anggota keluargaku yang tenar berpikiran bijak.  Akan tetapi, di saat saya mendengar Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, lenyaplah semua fikiran jahat itu.  Aku merasa yakin, saya tidak akan pernah bisa menyelamatkan diri dengan kebatilan.  Sama sekali.  Maka saya bertekad akan menemui Rasulullah SAW dan menyampaikan yang sebenarnya.

Pagi-pagi Rasulullah SAW memasuki kota Madinah.  Sudah menjadi kebiasaan jikalau ia kembali dari sebuah perjalanan, pertama kali yang dilakukannya yakni menuju masjid dan shalat dua rakaat.  Demikian pula usai dari Tabuk.  Selesai shalat ia duduk melayani tamu-tamunya.  Orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk pun berdatangan dengan menenteng argumentasi masing-masing diselingi sumpah artifisial demi menguatkan argumentasi mereka.  Jumlah mereka kurang lebih delapun puluh orang.  Rasulullah SAW menemukan argumentasi lahir mereka dan mereka pun meperbaharui baiat setia mereka.  Beliau memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya terhadap Allah.  Sampai jadinya tibalah giliranku.

Aku tiba mengucapkan salam terhadap beliau.  Beliau membalas dengan senyum pula.  Namun terang terlihat, itu yakni senyum yang memendam amarah.  Beliau memanggilku, "Kemarilah..!"

Aku pun menghampirinya, kemudian duduk di hadapannya.  Beliau tiba-tiba bertanya, "Wahai Ka'ab, mengapa dirimu tidak ikut berperang..? Bukankah engkau sudah menyatakan baiat kesetiaanmu..?"

Aku menjawab, "Ya Rasulullah.! Demi Allah, jikalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain, pasti saya akan sukses keluar dari amarah mereka dengan banyak sekali argumentasi dusta dan dalil lainnya.  Namun demi Allah saya sadar, jikalau saya mengatakan bohong kepadamu dan engkaupun menemukan argumentasi kebohonganku, saya khawatir Allah akan membenciku, jikalau sekarang saya mengatakan jujur, kemudian alasannya yakni itu engkau murka kepadaku, sesungguhnya saya berharap Allah akan mengampuni kesalahanku. Wahai Rasulullah SAW demi Allah, saya tidak punya uzur.  Demi Allah, kondisi ekonomiku tidak pernah stabil dibandingkan tatkala pertama kali saya mengikutimu.!"

"Kalau begitu, tidak salah lagi.  Kini, pergilah kau hingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu.!"tegas Rasulullah SAW.

Aku pun pergi dibarengi oleh orang-orang Bani Salamah.  "Demi Allah, kami belum pernah melihatmu melaksanakan kesalahan sebelum ini.  Kau sepertinya tidak dapat membuat-buat argumentasi menyerupai yang lain, padahal dosamu sudah terhapus oleh tuntutan ampun Rasulullah..!" kata mereka keheranan.

Mereka terus saja menyalahkan tindakanku hingga ingin rasanya saya kembali menghadap Rasulullah SAW untuk menenteng argumentasi palsu.  Bukankah orang lain juga melaksanakan hal itu.  Aku tanyai mereka, "Apakah ada orang yang bernasib sama denganku..?"

Mereka menjawab, "Ya..! ada dua orang yang menjawab sama denganmu.  Sekarang mereka berdua juga memperoleh keputusan yang serupa denganmu dari Rasulullah..!"

"Siapa mereka..?" tanyaku.

"Murarah bin Rabi'ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi," jawab mereka.

Dua nama laki-laki shalih yang pernah ikut dalam perang Badar.  Begitu kudengar dua nama itu, saya bergegas pergi menemui mereka.

Tak usang berselang, saya mendengar Rasulullah melarang kaum muslimin untuk mengatakan dengan kami bertiga.  Pada di saat itu ada delapan puluh orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.

Kami pun mengucilkan diri dari penduduk umum.  Mereka bersikap lain terhadap kami.  Pada waktu itu seakan saya hidup di sebuah negeri yang berlainan dari negeri yang saya kenal sebelumnya.  Sedangkan kedua temanku tadi mendekam di rumah masing-masing.  Mereka menangisi nasib dirinya masing-masing.  Aku tergolong orang yang paling mempunyai efek dan tabah di antara mereka.  Aku tetap keluar untuk shalat jamaah dan keluar masuk pasar meski tak seorangpun yang mau mengatakan denganku atau menyikapi ucapanku.  Aku juga tiba ke majelis Rasulullah SAW.  Sesudah ia shalat, saya mengucapkan salam sembari hati kecilku terus mengajukan pertanyaan dan memperhatikan bibir beliau.  Apakah ia mau menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak.

Aku juga shalat akrab sekali dengan beliau.  Aku mencuri pandang menyaksikan ke arah beliau.  Kalau saya bangun hendak shalat, ia menyaksikan kepadaku.  Namun apabila saya menyaksikan kepadanya, ia secepatnya memalingkan wajahnya.  Belum lagi perilaku hambar penduduk kepadaku terasa usang sekali.

Pada sebuah hari, saya mengetuk pintu pagar rumah Abu Qatadah, kerabat misanku.  Ia kerabat yang paling saya cintai.  Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.  Aku menegurnya, "Abu Qatadah..! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tahu bahwa saya menyayangi Allah dan Rasul-Nya..?" Aku mengulangi permohonanku itu, tetapi ia tetap diam.  Aku mengulanginya sekali lagi, tetapi ia cuma menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui..!"

Air mataku pun meleleh.  Aku kembali dengan sarat rasa kecewa.

Pada sebuah hari, saya berjalan-jalan ke pasar kota Madinah. Tiba-tiba tiba orang awam dari negeri Syam.  Orang itu lazimnya mengantarkan barang jualan pangan ke kota Madinah.  Ia bertanya, "Siapakah yang mau menolongku menemui Ka'ab bin Malik..?"  Orang-orang di pasar menunjuk ke arahku.  Lalu orang itu menemuiku dan menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan.  Setelah kubuka, isinya selaku berikut, "...Selain itu, sahabatmu sudah bersikap hambar terhadapmu.  Allah tidak menyebabkan kau hidup terhina dan sirna.  Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan.  Kami akan menghiburmu..!"

Ketika membaca surat itu hatiku berkata, 'Ini juga salah satu ujian..!' Lantas saya memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.

Sampailah saya pada hari yang ke-40, di pengasingan dalam kampung halamanku sendiri.  Aku terus menantikan turunnya wahyu dari Allah.  Namun tiba-tiba datanglah seorang delegasi Rasulullah SAW menyodorkan pesannya, "Rasulullah mewakilkan kau untuk menjauhi istrimu..!" kata delegasi tadi.

Aku makin murung mendengar hal ini, tetapi saya tetap pasrah terhadap Allah.  Aku tanya delegasi tadi,"Apakah saya mesti menceraikannya atau apa yang mesti saya lakukan..?" Ia menjelaskan, "Tidak, namun kau mesti menjauhinya dan mejauhkannya darimu..!"

Ternyata Rasulullah juga mengantarkan pesan yang serupa terhadap dua sahabatku yang bernasib sama denganku.  Aku pribadi mewakilkan istriku, "Pergilah terhadap keluargamu hingga Allah menegaskan hukum-Nya terhadap kita..!"

Adapun istri Hilal bin Umaiyah, ia tiba menghadap Rasulullah SAW memohon keringanan, "Wahai Rasulullah, sebetulnya Hilal bin Umaiyah sudah sungguh bau tanah dan ia tidak mempunyai seorang pembantu.  Apakah engkau keberatan jikalau saya melayaninya di rumah..?" tanyanya.  "Tetapi ia dihentikan mendekatimu..!" jawab Rasulullah.  Istri Hilal menjelaskan, "Ya Rasulullah..! Ia sudah tidak bergairah pada yang itu lagi.  Demi Allah, yang dilakukannya cuma menangisi dosanya sejak di saat itu hingga kini..!"

Salah seorang saudaraku juga merekomendasikan kepadaku, "Cobalah minta izin terhadap Rasulullah supaya istrimu melayani dirimu menyerupai halnya istri Hilal bin Umayah..!" Aku jawab dengan tegas, "Tidak, saya tidak akan meminta izin terhadap Rasulullah.  Apa yang hendak ia katakan nanti, padaha saya masih muda."

Hari-hari pun berlalu.  Aku hidup seorang diri di rumah.  Hingga lengkaplah bilangan malam sejak orang-orang dicegah mengatakan denganku menjadi 50 hari 50 malam.

Subuh menjelang pada hari ke-50 pengasinganku.  Ketika tengah berzikir memohon ampunan dan mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini, tiba-tiba terdengar teriakan orang-orang mengundang namaku.

"Wahai Ka'ab bin Malik, bergembiralah..! Wahai Ka'ab bin Malik bergembiralah..!"

Mendengar informasi itu saya pribadi bersujud memanjatkan syukur terhadap Allah.  Aku percaya pembebasan eksekusi sudah dikeluarkan.  Aku yakin, Allah sudah menurunkan ampunan-Nya.

Rasulullah menyodorkan informasi terhadap para sahabatnya usai shalat Subuh bahwa Allah sudah mengampuni saya dan dua orang sahabatku.  Orang-orang pun berlomba mengunjungi kami, hendak menceritakan informasi besar hati itu.  Ada yang tiba dengan berkuda, ada pula yang tiba dengan berlari mendahului yang berkuda.  Sesudah keduanya hingga dihadapanku, saya berikan terhadap kedua orang itu dua setel busana yang saya miliki.  Demi Allah, di saat itu saya tidak mempunyai busana kecuali yang dua itu.

Aku secepatnya mencari donasi busana untuk menghadap Rasulullah.  Ternyata saya sudah disambut banyak orang dan mereka mengucapkan selamat kepadaku.  Demi Allah, tidak seorangpun dari Muhajirin yang berdiri memberi ucapan selamat selain Thalhah.  Sikap Thalhah itu tak mungkin saya lupakan.  Sesudah saya mengucapkan salam terhadap Rasulullah, mukanya terlihat cerah dan bergembira.

"Bergembiralah engkau atas hari ini..! Inilah hari yang paling baik bagimu sejak engkau dilahirkan oleh ibumu..!" kata Thalhah haru.

"Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah..?" aku mengajukan pertanyaan sambil berusaha menyabarkan diri. "Bukan dariku..! Pengampunan itu tiba dari Allah..!" jawab Rasulullah.

Demi Allah, belum pernah saya mencicipi besarnya lezat Allah kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar jiwaku ketimbang perilaku jujurku terhadap Rasulullah SAW.

Ka'ab bin Malik kemudian membaca ayat pengampunannya itu dengan sarat haru dan syahdu.  Sementara air matanya terus berderai membasahi kedua pipinya.

"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi sudah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun sudah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta sudah mengenali bahwa tidak ada kawasan lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja.  Kemudian, Allah menemukan taubat mereka mudah-mudahan mereka tetap dalam taubatnya.  Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. At-Taubah : 118).

Alhamdulillah.

Sumber: kisahkisahislamiblog.

Related : Kisah Air Mata Kejujuran Ka'ab Bin Malik

0 Komentar untuk "Kisah Air Mata Kejujuran Ka'ab Bin Malik"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close