Huaxi Village “Desa Utopis Tiongkok”

Penduduk Huaxi Village yang sedang bekerja, tahun 1970/Foto:blog.livedoor.jp
Tiga puluh tahun lalu, warga Desa Huaxi, di timur Tiongkok, menyerupai Sun Hai Yan, cuma dapat makan daging paling cantik sepekan sekali. Sekarang Sun sudah biasa makan di kedai makanan glamor di desanya. Punya rumah dengan pilar ala Yunani dan tangga ala ningrat Inggris-Victorian.

Dulu rakyat Huaxi biasanya masih tinggal di rumah-rumah petak kumal dan mimpinya sekadar berjuang menghimpun duit untuk berbelanja sepeda.

Kini, atau sejak 20 tahun terakhir, Desa Huaxi, 160 kilometer di utara Kota Shanghai di Provinsi Jiangsu, berpenghuni sekitar 2.000 keluarga meningkat menjadi menjadi desa makmur. Warganya berseliweran dengan mobil-mobil built-up.

Warga desa punya rumah cantik rata-rata seluas 400 meter, saham komunal, punya minimal 1 kendaraan beroda empat bagus, jaminan sosial yang kuat, hotel, agrobisnis, logistik, dan pabrik-pabrik menyerupai baja dan tekstil. Pendek kata, tak ada orang sukar dan miskin di Huaxi.

Fasilitas publik dan kemakmuran menyerupai pendidikan, kesehatan, keperluan pokok, ditawarkan begitu mengesankan oleh semacam pemerintahan yang dilakukan Komite Desa.

Sepuluh tahun terakhir Desa Huaxi menjadi semacam trofi dan megafon Republik Tiongkok untuk menginformasikan dunia beginilah racikan mereka tentang komunisme dan kapitalisme. Sebuah desa utopis yang bisa dilihat dan dikunjungi.

Pemilik Microsoft, Bill Gates, menyebut desa itu sejenis “bentuk gres dari kapitalisme”. Petinggi Partai Komunis Cina menyebutnya bentuk terbaik sosialisme.

Sementara Wu Renbao, arsitek Desa Huaxi, figur semacam Lee Kwan Yew untuk Huaxi, yang juga menjabat Sekretaris Partai Komunis Cina tahun 1961, bareng warga desa punya slogan sendiri “langit kami partai komunis, tanah kami sosialisme”.

Sanjungan dan kekaguman global terhadap Desa Huaxi telah tersampaikan sejak 8 tahun terakhir. Liputan media dunia biasanya menafsirkan desa itu selaku racikan sosialisme dengan karakteristik Tiongkok.

Dunia terpana. Sebab, selain kemakmuran sosial yang nyata, bagaimana mungkin suatu desa yang mulanya dihuni 1.600 keluarga, dapat punya menara begitu tinggi, salah satu tertinggi di dunia, pabrik-pabrik, hotel mewah, tempat rekreasi kelas dunia, monumen-monumen desa yang artistik dan mahal, dan buatan kotor domestik setahun senilai Rp 131 triliun.

Menara pencakar langit itu dibentuk selaku mercu suar Tiongkok. Negeri ini senantiasa menciptakan menara untuk setiap kemajuan. Argumen mereka, setiap ada kenaikan ekonomi, dikehendaki ruang dan bangunan. Dan, pasti saja, itu merupakan simbol penawaran spesial pertumbuhan politik komunisme.

Bangunan pencakar langit itu berjulukan Langit Tinggi Sekali. Isinya berisikan hotel 826 kamar, ruangan pertemuan, jamuan makan glamor untuk 5 ribu orang, dan failitas megah lainnya. Warga Tiongkok besar hati alasannya merupakan menara itu lebih tinggi dari banyak menara tinggi di dunia menyerupai Shard London Bridge.

Wu Renbo, arsitek Desa Huaxi, yang wafat Maret 2013, disebut-sebut menerapkan resep variasi antara kendali politik yang menciptakan stabilitas dan orientasi ekonomi berbasis komunal yang cepat kaya.

“Kita mesti punya duit dan kaya. Tanpa itu kita bukan siapa-siapa,” kata Wu terhadap warga.

Meski desa itu sejahtera dan warganya lebih kaya dari seluruh desa lain di Tiongkok, warga Huaxi cuma punya sedikit waktu dan kebebasan, utamanya terhadap duit mereka.

Bar dan kedai makanan tutup sebelum pukul 10 malam biar pekerja tidak tidur larut malam. Warga desa melakukan pekerjaan 7 hari sarat dalam seminggu. Liburan juga sungguh jarang.

Warga Huaxi cuma memegang sedikit duit tunai dari aset saham mereka. Sekitar 80 persen dari bonus tahunan dan 95 persen deviden warga mesti diinvestasikan kembali terhadap komunal. Jika meninggalkan desa, mereka kehilangan saham komunal, akomodasi rumah, dan pertolongan kemakmuran lainnya.

Saham akan tetap dimiliki selama warga tinggal di Huaxi dan selama bisnis dan pabrik-pabrik tetap berjalan. Pekerja pabrik-pabrik rata-rata warga Huaxi dan daerah-daerah sekitar yang terserap oleh pertumbuhan ekonomi Huaxi.

Perjudian dan narkoba tidak boleh sungguh keras di desa. Bahkan tak ada yang disebut kehidupan malam menyerupai klub atau karaoke. Jika ada yang coba-coba, properti mereka akan disita.

Jalan-jalan Desa Huaxi lengang alasannya merupakan warganya sibuk bekerja. Tapi kerja keras itu terang sekali terbayar dengan tata cara hidup yang makmur.

Media-media domestik suka bersikap mendua menyaksikan pertumbuhan desa ini. Huaxi mengalami dua keadaan “surgawi” dan “diktatorisme”. Warga punya kecukupan hidup yang tinggi, tetapi menjadi penduduk industrialis yang menjemukan.

Kritik yang terdengar kian tidak sayup-sayup pula merupakan versi kekuasaan patron-klien yang dikembangkan keluarga Wu. Wu dituding membentengi dirinya dengan versi ekonomi klientelistik di mana kerja keras dibayar dari kedekatan dengan lingkungan keluarga.

Namun, intinya keadilan dalam “persamaan dalam hasil bersama” masih sungguh sungguh faktual dan tak terbantahkan dicicipi warga Desa Huaxi. Yang dikehendaki warga desa mungkin sedikit demokrasi biar kepemimpinan dan ruang sosial tidak digenggam cuma oleh bulat keluarga Wu.

“Sosialisme memiliki arti 98 dari 100 orang hidup bahagia,” kata Wu Renbao terhadap media di Tiongkok.

Chih-Jou Chen, peneliti di Taiwan Academia Sinica, menganggap langka Wu selaku alternatif dari kerasnya komunisme ala Mao, tetapi tak juga ingin kehilangan nilai-nilai komunal. “Wu ingin menyelamatkan versi sosialis dan beberapa nilai komunis,” tulisnya.

Profesor Wenxian Zhang, dari Rollins College Tiongkok, menyebut Wu, pensiunan pengelola partai komunis itu, selaku pegiat ekonomi pasar sosialis dengan huruf ala Tiongkok yang agak bergaya feodal dan partiarkal. Sejak Wu wafat, kepemimpinan partai di Huaxi diserahkan pada anaknya, Wu Xie’en.

Pragmatisme terlihat kian menonjol di Huaxi ketimbang ideologi selaku prinsip. Wu pernah berkata, “Mau isme usang atau isme baru, tujuan kita menciptakan siapa saja menjadi kaya.”

Kiprah Wu di partai politik sejak permulaan memang lebih akrab dengan ide-ide keterbukaan yang sosialistik ketimbang komunistik.

Wu pernah ditangkap oleh “pasukan merah” di kurun Revolusi Kebudayaan yang digulirkan Mao Zedong di tahun 1970-an alasannya merupakan membuka pabrik. Dia sempat dijuluki “pelaju kapitalis”. Penahanan yang serupa juga menimpa pencetus partai lain menyerupai Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping yang mengoreksi Revolusi Kebudayaan.

Tafsir ideologi Wu terhadap komunisme dan Revolusi Kebudayaan Mao terang sekali terejawantah dalam tata cara hidup Desa Huaxi yang dibangun dengan nilai-nilai komunalistik dan kerja keras.

Miao Xian, ibu muda yang melakukan pekerjaan di industri tekstil di Huaxi, mengaku tak keberatan melakukan pekerjaan 7 hari penuh, selama nilai-nilai komunal tetap menjadi prinsip. Dia ingin warga desa tetap mempertahankan kebersamaan itu. “Jika bermaksud meninggalkan desa ini, akan kehilangan nyaris semuanya. Rumah, mobil, uang, subsidi, dan pertolongan lain,” kata Miao.

Turis yang tiba ke desa itu sekitar 2 juta per tahun. Jumlah yang cukup menakjubkan untuk ukuran desa yang luasnya tak lebih besar dari 1.000 meter persegi. Mimpi-mimpi sosialistik Tiongkok terejawantah di desa ini, sebagian besarnya telah menjadi kenyataan. Sebuah desa industrialis maju yang melesat tetapi pula dapat kekurangan oksigen keleluasaan dan spiritualisme akhir tekanan materialisme. [*]

Oleh: Hertasning Ichlas
Sumber: Feature Majalah The Geo Times Edisi 37 2015 - Source

Related : Huaxi Village “Desa Utopis Tiongkok”

0 Komentar untuk "Huaxi Village “Desa Utopis Tiongkok”"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)