Episode ke 6 (terakhir) dari 6 tulisan: Kelengkapan Ksatria Jawa Paripurna: Wisma, Wanodya, Turangga, Kukila, Curiga
“Curiga” yakni keris. Perlu dicatat keris dalam pemahaman ini bukanlah senjata pembunuh. Pengertian keris selaku “sipat kandel” bukan pula memiliki arti mistis. Keris melambangkan rasa yakin diri. Dengan keris di pinggang maka “self confidence meningkat”. Keris cuma dipakai oleh orang dewasa. Anak-anak belum dapat mengenakan keris, kecuali pada ketika karnaval saja.
Hanya orang yang berjiwa ksatria nan perwira yang bisa mengenakan keris. Kecuali yang mengaku-aku perwira. Keris juga bermakna kewaspadaan. Cara orang Jawa mengenakan keris, apakah di belakang, di samping atau di depan sebenarnya memamerkan tingkat kewaspadaan. Menempatkan di belakang sebenarnya cuma dalam situasi formal. Saat beribadah keris mesti dilepas. Kalau kita menyaksikan pasukan yang dalam keadaan siaga, maka cara memegang senjata pun berlainan sesuai tingkat kesiagaannya.
Kekayaan dan ilmu sebenarnya dapat dimasukkan dalam “curiga” (keris) selaku “sipat kandel”. Ilmu dan harta akan memajukan rasa yakin diri. Kalau kita bicara wacana ksatria jaman kini pastinya tidak lagi menjinjing keris kemana-mana. Yang ia bawa yakni profesionalisme sesuai bidang kiprah masing-masing.
Seorang dokter Puskesmas akan memajukan kompetensi dan profesionalisme dengan menempuh pendidikan S2 atau spesialisasi. Seorang dosen muda akan bercita-cita menjadi Doktor kemudian professor. Demi ilmu dan demi memajukan keyakinan diri sekaligus keyakinan orang lain terhadap mereka.
Keris bagaimanapun yakni senjata. Hakekat senjata bukan untuk membunuh orang melainkan untuk melindungi diri, rumah, keluarga, kaum lemah dan bela negara. Baik senjata yang berupa senjata beneran maupun senjata yang berupa harta atau ilmu. Dengan “curiga” maka lengkaplah “jejer pendekar utama yang paripurna”.
LIDING DONGENG
Laki-laki renta dari desa itu setelah menyruput tegukan terakhir kopinya menerangkan secara sederhana hakekat keris bukan selaku “tosan aji” tetapi selaku “tosan landhep”. Ia senantiasa menyampaikan dalam bahasa krama yang bukan krama inggil: “Keris niku rak landhep. Mila dados tiyang ampun ngantos uteke landhep dengkul, bodho kados kebo, teng pundi-pundi boten pajeng. Keris sampeyan nggih utek sampeyan. Mulane sekolaha sing pinter”. (IwMM)
0 Komentar untuk "Kelengkapan Ksatria Jawa Paripurna: Wisma, Wanodya, Turangga, Kukila, Curiga (6) - Curiga"