Beras tumpah jarang kembali ke takarannya. Peribahasa ini menggambarkan sesuatu yang sudah berubah, sukar untuk kembali mirip semula. Pitutur yang terkandung didalamnya merupakan agar insan hati-hati, alasannya merupakan apabila sudah terjadi pergantian akan sukar pulih mirip sediakala. Tentusaja yang dimaksud disini bukanlah pergantian yang bersifat baik, misalnya kita sekolah, kemudian yang semula terbelakang jadi pandai. Kita pergi menunaikan ibadah Haji, sepulang Haji sholatnya menjadi lebih tertib. Bukan itu yang dimaksud.
Perubahan disini merupakan pergantian yang tidak baik. Misalnya kendaraan beroda empat sehabis gesekan berat, kemudian kita perbaiki walau habis duit banyak, niscaya tidak kembali mirip sediakala. Biasanya orang apabila punya kendaraan beroda empat habis tabrakan, sehabis diperbaiki tidak lagi dinaiki sendiri melainkan dijual. Ini tentang mobil. Lalu bagaimana dengan manusia? Sama saja, apabila sudah berubah, kembalinya tidak 100 persen.
Pitutur ini sering saya pakai untuk menyediakan nasihat kesehatan. Kalau beras sudah kadung tumpah, sukar untuk kembali ke kawasan semula. Andaikan kita coba kumpulkan lagi, niscaya ada yang tercecer juga, dan yang kita kumpulkan pun mungkin sudah jadi kotor. Beras tumpah menyerupai orang sakit. Kalau kita sakit, pola yang terkenal lazimnya darah tinggi dan kencing manis, pastinya mesti minum obat, cek kholesterol, gula darah dan lain-lain. Bila sudah terkontrol, tetap perlu dijaga dengan obat dan diet.
Mengapa mesti dijaga? Kembali terhadap filosofi “kalau beras sudah kadung tumpah” artinya terjadi komplikasi. Kholesterol berisiko darah tinggi kemudian stroke, kencing anggun sanggup menghancurkan apa saja, maka seandainya kita masih sanggup sembuh tetapi tidak betul-betul pulih “as ever”. Sisanya niscaya ada dan yang sisa itu tidak pulih. Hidup kita menjadi kian terbatas lagi.
Mencegah senantiasa lebih baik dibandingkan dengan mengobati. Masalahnya apa saja yang kita laksanakan selaku langkah-langkah pencegahan memang tidak kelihatan hasilnya, sehingga orang malas menjalankan upaya-upaya “preventif dan promotif” selaku budaya hidup. Kita tidak sadar bahwa kesehatan yang kita miliki merupakan buah dari sikap hidup higienis dan sehat.
Manusia juga punya sifat suka melanggar peraturan. Ada kawan di saat diberi beberapa larangan tergolong larangan merokok oleh dokter, mula-mula ia patuh. Kemudian main-main lagi. Ternyata tak terjadi apa-apa, maka semua larangan ia langgar. Suatu dikala ia kena stroke, untung sembuh. Ceriteranya terhadap saya: “Untung mas saya tidak mati. Sekarang saya sembuh tetapi rasanya tidak mirip dahulu lagi. Betul mas, beras wutah arang bali menyang takere”.
Akhir ceritera, kita mesti mempertahankan mudah-mudahan “beras tidak tumpah”. Dalam bidang kesehatan kita mesti menjalankan “Healthy Behavior”, atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Makan dengan suguhan gizi yang seimbang, olah raga teratur, rumah tidak lembab, ventilasi cukup, minum air masak, buang air besar di jamban, tidak buang sampah sembarangan, istirahat dan wisata cukup, hindari kebiasaan buruk mirip rokok, minuman keras dan obat-obat terlarang, dan masih banyak lagi hal-hal sederhana yang sanggup kita laksanakan agar “beras tidak wutah” (IwMM)
0 Komentar untuk "Beras Wutah Arang Bali Menyang Takere"