Bungah Lan Sukar (4): Tiap Orang Ukurannya Tidak Sama

Melanjutkan goresan pena Bungah lan sulit (3): Menanam “karep” panen “bungah” dan “susah” sampailah dokar yang dinaiki Baskara dan Sadrana di depan rumah sederhana Sadrana  Melihat dokar berhenti di depan rumahnya, seorang perempuan paruh baya tergopoh-gopoh keluar. Ia heran menyaksikan suaminya turun dari dokar. Lebih heran lagi ``ketika mengamati sosok pria ganteng empatpuluhan yang menyertai. “Panjenengan ......  Ndara Baskara?” tanyanya ragu-ragu.


MBOK SADRANA

“Betul Mbok, kok tahu saya?”

Mbok Sadrana mau jongkok, namun dicegah Baskara. (Jongkok yakni sikap orang Jawa dahulu untuk menghormati orang yang lebih tinggi). “Saya pernah diajak kawan bantu masak waktu ada hajatan di rumah panjenengan. Malah setelah selesai, saya diparingi kain sama ndara putri”

“Den Baskara mau bermalam di rumah kita, mbokne”, sambung Sadrana. Tentusaja mbok Sadrana “njondhil”. (njondhil: terjingkat kaget)

“Gubuk kami mirip ini, apa patut ndoro?”

Baskara menerangkan tak ada masalah baginya. Kalau pak Sadrana dan mbok Sadrana bisa tidur disitu, beliau juga bisa. Ambin di depan bisa beliau pakai tidur. Untuk makan malam, di dokar ada perbekalan yang disiapkan isterinya. Dengan rendah hati ia meminta mbok Sadrana mendapatkan sejumlah duit untuk beli keperluan yang diperlukan. Pak Jadipa, sais dokar, disuruh pulang, ia  diminta kembali besok pagi-pagi.

Beruntung Sadrana punya sumur sendiri yang agung airnya. Dilengkapi bilik mandi,  walaupun tidak ada kakus. Beberapa orang tetangga terlihat menimba air di sumur itu. “Kami cuma bisa menyebarkan air”, kata mbok Sadrana waktu ditanya Baskara. Menambah iktikad Baskara bahwa mbok Sadrana juga mempunyai hati semulia suaminya.


UKURAN BUNGAH DAN SUSAH

Malam itu mereka bertiga duduk di lincak depan rumah. Ada wedang jahe dan pisang goreng disediakan. Baskara yang tiba mau  “ngangsu kawruh” melontarkan pertanyaan: “Bungah itu mirip apa?” ia sadar pertanyaan ini terlalu sulit untuk dijawab. Sudah ia diduga, mbok Sadrana yang menjawab. Wanita setengah renta ini memang terlihat  cerdas, selaku bakul di pasar, dan sering ikut buruh kemana-mana, pergaulannya niscaya lebih luas dibandingkan Sadrana yang ngarit dan sendirian.

“Tidak praktis menjawab itu ndara. Bungah dan sulit senantiasa bergantian. Saya bungah ndoro kersa nginap disini. Tapi berganti  susah alasannya yakni tidak dapat memberi layanan yang baik. Kemudian saya bungah lagi ketika ndara ternyata bisa manjing ajur ajer dengan wong cilik”

“Tapi mirip apa. Apa beda antara bungah saya dengan bungah pak Sadrana, misalnya” Baskara melanjutkan pertanyaannya. Ia sadar pertanyaannya tolol alasannya yakni mbok Sadrana tidak pernah mencicipi jadi orang kaya. Tapi mbok Sadrana bisa menjawab dengan baik,

“Menurut saya, sama saja. Yang namanya bungah maupun susah, mudah-mudahan raja atau kere sama rasa lan suwene bungah (rasa dan usang bungahnya)”. Mbok Sadrana bengong sejenak. “Tetapi ada bedanya juga .....” ia tidak yakin melanjutkan kata-katanya.

“Teruskan mbok ...” pinta Baskara

Mbok Sadrana melanjutkan: “yang beda tuntutannya. Maksudnya, permintaan apa yang dibungahi dan apa yang disusahi”.

Mbok Sadrana memberi referensi bungah dan sulit dengan mengambil orang dan peristiwa yang ada di sekeliling kehidupannya, selaku berikut:

·        Buruh mirip pak Sadrana kalau upahnya naik ya bungah sekali. Kalau diiris pasti amat sedih
·        Penjual di pasar mirip saya kalau barang jualan laku dan bisa cepat pulang bungahnya bukan main. Sebaliknya kalau tidak laku akan sulit sekali.
·       Orang miskin kalau menyusut miskinnya akan bungah. Kalau tambah miskin  semakin nelangsa
·        Penipu kalau sukses akan amat bungah, kalau tertangkap berair dan dilaporkan polisi menjadi sebaliknya.
·        Orang udik akan bungah kalau ada yang memberi penerangan
·        Orang pelit kalau bisa ngirit akan bungah. Kalau keluar duit akan susah.

Baskara memotong klarifikasi mbok Sadrana. “Lha kalau orang mirip saya ini kira-kira bungahnya apa mbok?”

“Sulit membayangkan untuk orang yang sudah kajen keringan (kaya dan disegani) mirip ndara. Barangkali bungahnya sudah habis, tetapi takut sanggup susah”.

Jawaban impulsif dari mbok Sadrana menghasilkan Baskara terhenyak. “Persis mbok dengan yang saya alami. Lalu apa yang mesti saya laksanakan agar saya bungah, mbok?”


LIDING DONGENG

“Ada tembang Sinom, terkenal, dalam serat Wedhatama, niscaya panjenengan tahu. Wong saya orang dusun yang cobolo (bodoh) juga tahu.  Kisah Panembahan Senapati yang senantiasa amemangun karyenak tyasing sesama (membuat nyaman hati semua orang). Panjenengan sudah menghasilkan Sadrana dan saya amat bungah, apa panjenengan tidak bungah?”

“Iya, iya ,, mbok. Ternyata saya bungah kalau bisa menghasilkan orang lain senang. Saya cuma ingin meyakinkan diri saya saja, bahwa apa yang saya laksanakan sudah benar.” Dalam hati ia berpikir, mbok Sadrana ini bukan orang kebanyakan. Sesuai peribahasa Jawa, ia menyerupai “kencana katon wingka” (emas berlian yang tampil mirip gerabah), janma tan kena ingina. Di rumah sederhana ini ia mendapatkan "Bathok bolu isi madu"

Malam belum terlalu larut, namun Baskara sadar bahwa pak dan mbok Sadrana perlu istirahat. Besok dini hari mbok Sadrana mesti ke pasar dan pak Sadrana mencari rumput untuk ternak Jayeng. Tapi Baskara masih punya pertanyaan satu lagi: kapan lagi kalau tidak ditanyakan sekarang.  (IwMM)

 



Related : Bungah Lan Sukar (4): Tiap Orang Ukurannya Tidak Sama

0 Komentar untuk "Bungah Lan Sukar (4): Tiap Orang Ukurannya Tidak Sama"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)