Serat Wedhatama: Den Awas, Den Emut, Den Memet, Yen Arsa Momot



Kalimat ini sanggup dibaca pada pupuh Gambuh bait ke 25 dalam Serat Wedhatama anggitan KGPAA Sri Mangkunegara IV: Den awas, den emut, den memet yen arsa momot. jadi tujuan kita yakni MOMOT yang biar bisa dipenuhi mesti AWAS, EMUT dan MEMET.

Bait ini merupakan bait epilog Serat Wedhatama (walaupun ada model Serat Wedhatama yang ada lanjutannya).

Lengkapnya selaku berikut:



MOMOT

Momot yakni kapasitas memuat. Ibarat suatu truk, maka kapasitas muatnya selain bergantung pada ukuran truk, makin besar makin muat banyak, bergantung juga kepandaian kita menata barang yang dimuat. Makin rapi penataannya, makin besar pula daya muatnya. .

Yang mesti dimomot insan bisa macam-macam. Antara lain kecerdasan baik intelektual maupun spiritual; Kemampuan menyodorkan rekomendasi secara runtut dan benar; Kreativitas dan inovasi; Jangan lupa juga bahwa sifat sabar dan kesanggupan menyimpan diam-diam ialah kesanggupan “momot” juga.

Oleh alasannya yakni itu syarat untuk bisa “momot” yakni “AWAS, EMUT dan MEMET


AWAS


“Awas” yakni sifat “waskita”, artinya tanggap pandangan lahir dan batinnya. Dalam pupuh Kinanthi bait ke 4 (gambar di sebelah) disebutkan:

Dalam hal ini “awas” memiliki arti “weruh warananing urip” (warana: aling-aling). Makara tahu apa yang ada di balik kehidupan ini, dan “weruh wisesaning tunggal” yang artinya dilandasi kesadaran atas kekuasaan Allah yang Maha Esa.

EMUT

Pengertian “Emut” (eling) yang dalam hal ini yakni ingat terhadap Allah SWT saya tulis dalam “Badan dan jiwa yang rewel”. Salah satunya yakni “eling” bahwa insan ini tidak maha kuasa. Dengan demikian rasa “eling” ini menjadi penyeimbang biar tidak berkembang ketakaburan bahwa kita telah menjadi orang yang “waskita”. 

MEMET

“Memet” yakni sifat yang amat teliti. Kita tidak sembarang mengucapkan, tentukan dan mengerjakan sesuatu sebelum diperhitungkan masak-masak. Deduga, prayoga, watara dan reringa mesti dipergunakan.

MELOK

Pada baris pertama sd ke tiga pupuh Gambuh bait ke 25 di atas disebutkan “meloke ujar iku; yen wus ilang sumelanging kalbu; amung kandel kumandel marang ing takdir. Pengertian “Melok” yakni menyaksikan dengan terang sejelas-jelasnya. Hal ini cuma dimiliki orang-orang  yang hatinya tidak punya rasa was-was lagi lantaran tingginya keimanan terhadap takdir Ilahi.

MULUK

Kata “muluk” kita temui pada bait sebelumnya, yakni pada pupuh Gambuh bait ke 24, selaku berikut:


Orang yang telah “muluk” artinya tingkat ilmunya diakui telah tinggi sekali, menyerupai layang-layang yang “muluk” tinggi ke langit. Orang yang telah “melok” akan “muluk”. Sebagai contoh, andaikan kita seorang dokter, maka kalau ilmu kedokteran kita telah “melok” kita akan diberi ijazah dokter, lalu sehabis memiliki  ijin praktek, barulah kita boleh muluk sesuai dengan kata-kata: “kena uga wenang muluk; kalamun wius padha melok”.

Tapi awas jangan lupa pesan pada baris pertama hingga ke tiga: “kalamun durung lugu; aja pisan wani ngaku-aku; antuk siku kang mangkono iku kaki”. Kalau kita belum bisa “lugu” dalam pemahaman kalau kita belum bisa bersikap apa adanya, alias biasa-biasa saja, tidak sombong, jangan berani-berani mengaku-aku (sebagai orang yang telah “melok” dan “muluk”) lantaran akan “antuk siku” atau memperoleh kutukan Tuhan.

KESIMPULAN
 
AWAS, EMUT dan MEMET yakni modal dasar dalam upaya kita mendapatkan kompetensi  MELOK dan memegang  legitimasi MOMOT, sehingga diperkenankan MULUK, dengan catatan mesti tetap LUGU biar tidak memperoleh SIKU (IwMM)

Related : Serat Wedhatama: Den Awas, Den Emut, Den Memet, Yen Arsa Momot

0 Komentar untuk "Serat Wedhatama: Den Awas, Den Emut, Den Memet, Yen Arsa Momot"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)