Gedheg: menggelengkan kepala; Anthuk: Menganggukkan kepala. Ungkapan yang berbunyi: “Kaya si gedheg lan si anthuk”, menyerupai si geleng dan si angguk, menggambarkan sikap dua orang insan yang amat kompak, bersatu seia-sekata, sayangnya bukan untuk kebaikan melainkan untuk mengerjai orang lain.
Ada ungkapan lain dalam bahasa Jawa juga, namun lebih susah bahasanya: “Kaya dududan lan anculan”. (Anculan: Hantu sawah, yang lazim digunakan untuk menakut-nakuti burung pemakan padi; Dududan: Dudud mempunyai arti “tarik”, dududan merupakan alat penarik berupa tali penghubung hantu sawah tersebut di atas. Bila tali ditarik, hantu sawah bergerak-gerak, burungpun terbang). Sama saja artinya dengan “kaya si gedheg lan si anthuk”, disini yang satu menawan satunya bergerak.
TRIK KUNO KEMASAN BARU
Perilaku “gedheg lan antuk” demikian pula “dududan lan anculan” sudah ada sejak dulu. Jaman kini dimana ucapan bahasa Jawa ini sudah jarang terdengar, justru sikap menyerupai ini merebak. Pasangan penipu yang sudah “gedheg lan anthuk” ini ada dimana-mana. Saat ini orang banyak mencari “second opinion”, nasehat kedua. Seseorang yang pergi ke dokter lalu dibilang menderita penyakit tertentu, berhak untuk mendapat “second opinion” ke dokter yang lain. Demikian pula orang yang hendak beli kendaraan beroda empat atau motor. Pasti akan mencari opinion opinion sebelum menentukan mau beli kendaraan beroda empat yang mana.
Si “gedheg lan anthuk” jaman globalisasi ini juga mempergunakan “second opinion” ini untuk memperdaya korbannya, sehingga orang yang ragu menjadi yakin. Dengan kesanggupan bicaranya plus proteksi orang kedua yang juga berilmu bicara, rejeki pun diraup dengan cara yang tidak benar. Korban gres sadar ia tertipu setelah transaksi dan sementara waktu sesudah “si gedheg lan anthuk” pergi. Korban mungkin akan menyampaikan kena gendam, atau hipnotis.
HANYA CONTOH, JANGAN DITIRU
Coba saja duduk sendirian. Boleh di terminal bis, bandara udara, rumah sakit atau tempat-tempat lazim lainnya. Mungkin akan ada orang mengunjungi dan duduk dengan hirau di sebelah kita. Tak usang lalu tiba seseorang, katakan menampilkan arloji merek terkenal, murah dan asli. Bila kita kesengsem untuk melihat, maka 50% kemenangan sudah dimiliki si penjual.
Ketika lalu kita ragu, dengan aneka macam argumentasi tentunya, orang di samping kita yang semula membisu tiba-tiba unjuk bicara. Dengan cara macam-macam juga tentunya. Mungkin ia lihat dan bolak-balikkan arloji itu lalu bilang: “Ini betul asli, jika bapak tidak ambil, akan saya beli”.
Wah jika hati tidak berdampak kita niscaya mulai tergiur. Barangkali harga yang dipersiapkan masih lebih tinggi dari duit yang ada di dalam dompet kita, maka kita mengatakan, duit saya tidak cukup. Orang disebelah kita pun niscaya tidak tinggal diam: “Sayang mas, potensi emas lepas”, katanya sambil tetap menimang-nimang jam cantik tersebut.
Karena duit memang tidak banyak, kita bilang duit tidak cukup. Si Gedheg menunjuk ke cincin yang kita pakai: “Cincin yang mas pakai kan jika 10 gram saja ada. Gimana jika kita tukeran saja. Mas kasih cincin saya kasih jam plus kembalian 500 ribu”. Si Anthuk nimbrung: “Ya jangan 500 ribu. Satu juta lah”. Seraya menoleh ke kita. “Gak rugi mas, toko emas ada dimana-mana, harga sama. Toko jam juga ada dimana-mana, namun yang ini murah betul”.
Akhirnya lepaslah cincin dari jari berganti jam di pergelangan tangan dan suplemen uang 500 ribu di dompet. Si Gedheg pergi dengan mendoakan biar kita banyak rejeki, dan si Anthuk tentusaja tidak secepatnya menyusul pergi. Besoknya di kantor kita ditanya kawan yang lihat jam gres di pergelangan tangan: “Beli di Batam ya. Seindah aslinya dan terjangkau harganya”.
Hati-hati, si Gedheg dan si Anthuk dengan dududan dan anculannya ini ada dimana-mana. Kuncinya "Prayitna" menyerupai kata peribahasa Yitna Yuwana Lena Kena yang berhati-hati selamat, yang lengah kena".
Satu-satunya upaya kita merupakan sikap berhati-hati lebih-lebih jika sedang sendirian. Seorang kawan yang sering saya sebut ustadz mengatakan: “Kalau kau tertipu, penyebabnya dua hal. Pertama ada sifat serakah dalam dirimu dan ke dua shodakohmu kurang. Beristigfarlah”. (IwMM)
Ada ungkapan lain dalam bahasa Jawa juga, namun lebih susah bahasanya: “Kaya dududan lan anculan”. (Anculan: Hantu sawah, yang lazim digunakan untuk menakut-nakuti burung pemakan padi; Dududan: Dudud mempunyai arti “tarik”, dududan merupakan alat penarik berupa tali penghubung hantu sawah tersebut di atas. Bila tali ditarik, hantu sawah bergerak-gerak, burungpun terbang). Sama saja artinya dengan “kaya si gedheg lan si anthuk”, disini yang satu menawan satunya bergerak.
TRIK KUNO KEMASAN BARU
Perilaku “gedheg lan antuk” demikian pula “dududan lan anculan” sudah ada sejak dulu. Jaman kini dimana ucapan bahasa Jawa ini sudah jarang terdengar, justru sikap menyerupai ini merebak. Pasangan penipu yang sudah “gedheg lan anthuk” ini ada dimana-mana. Saat ini orang banyak mencari “second opinion”, nasehat kedua. Seseorang yang pergi ke dokter lalu dibilang menderita penyakit tertentu, berhak untuk mendapat “second opinion” ke dokter yang lain. Demikian pula orang yang hendak beli kendaraan beroda empat atau motor. Pasti akan mencari opinion opinion sebelum menentukan mau beli kendaraan beroda empat yang mana.
Si “gedheg lan anthuk” jaman globalisasi ini juga mempergunakan “second opinion” ini untuk memperdaya korbannya, sehingga orang yang ragu menjadi yakin. Dengan kesanggupan bicaranya plus proteksi orang kedua yang juga berilmu bicara, rejeki pun diraup dengan cara yang tidak benar. Korban gres sadar ia tertipu setelah transaksi dan sementara waktu sesudah “si gedheg lan anthuk” pergi. Korban mungkin akan menyampaikan kena gendam, atau hipnotis.
HANYA CONTOH, JANGAN DITIRU
Coba saja duduk sendirian. Boleh di terminal bis, bandara udara, rumah sakit atau tempat-tempat lazim lainnya. Mungkin akan ada orang mengunjungi dan duduk dengan hirau di sebelah kita. Tak usang lalu tiba seseorang, katakan menampilkan arloji merek terkenal, murah dan asli. Bila kita kesengsem untuk melihat, maka 50% kemenangan sudah dimiliki si penjual.
Ketika lalu kita ragu, dengan aneka macam argumentasi tentunya, orang di samping kita yang semula membisu tiba-tiba unjuk bicara. Dengan cara macam-macam juga tentunya. Mungkin ia lihat dan bolak-balikkan arloji itu lalu bilang: “Ini betul asli, jika bapak tidak ambil, akan saya beli”.
Wah jika hati tidak berdampak kita niscaya mulai tergiur. Barangkali harga yang dipersiapkan masih lebih tinggi dari duit yang ada di dalam dompet kita, maka kita mengatakan, duit saya tidak cukup. Orang disebelah kita pun niscaya tidak tinggal diam: “Sayang mas, potensi emas lepas”, katanya sambil tetap menimang-nimang jam cantik tersebut.
Karena duit memang tidak banyak, kita bilang duit tidak cukup. Si Gedheg menunjuk ke cincin yang kita pakai: “Cincin yang mas pakai kan jika 10 gram saja ada. Gimana jika kita tukeran saja. Mas kasih cincin saya kasih jam plus kembalian 500 ribu”. Si Anthuk nimbrung: “Ya jangan 500 ribu. Satu juta lah”. Seraya menoleh ke kita. “Gak rugi mas, toko emas ada dimana-mana, harga sama. Toko jam juga ada dimana-mana, namun yang ini murah betul”.
Akhirnya lepaslah cincin dari jari berganti jam di pergelangan tangan dan suplemen uang 500 ribu di dompet. Si Gedheg pergi dengan mendoakan biar kita banyak rejeki, dan si Anthuk tentusaja tidak secepatnya menyusul pergi. Besoknya di kantor kita ditanya kawan yang lihat jam gres di pergelangan tangan: “Beli di Batam ya. Seindah aslinya dan terjangkau harganya”.
Hati-hati, si Gedheg dan si Anthuk dengan dududan dan anculannya ini ada dimana-mana. Kuncinya "Prayitna" menyerupai kata peribahasa Yitna Yuwana Lena Kena yang berhati-hati selamat, yang lengah kena".
Satu-satunya upaya kita merupakan sikap berhati-hati lebih-lebih jika sedang sendirian. Seorang kawan yang sering saya sebut ustadz mengatakan: “Kalau kau tertipu, penyebabnya dua hal. Pertama ada sifat serakah dalam dirimu dan ke dua shodakohmu kurang. Beristigfarlah”. (IwMM)
0 Komentar untuk "Gedheg Lan Anthuk, Dududan Lan Anculan"