Sabda Pandita Ratu (1): Dongeng Dasarata Dan Santanu

“Sabda Pandita Ratu” yakni ucapan pimpinan yang seharusnya memang demikian dan merupakan harapan rakyat terhadap mereka. Dalam hal ini “Ratu” tidak cuma mewakili pimpinan tertinggi pada terutama namun juga “umaroh” pada umumnya. Sedangkan “Pandita” yakni “Ulama”. Bila dikaitkan dengan posisi raja pada jaman dulu, bahwa raja yakni senapati ing ngalaga (panglima perang), khalifatulah (raja) sekaligus sayidin panatagama (pimpinan agama), maka tanggungjawab raja yakni berat. Tiga hal jadi satu. Makara untuk berucap mesti sungguh-sungguh berhati-hati, mengenang ia mesti Bawa laksana”, atau kesamaan ucapan dan tindakan.

“Sabda” yakni ucapan. Makara apa yang diperlukan dari ucapan seorang ratu? Disebutkan “Sabda pandita ratu tan kena wola-wali” atau juga “Sabda brahmana raja sepisan dadi tan kena wola-wali”. Artinya ucapan seorang pimpinan (pemerintahan maupun agama) mesti “sepisan dadi, tan kena wola-wali”. Sekali diucapkan ya itu yang mesti dilakukan, tidak boleh berubah-ubah. Kalau “molak-malik” apalagi yang diucapkan yakni suatu janji, tidak cuma membingungkan dan menyakiti rakyat namun juga menghancurkan citra.

Sebenarnya “Sabda pandita ratu” tidak melulu pesan untuk pimpinan, namun juga pesan untuk kita semua: Kalau mengatakan hendaknya dipikir lebih dahulu. Pakai deduga,prayoga, watara dan reringa. Jangan waton nylekop, tahu-tahu ucapannya salah, dengan dua konsekwensi, mau meralat atau tidak meralat. Keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Pada biasanya yang dilaksanakan yakni “tidak” meralat alasannya pesan dibelakangnya yakni “sepisan dadi” dan/atau “tan kena wola-wali”. Manusia hidup mesti "sabda laksana" menetapi apa yang sudah diucapkan.

Risiko “Sabda pandita ratu” amat besar. Dua pola di bawah ini saya ambil dari dongeng Ramayana dan Mahabharata, selaku berikut


RAJA DASARATA DARI AYODYA


Prabu Dasarata mempunyai isteri tiga: Dewi Kausalya yang berputra Ramawijaya, Dewi Kaikayi berputra Barata dan Dewi Sumitra berputra dua, yakni Laksmana dan Satrugna. Saat sang prabu merasa sudah waktunya lengser keprabon, maka ia pastikan untuk menobatkan Ramawijaya selaku suksesornya di kerajaan Ayodya. Semua pembesar kerajaan dan rakyat mendukung dengan gegap gempita putusan raja sepuh tersebut.

Sayang masalahnya tidak berhenti disini. Mantara, abdi kinasih Dewi Kaikayi sekaligus pengasuh pangeran Barata, mengingatkan sang puteri akan kontrak raja waktu meminang Dewi Kaikayi: Bahwa putra Kaikayi lah yang mau dinobatkan selaku pengganti raja. Walaupun Dewi Kaikayi pada mulanya merelakan, lama-lama terbakar juga dan menuntut kontrak sang raja. Tidak cuma menuntut Barata jadi raja, namun juga meminta supaya Rama (sekaligus Dewi Shinta, istrinya) dibuang ke hutan. Rama demi netepi jejering satriya, tulus menyerahkan hak atas tahta terhadap Barata, tergolong siap dibuang di hutan. Barata sendiri sebenarnya tidak mengharapkan dirinya jadi raja.

Tidak ada opsi lain bagi prabu Dasarata. “Sabda pandita ratu” mesti dipegang. Sang raja pun curhat tentang hal ini, terhadap Dewi Kausalya, ibunda Rama. Selesai berceritera, raja wafat. Barata bersedia menjadi raja atas nama Rama, dengan menempatkan terompah Rama di singgasana.

RAJA SANTANU DARI HASTINAPURA


Prabu Santanu yakni raja Hastinapura yang secara legal ialah leluhur Pandawa. Alkisah di saat sang raja berburu di tepi sungai Gangga, berjumpa dengan seorang perempuan cantik, Dewi Gangga yang sebenarnya bidadari yang dikutuk ilahi dan diturunkan ke bumi. Dewi Gangga bersedia jadi isteri Santanu dengan syarat apapun yang ia lakukan, tidak boleh ditanya terlebih dilarang. Santanu pun pribadi OK.
Masalahnya Dewi Gangga  sudah kadung kontrak untuk menolong 8 Wasu yang juga kena kutuk dan diturunkan jadi manusia. Kedelapan wasu akan lahir selaku anak Dewi Gangga sehabis punya suami, dan minta dibunuh dengan ditenggelamkan di Sungai Gangga, sehingga dapat kembali ke kahyangan.
Ketika Dewi Gangga setiap melahirkan senantiasa menenteng bayinya dan membuangnya ke Sungai Gangga, Santanu tidak bisa berbuat apa-apa alasannya terikat janji.  Bagaimanapun keteguhan insan ada batasnya. Pada kehamilan yang ke delapan Prabu Santanu memperingatkan Dewi Gangga untuk menghentikan perbuatannya. Sang Dewi bersedia menghentikan, ia menerangkan masalahnya, kemudian masuk ke kedalaman Sungai Gangga dan tidak kembali lagi ke Hastinapura. Kelak ia mengantarkan putranya yang berjulukan Dewabrata. Pemuda ganteng dan sakti, kandidat penerus tahta Hastina.
Kita pindah ke Sungai Yamuna. Adalah seorang nelayan yang mempunyai anak perempuan amat anggun dan baunya harum semerbak, sehingga dipahami selaku Dewi Gandawati (Ganda: bau) berikutnya lebih populer dengan nama Dewi Satyawati. Berita ini terdengar oleh Prabu Santanu yang sudah usang menduda. Sang raja pun balasannya melamar untuk memperisteri, namun terhambat pada seruan orang bau tanah Gandawati bahwa tahta Hastina mesti diberikan terhadap keturunan Gandawati. Santanu pun kembali ke Hastina dan jatuh sakit.
Dewabrata selaku anak yang tanggap, mencari tahu penyebab ayahandanya sakit. Setelah tahu, ia pun mencari Dewi Gandawati dan melamarkan untuk ayahnya. Sekaligus ia menyanggupi semua seruan dan bersumpah tidak menikah supaya tidak membuat pertikaian antar keturunan. Para ilahi meletakkan hormat pada sumpah Dewabrata, berikutnya ia dipahami dengan nama Bisma.

LIDING DONGENG
Menetapi “Sabda Pandita Ratu” memang amat berat. Prabu Dasarata mesti mengorbankan Rama dan meninggal dalam kesedihan. Demikian pula Dewabrata yang menyerahkan hak atas tahta demi kebahagiaan ayahnya yang tidak mau melanggar “Sabda Pandita Ratu.” Kata kuncinya untuk bahasa kini sederhana saja “memegang komitmen”. Gampang diucapkan, sulit dilaksanakan (IwMM).

Dilanjutkan ke Sabda Pandita Ratu (2): Kisah Wisrawa dan Dewabtara

Related : Sabda Pandita Ratu (1): Dongeng Dasarata Dan Santanu

0 Komentar untuk "Sabda Pandita Ratu (1): Dongeng Dasarata Dan Santanu"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)