Menelusuri Koplak Hingga Ke Koplakan (2): Koplakan Dari Periode Ke Masa

Koplakan ternyata bukan berasal dari kata KOPLAK ditambah akhiran AN. KOPLAKAN samasekali tidak terkait dengan wilayah tinggal orang-orang koplak. Beda samasekali dengan kata Pastoran, Pecinan dll. Yang memiliki arti wilayah bermukimnya para Pastur, dan orang Cina.
 
Pembantu rumah tangga eyang saya dulu, di saat mau pulang idul fitri ke desanya, ia naik becak langganan dan bilang terhadap pak becak: “Teng koplakan bis, Pak”. Pikiran saya waktu itu, koplakan = standplaat (terminal) bis. Ternyata saya salah.
 
Tulisan ini merupakan lanjutan, MENELUSURI KOPLAK SAMPAI KE KOPLAKAN (1): KOPLAK DARI MASA KE MASA, dimana antara lain sanggup dibaca uraian seorang sobat wacana  kemungkinan asal-usul nama Dusun Koplak: Barangkali dahulu banyak warga Dusun itu yang berprofesi selaku kusir Dokar, atau kemungkinan ada terminal Dokar disitu.
 
Dusun yang di Kab Sleman, DIY, namanya Dusun KOPLAK tanpa akhiran AN. Tetapi di Kota Kecamatan Pare, Kab. Kediri, ada yang namanya  Kampung KOPLAKAN. Menurut penulisnya (dapat dibaca di https://jurnal.paperplane-tm.site/search?q=menelusuri-koplak-sampai-ke-koplakan-1) Koplakan puniko nami kampung panggenanipun tetiyang ingkang gadah kapal (kuda = jaran) kangge dokar angkutan.
 
Lokasi kampung Koplakan yang di Pare ini, berseberangan dengan pasar lama. Usia kampung tersebut tentu sudah cukup lama, kira-kira sebaya dengan usia dokar selaku angkutan. Dokar kini sudah tidak ada atau tinggal sedikit, namun nama kampungnya masih eksist.
 
Sebagai perbandingan, di Desa Pelem, Kecamatan Pare, Kab Kediri, juga ada Kampung Inggris sejalan dengan hadirnya puluhan wilayah kursus bahasa Inggris di situ kira-kira tahun 1970an.
 
Lalu apa pemahaman KOPLAKAN yang benar? Terminal Dokar atau Terminal Bis? Tulisan di bawah kiranya sanggup dijadikan rujukan.
 
 
 
POERWADARMINTA
 
Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, koplakan merupakan “palerenan (tempat peristirahatan) lan panginepan (grobag, bakul, lsp). Grobag dalam hal ini sanggup diartikan kereta yang ditarik hewan (kuda atau sapi), berikut wilayah bermalam (untuk pengemudi dan juga para pedagang yang mungkin kemalaman).
 
Dapat ditarik kesimpulan bahwa ada kehidupan di area Koplakan. Setidaknya ada orang dan hewan berkumpul disitu, ada wilayah penginapan atau sekedar untuk leyeh-leyeh, dan niscaya ada orang jualan makanan dan minuman.
 
 
JOGJA TV
 
Pengertian yang diadopsi Jogja TV selaku institusi kurun 21 tidak jauh beda dengan Poerwadarminta pada kurun 20, selaku berikut:
 
Koplakan berasal dari bahasa Jawa yang artinya terminal untuk transportasi tradisional menyerupai andhong, gerobak, dan becak. Hal ini menyampaikan bahwa Koplakan pada jaman dahulu merupakan wilayah public yang difungsikan untuk ajang konferensi dan transaksi penduduk yang berada di akrab pasar. (http://www.jogjatv.tv/program-acara/koplakan-tradisional)
 
Pengertian Koplakan yang digaris-bawahi Jogja TV merupakan terminal transportasi tradisional, sekaligus wilayah publik bertransaksi. Adapun lokasi koplakan merupakan di akrab pasar.
 
 
 
LOKASI DI DEKAT PASAR
 
Sebagai terminal transportasi dan wilayah transaksi, masuk akal jikalau lokasi Koplakan berada di akrab pasar. Di bawah merupakan cuplikan dua goresan pena yang sanggup dijadikan acuan:

Kemudian tiba kesibukan yang saya tunggu-tunggu yakni diajak ibu untuk makan nasi gule di koplakan dokar di sebelah barat pasar yang menurut saya rasanya sangat ”ruaar biasa”, “mak nyuuus”, orang kini bilang. Sampai kini jikalau ke Kutoarjo saya tanya tukang parkir di pasar, apakah masih ada “gule koplakan”, tentunya dijawab, “niku jaman mojopahit, pun mboten enten” (http://diskominfo-blora.blogspot.com/2009_09_01_archive.html)
 
 
CIKAL BAKAL PUSAT PERTUMBUHAN
 
Sekitar 1990an saya pernah mengikuti Dr Soenarso, MPH yang kala itu menjabat Kadinkes Prov Jatim dalam perjalanan (kalau tidak salah) ke Ngawi. Beliau menanyakan: “Pak Iwan tahu berapa jarak kota-kota di Jawa?” Saya berpikir dahulu sebelum menjawab sekitar 30 kilometer. Beliau melanjutkan pertanyaannya: “Mengapa demikian?”. Yang ini terus terang saya katakan tidak tahu.
 
Penjelasan beliau: Jaman Belanda dahulu perjalanan menggunakan kereta kuda. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 Km, kuda perlu istirahat. Maka disediakanlah wilayah peristirahatan (beliau tidak menyebut koplakan). Disitu kuda diberi makan dan minum, insan istirahat, ada penginapan, ada orang jual makanan dll. Kita melanjutkan perjalanan sanggup dengan kuda yang usang atau ganti kuda. Lama kelamaan wilayah tersebut bermetamorfosis kota.
 
Sama dengan apa yang dibilang Dr. Soenarso, MPH di atas, di bawah merupakan kutipan goresan pena Soegijanto Padmo dalam http://wisatadanbudaya.blogspot.com/
 
Jangkauan jual beli di pedalaman masih relative dekat, walaupun transportasi untuk jarak yang relative jauh digunakan gerobak dan cikar dengan daya tempuh sekitar 40 paal sehari. (catatan: 1 Pal Jawa = 1,5 Km). Untuk perjalanan yang mempunyai jarak lebih dari 40 paal membutuhkan penginapan di koplakan yang terletak di antara kota¬kota kecil yang tersebar di Surakarta.
 
Berkaitan dengan masuknya ekonomi duit ke pedesaan di Surakarta maka penduduk pedesaan di sekeliling koplakan itu juga bergotong-royong merupakan pengguna akomodasi yang ditawarkan di koplakan itu. Dengan kata lain koplakan itu bergotong-royong merupakan embryo dari pusat pertumbuhan di simpul kegiatan ekonomi perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Surakarta yang kelak meningkat selaku pusat kegiatan ekonomi dan kemudian menjadi pusat kegiatan tata kelola menyerupai desa, kecamatan, atau bahkan kawedanan.
 
 
DARIMANA ASAL KATA KOPLAKAN
 
Ada diskusi melalui FB antara teman-teman sesama dokter (tua) jadinya malah eyel-eyelan koplak-koplakan. Yang paling tidak koplak diantara yang koplak merupakan teori sobat saya yang namanya berulang kali saya sebut, yaitu: Dr. Soemartono Samadikoen, SpM. Saya cuplik dua komentar dia selaku berikut:
 
Yang pernah juga saya tahu mas Iwan Muljono......kadang wadah minuman itu patungan beberapa kuda, wadahnya dari glugu yg dibikin menyerupai lesung....nah air dedak yg dimasukkan tentu mesti makin banyak.....saat beberapa kuda minum bareng.....irama "koplak-koplak" semangkin nyata........
 
Masih wacana "koplakan"..... minuman kuda umumnya di berikan dedak+air... diwadahi timba..dan kalo kuda minum air tersbut...air dedak yg dikocak-kocak oleh verbal kuda yg minum.....sepertinya bunyi..koplak-koplak.......koplak.com hehehe....mbuh benere ora ngerti.
 
Bagaimanapun masuk logika juga othak-athik dokter seorang andal mata yang telinganya tajam ini. Sayang tidak ada lagu kuda minum menyerupai lagu belum dewasa kuda jalan yang tuk tik tak tik tuk itu.
 
Catatan: Tempat minum kuda dalam bahasa Jawa disebut: Comboran. Kuda yang sedang nyombor (minum) bunyinya koplak-koplak.
 
 

 
EPILOG:
 
Jaman dahulu Koplakan memang untuk kereta kuda. Jaman kini kata koplakan sudah kurang terdengar sekalipun di komunitas yang berbahasa ibu “bahasa Jawa”. Saya percaya anak saya pun tidak tahu arti kata koplakan, walau ia sanggup mengatakan: “Bapak ini makin renta makin koplak”.
 
Jaman kini jikalau masih ada koplakan, hanyalah sekedar terminal, bukan sentra. Penggunaannya pun andai terdengar, banyak salah kaprahnya, mungkin alasannya kereta kuda sudah jarang kita temui selaku transportasi umum: Koplakan Bis, koplakan Becak, koplakan Ojek.
 
Mungkin yang tidak pernah terdengar merupakan kata koplakan Bajaj, alasannya Bajaj cuma ada di Jakarta. Tetapi setidaknya di Jakarta kita masih sanggup mendengar kata: “Koplak, loe” (Iwan MM)

Related : Menelusuri Koplak Hingga Ke Koplakan (2): Koplakan Dari Periode Ke Masa

0 Komentar untuk "Menelusuri Koplak Hingga Ke Koplakan (2): Koplakan Dari Periode Ke Masa"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)