Tepa Selira (1): Pegangan Hidup Bermasyarakat

Ungkapan “Tepa Selira” telah diadopsi Bahasa Indonesia. Semua orang tahu kalimat “Orang kok tidak tahu tepa selira”. “Tepa” dalam bahasa Jawa merupakan ukuran, atau lebih lengkap merupakan hal-hal yang dipakai selaku ukuran. “Selira” merupakan badan”. Kaprikornus “Tepa Selira” merupakan mengukur segala sesuatu diadaptasi dengan ukuran diri kita. Dalam bahasa Jawa ada juga sebutan “tepa-tepa” yang artinya sama dengan “tepa selira”, pakai ukuran seumpamanya hal tersebut dipraktekkan pada diri kita sendiri. Sedangkan sebutan “tanpa tepa” tujuannya merupakan orang yang tak punya “tepa selira”

Beberapa pola tentang “tepa selira” ini saya baca di “Gagasan Prakara Tindaking Ngaurip, cuilan Karya R Kartawibawa, Bab XVII, Dibisa tepa sarira, Balai Pustaka, 1921. Sederhana saja umpamanya namun sanggup menjadi rujukan. Isinya kurang-lebih selaku berikut:

Hidup di dunia ini timbal-balik, balas membalas. Alangkah baiknya apabila dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak melakukan hal-hal yang kita sendiri ingin diperlakukan. Bila kita ingin melakukan sesuatu terhadap seseorang, apakah mengatakan atau bertindak sesuatu, tanyakan lebih dulu pada diri kita sendiri. Suka apa tidak diperlakukan menyerupai itu. Bila tidak suka, lebih baik dilarang saja, omongan atau langkah-langkah yang mau kita lakukan. Bahkan fikiran dalam hati pun seharusnya tidak kita lakukan. Walaupun tidak terlahir, namun getar hati sanggup diterima oleh orang yang peka.

“Tepa Selira” merupakan langkah baku dalam hidup bermasyarakat. Orang yang punya “tepa selira” dipandang selaku orang baik, hidupnya akan selamat dan insyaallah tidak memperoleh hal-hal tidak baik dari orang lain. Laku “Tepa Selira” luas penjabarannya. Contoh biasa yang sanggup kita lihat antara lain:

Bila kita berlangsung menenteng bawaan banyak dan berat, kemudian ada orang menolong dengan membawakan sebagian beban kita, hati kita niscaya senang. Kenapa kita tidak memperlakukan yang serupa apabila ada orang lain yang keistimewaan beban. Mungkin kita gopoh-gopoh merebut tas yang dibawa boss kita. Tapi hati-hati apakah nrimo niat kita, atau jangan-jangan kita mau ngathok?

Senang sekali dikala bertamu disambut tuan rumah dengan ramah dibarengi suguhan masakan minuman yang enak. Mengapa apabila kita memperoleh tamu kita diamkan saja tanpa keramahan dan hidangan? Sementara apabila kita sendiri yang bertamu, aji mumpung kita gunakan. Sudah makannya banyak, masih nucuk ngiberake (membawa pulang makanan) tanpa permisi.

Kalau indera pendengaran kita merasa lezat mendengar ucapan terimakasih, dan menjadi tidak nyaman kalau ada orang mengucapkan terimakasih cuma dalam bahasa yang ringkas tanpa bunga, mengapa ekspresi kita amat pelit untuk mengucapkan terimakasih atas hal-hal baik yang dilaksanakan orang terhadap kita?

Ada orang bertanya, kita diamkan saja. Kalau kita memang suka dibegitukan ya tidak apa-apa. Tetapi apabila dikala kita mengajukan pertanyaan sesuatu kemudian diacuhkan sama yang kita tanya, kemudian hati kita sakit dan menilai orang itu tidak tahu adat, ya jangan begitu. Sesibuk-sibuknya kita, apa sih susahnya menjawab, kan cuma menggerakkan bibir dan pengecap saja.

Kalau kita menyapa pimpinan kemudian didiamkan saja, di belakang kita akan mengumpat menyampaikan pimpinan sombong, tidak menghargai orang kecil dan lain-lain umpatan yang tidak pantas didengar. Apakah kita juga berlaku sama apabila disapa orang yang kedudukannya lebih rendah dari kita?. Dalam soal sapa-menyapa ini mestinya tidak usah menatap pangkat dan kedudukan. Siapa menyaksikan lebih dahulu, ya seharusnya menyapa lebih dahulu.

Jadi: Menggunakan ukuran diri sendiri merupakan indikator yang paling pas untuk mengukur tingkat tenggang-rasa kita. Belajar “tepa selira” mulailah dari hal-hal yang nampaknya remeh, menyapa, mengucapkan terimakasih, berbagi, dan lain-lain. Kalau melakukan yang sederhana saja tidak sanggup dan tidak biasa, bagaimana melakukan yang lebih besar? (IwMM)

Dilanjutkan ke Tepa selira (2): Alat ukur batin yang mulai ditinggalkan

Related : Tepa Selira (1): Pegangan Hidup Bermasyarakat

0 Komentar untuk "Tepa Selira (1): Pegangan Hidup Bermasyarakat"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)