Wasiyat Dalem Kgpaa Sri Mangkunegara Iii: Yen Perintah Wong, Sarat Kudu Nglakoni Dhisik

Ini merupakan wejangan Sri Mangkunegara III terhadap abdi kinasihnya, Mas Kapitan  Ngabehi Jayapranata, yang saya baca di web Sastra Jawa, Yayasan Karya Lestari, Surakarta. Sederhana kelihatannya: Untuk bisa memerintah orang, syaratnya mesti pernah melaksanakan lebih dahulu. Analog untuk hal ini, apabila kita ingin menjadi pimpinan ya mesti pernah menjadi bawahan dulu.

Penjelasan yang saya tangkap dari pitutur ini adalah:

1.    Kita bisa mengenali kesalahan orang yang kita perintah dan membetulkan. Tidak sekedar marah-marah namun kita bisa memberi tahu kesalahannya, berbincang cara melaksanakan yang benar sekaligus memberi pola bagaimana cara melakukannya.

2.    Yang diperintah juga akan lebih “mituhu” (menurut), tidak banyak menyanggah, sebab ia tahu bahwa kita tidak sekedar punya hak menegur namun punya pengalaman dan kesanggupan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut

3.    Kita akan lebih memiliki rasa “tepaselira”, jauh dari murka dan maki-maki sebab kita tahu berat ringannya, simpel susahnya pekerjaan yang dilakukan. Kita bisa menghargai orang dan pekerjaannya, jauh dari sifat sewenang-wenang

4.    Karena kita tidak berbincang adab “sok kuasa” meskipun berkuasa, maka yang diperintah pun akan membalas dengan keikhlasan untuk memperbaiki diri dan berbincang bahwa ia merupakan orang yang “mitayani” (dapat dipercaya).

Pitutur Sri Mangkunegara III ini pada dasarnya merupakan mendidik mudah-mudahan orang bisa “tepa selira” bisa menempatkan diri seandainya kita menjadi orang lain. Kalau kita tidak senang dengan sikap yang menyerupai itu, ya jangan memperlakukan orang menyerupai itu pula. Beberapa pola sederhana, misalnya:
1.    Kalau kita pernah coba menggenjot becak bermuatan dua orang di jalan menanjak, apakah kita akan tega menawar terlalu rendah terhadap tukang becak yang sedang sepi penumpang? Turun dari becak pada dikala jalan menanjak merupakan sifat tepa selira.

2.    Kalau pernah menjajal mencuci kendaraan beroda empat hingga mengkilap, apakah kita tega memaki-maki sopir, untuk sedikit kotoran yang menempel di mobil?

3.    Kalau kita  pernah menjajal mengolah masakan makanan dengan hasil tidak enak, apakah kita tega mencela makanan di rumah yang kebetulan kurang garam? Apalagi yang mengolah masakan isteri kita sendiri.


KESIMPULAN


Kalau cuma memerintah, itu gampang. Tetapi memerintah insan yang punya perasaan, dan kita ingin memperhatikan hal tersebut, ternyata tidak segampang itu. Dulu saya pernah memperoleh kiprah di hari libur.  Saya jalankan baik-baik walau hati mengeluh. Tidak saya sangka besoknya saya diundang sebelum laporan siap.

“Bagaimana kemarin? Acara keluarga terusik ya?” Hanya itu, dia  tidak menanyakan hasil tugas. Tapi saya merasa diperhatikan. Lalu pimpinan saya melanjutkan: “saya dahulu paling tidak bahagia apabila diberi kiprah pada hari libur. Tapi saya tugasi siapa lagi, apabila bukan bawahan. Maaf ya”. Itulah pola kecil seorang atasan yang mengerti makna: “Yen perentah wong, sarat kudu nglakoni dhisik” (IwMM)

Related : Wasiyat Dalem Kgpaa Sri Mangkunegara Iii: Yen Perintah Wong, Sarat Kudu Nglakoni Dhisik

0 Komentar untuk "Wasiyat Dalem Kgpaa Sri Mangkunegara Iii: Yen Perintah Wong, Sarat Kudu Nglakoni Dhisik"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)