Manusia selaku makhluk sosial tidak hidup menyendiri. Dalam pergerakan hidupnya sepanjang ia tidak tidur, maka ia akan senantiasa berafiliasi dengan orang lain. Baik yang mempunyai relasi kekeluargaan atau pertalian darah, maupun yang tidak ada kaitan kekeluargaan samasekali.
Pada biasanya relasi kekerabatan orang timur amat erat. Ada segi baiknya ada segi buruknya. Secara lazim pada akibatnya orang condong membela keluarga atau orang yang mempunyai relasi dekat.
Kita kenal bebasan MAMBU-MAMBU YEN SEGA. Arti harfiahnya adalah: meskipun bau, tetapi nasi. Walaupun jelek (kelakuannya) namun masih saudara. Demikian pula ada bebasan yang menggunakan purwakanthi (AK): BACIN-BACIN IWAK, ALA-ALA SANAK yang pengertiannya adalah: meskipun jelek, masih sanak (keluarga). Kalau ada apa-apanya, niscaya tidak tega.
Ada beberapa peribahasa maupun bebasan Jawa terkait dengan relasi kekeluargaan dan persahabatan, antara lain selaku berikut:
TIDAK ADA HUBUNGAN KEKELUARGAAN SAMASEKALI
Dalam paribasan maupun bebasan Jawa, orang lain yang tidak ada kaitan relasi keluarga, baik lewat pertalian darah maupun pernikahan, kita katakan dengan perumpamaan ORA MAMBU ENTHONG IRUS dan satu lagi ORA MAMBU SEGA JANGAN.
Enthong (sendok nasi), Irus (sendok untuk mengolah makanan sayur), Sega (nasi) dan Jangan (sayur) yaitu sesuatu yang dekat dengan keseharian hidup insan di rumah, sesuatu yang ada di dalam dapur kita. Mambu yaitu bau. Kaprikornus kalau orang diumpamakan dengan “ora mambu enthong, irus, sega dan jangan” memiliki arti orang itu jauh, atau bukan keluarga.
TIDAK ADA HUBUNGAN KEKELUARGAAN TETAPI DEKAT
Orang yang tidak ada relasi keluarga, namun kalau telah menjadi amat dekat sehingga tidak ada bedanya dengan saudara, dalam paribasan Jawa bisa sebut dengan SADULUR JAMBE SURUH (Jambe: Pinang; Suruh: Sirih). Sirih dan pinang samasekali bukan kerabat satu spesies, namun menyatu dalam kelengkapan orang makan sirih. Dapat dibaca di Bekerja dalam tim: Tuladha dari "kinang"
Kita kenal perumpamaan “saudara seperguruan” yang dalam paribasan Jawa disebut SADULUR TUNGGAL BANYU. Untuk kawan sekerja yang telah erat keterkaitannya kita sebut dengan SADULUR TUNGGAL AJANG. Dalam “basa rinengga” kita kenal kata SADULUR SINARAWEDI. (Sara: kokoh; wèdi: sungguh-sungguh; kata sarawèdi sendiri memiliki arti intan yang digosok). Sedulur sinarawèdi diartikan selaku relasi kawan yang amat dekat mirip dengan kerabat sungguhan).
ADA HUBUNGAN KEKELUARGAAN TETAPI TIDAK DEKAT
Paribasan SATINDAK SAPECAK yaitu citra jauh dekatnya ikatan persaudaraan. Saudara jauh diumpamakan dengan kata “satindak” (selangkah) sedangkan kerabat dekat dengan kata “sapecak” (jarak dari ujung tumit hingga ujung jari kaki).
Saudara yang agak jauh namun masih ada pertalian darah, sering kita katakan selaku ISIH MAMBU KULIT atau ISIH MAMBU KULIT DAGING. Kita amati bahwa “kulit” dan “daging” yaitu organ badan kita yang ada darahnya. Kalau dibilang masih berbau kulit maupun daging, memiliki arti masih ada relasi darah.
Apabila ada kerabat jauh yang kemudian didekatkan lagi dengan ikatan ijab kabul disebut dengan NGUMPULAKE atau NUNTUMAKE BALUNG PISAH sehingga tidak terjadi apa yang disebut dengan KEPATEN OBOR yang artinya: kehilangan lacak alur relasi keluarga.
Lain lagi dengan kerabat yang terkait dengan relasi pernikahan. Secara lazim kita kenal dengan istilah KADANG KATUT. Orang-orang ini jadi kerabat sebab katut (terikut) dengan pernikahan. Dalam bebasan Jawa kita bisa menyampaikan selaku MUNTHU KATUTAN SAMBEL (munthu: uleg-uleg, alat untuk menghaluskan sambal. Biasanya yang dibikin dari batu).
ORANG TUA DAN ANAK
Dalam relasi orang renta dengan anak, orang renta yang bagus niscaya mendahulukan kepentingan anak ketimbang kepentingannya sendiri. Kita kenal peribahasa yang juga menggunakan purwakanthi (AK): ABOT ANAK KARO TELAK. Telak yaitu kepingan rongga ekspresi kita yang paling belakang. Lebih berat anak ketimbang telak pengertiannya adalah: lebih mementingkan keperluan anak ketimbang pribadi.
Jaman dulu, 1970an, saat jadi dokter Puskesmas, saya sering memarahi bapak yang merokok atau ibu yang bersolek berat padahal anaknya kurang gizi. Ini namanya ABOT TELAK KARO ANAK. Kebutuhan eksklusif dikedepankan sementara kepentingan anak terabaikan.
Ekses dari “Abot anak karo telak” yaitu orang renta memanjakan anak secara berlebih-lebihan. Akibatnya justru orang renta akan mengalami kewalahan (kepradah) sebab kelakuan tidak baik (molah) anaknya: ANAK MOLAH BAPA KEPRADAH. Dapat dibaca pada posting Lesmana Mandrakumara: Anak Polah Bapa Kepradah. Sebaliknya anak juga dihentikan tinggal membisu kalau orang renta mengalami masalah. Ada peribahasa BAPA KESULAH ANAK KEPOLAH (Sulah: Tombak; kesulah: Kena Tombak; Polah: gerak).
Perlu dicatat bahwa orang renta mesti introspeksi kalau kemudian ia harus “kepradah” akhir dari “polah” sikap anak yang tidak baik. Ada peribahasa KACANG MANGSA TINGGALA LANJARAN dan satu lagi ORA ANA BANYU MILI MANDHUWUR. Pengertian keduanya adalah: Watak anak biasanya sama dengan orang tuanya atau tabiat orang renta menurun ke anak. Dapat dibaca pada posting: Kacang ora ninggal lanjaran dan ora ana banyu mili mendhuwur. Dengan demikian sebesar-besar kemarahan kita terhadap anak, jangan cepat-cepat menyumpahi anak dan menyampaikan ILANG-ILANGAN ENDHOG SIJI yang artinya: Biarlah kehilangan anak satu tidak apa-apa.
MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO (pikul yang tinggi kubur yang dalam) yaitu bakti anak terhadap orang tua. Angkatlah kebaikan orang renta setinggi-tingginya dan kuburlah sedalam-dalamnya kalau ada kekurangannya.
LIDING DONGENG: KISAH SAPU LIDI DAN KERUKUNAN KELUARGA
SAPU ILANG SUHE (Sapu kehilangan pengikatnya) yaitu bebasan yang menggambarkan relasi keluarga yang tidak erat sebab tidak ada pengikatnya lagi. Ketika kakek dan nenek telah meninggal dunia, maka relasi dengan sepupu dapat menjadi jauh. Apalagi kalau kemudian masing-masing terpisah jauh sebab pekerjaan dan daerah tinggal.
Adalah suatu wisdom story yang sanggup dibaca pada posting Guyub Rukun, mengenai seorang bapak yang prihatin sebab anak-anaknya tidak rukun. Sang bapak kemudian mengambil sapu lidi, dilepas pengikatnya, kemudian dengan mudah lidi yang telah lepas diiris satu-persatu. Ketika lidi disatukan kembali dalam pengikatnya, tidak ada yang dapat mematahkannya. “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” bukankah ini yang kita inginkan? Jangan mirip “Sapu ilang suhe”. (Iwan MM)
Dilanjutkan ke: HUBUNGAN KEKELUARGAAN DAN PERSAHABATAN DALAM PARIBASAN JAWA (2)
0 Komentar untuk "Hubungan Kekeluargaan Dan Persahabatan Dalam Paribasan Jawa (1)"