Bima: Cekak Aos Blaka Suta

Bima, kita kenal juga dengan nama Werkudara, Sena, dan masih banyak lagi merupakan anak ke dua dari keluarga Pandawa. Adik dari Yudistira dan abang dari Harjuna, Nakula dan Sadewa.

Tubuhnya yang tinggi besar, tegap, dengan kumis melintang dan kuku panjang yang disebut “kuku pancanaka” memberi kesan garang. Dalam dunia pewayangan Bima dimengerti dengan ksatria yang tidak bisa duduk dan tidak bisa “basa krama”. Bima senantiasa menggunakan basa “ngoko” sekalipun terhadap para dewa, kecuali satu saja, dengan “Dewa Ruci”.

Bima bicara tidak pernah berputar-putar atau “mbulet”. Selalu “to the point” yang sering disebut dalam bahasa Jawa “Cekak aos blaka suta”. (Cekak: Pendek; Aos: Penuh isi, sarat makna; Blaka: Terus terang, blak-blakan; Suta: Anak; Cekak aos: Ringkas tetapi padat; Blaka suta: Blak-blakan mirip anak-anak). Bisa juga dibilang ora tedheng aling-aling, bares kores. Dalam paribasan Jawa lainnya dibilang mirip orang menyapu disaponana rek (Rek: bunyi sapu lidi yang sedang digunakan menyapu) dibendhenana mung (mung: bunyi bendhe atau gong kecil yang ditabuh).

Bicara pendek, padat, blak-blakan dapat dianggap antusias dan kasar. Dalam budaya Jawa yang lebih banyak mengatakan tidak eksklusif atau “sinamun ing samudana” orang mirip Bima ini dapat merepotkan. Tetapi Bima sebenarnya bukan orang yang kasar atau agresif. Hatinya sebenarnya lembut. Ia cuma tidak mau bertele-tele.

Dalam bahasa Inggris kita kenal sifat “assertive” dan “assertive” bukan “aggressive”. Orang “assertive” (bisa dilihat pada “wikipedia” merupakan orang yang:
  1. Bebas menyodorkan pikiran, perasaan dan keinginannya
  2. Bisa membina korelasi baik dengan orang lain dengan prinsip kesamaan kedudukan dan kesamaan hak.
  3. Mampu menertibkan kemarahan, dalam pemahaman bicaranya tetap rasional
  4. Mempunyai akidah diri yang besar
Empat hal di atas dimiliki oleh Bima. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh kasar dalam dunia pewayangan, Bima meskipun bicara “ngoko” tetapi tidak pernah menghujat atau mengumpat. Rasa yakin dirinya besar. Ketika Pandawa dalam pembuangan, merupakan suatu desa yang mesti senantiasa memamerkan persembahan insan untuk menjadi masakan raksasa. Ketika Dewi Kunti (ibunya) memberitahu hal ini terhadap Bima, maka ia eksklusif menawarkan diri selaku kurban, sekaligus membunuh raksasa itu. Jangan lupa pula bahwa istri Bima, Dewi Arimbi (Hidimbi) merupakan raksasa. Kaprikornus Bima tidak membeda-bedakan manusia. Walaupun kemudian Dewi Arimbi berubah jadi perempuan biasa yang bukan raksasa, tetapi ipar-ipar Bima tetap raksasa.

Orang Jawa memang dihentikan keras bersifat “aggressive” tetapi juga tidak dididik untuk “assertive”. Kaprikornus bukan “aggressive” bukan pula “assertive” kemudian apa “passive?”. Ya bukan juga. Dulu waktu saya masih mahasiswa kedokteran, ada diplomat Inggris yang tinggal selama tiga bulan di rumah orang renta saya. Tujuannya menimba ilmu bahasa Indonesia sekaligus mengenal budaya dan susila istiadat setempat. Ia menyebut saya “diplomat”. Barangkali alasannya merupakan cara bicara saya yang “samudana”.

Adanya Bima selaku tokoh ksatria yang melawan angkara murka dengan gaya bicaranya yang “cekak aos blaka suta”, lugas, tanpa tedeng aling-aling, memberi isyarat bahwa orang mirip Bima juga dikehendaki dalam kehidupan kita. (IwMM).

Related : Bima: Cekak Aos Blaka Suta

0 Komentar untuk "Bima: Cekak Aos Blaka Suta"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)