“Kera” Dalam Paribasan Jawa

Kera mestinya menarik. Paling tidak kelakuannya lucu. Kadang-kadang saya berpikir simpanse itu mencontek kelakuan manusia, insan yang mencontek simpanse atau keduanya telah dari sononya begitu? Kalau Darwin memang menyampaikan kita (manusia) dan simpanse merupakan satu asal usul. Celakanya bahasa Jawa agak mendukung dalam hal ini: Kalau kita bicara nama anak hewan dalam bahasa Jawa, maka anak simpanse disebut “Kowe” (Kowe dalam bahasa Indonesia merupakan “Kamu” atau jikalau mau sedikit lebih sopan “anda).

Ada “sisi lucu”nya kera. Oleh lantaran itu di Jawa Tengah ada “Ledhek Kethek”, di Jawa Timur namanya menjadi “Tandhak Bedhes” sementara di Jakarta dimengerti dengan “Topeng Monyet”. Memang bedanya dengan yang di Jawa Tengah dan Jawa Timur, monyet Jakarta pakai topeng. Barangkali monyet Jakarta yang metropolis telah lebih memahami “malu” ketimbang rekannya yang di daerah sehingga perlu pakai topeng.

Menurut “Fabel Aesop” pada waktu Dewa mau mengisi bumi dengan makhluk hidup, aslinya simpanse ditugasi untuk menghibur manusia. Tapi simpanse tidak semanis itu. Hati-hati dengan simpanse Baboon di Afrika. Memang yang satu ini parasnya sangar dan kelakuannya ganas. Di Jawa simpanse juga sanggup menjadi hama yang menghancurkan sekaligus menghabiskan flora Petani. Bahkan sementara waktu yang kemudian kita baca di koran wacana kasus-kasus serangan simpanse terhadap manusia. Fabel Jawa wacana simpanse juga tak ada yang berceritera bahwa simpanse itu baik, malah sebaliknya, menyerupai ceritera di bawah:

Pada masa macan belum makan daging, maka macan dan kerbau merupakan kawan karib. Suatu dikala datanglah simpanse yang membujuk harimau. Kenapa cuma makan serangga dan dedaunan padahal daging kerbau itu enak. Awal awalnya bujukan simpanse diabaikan, lama-lama masuk juga. Dimakanlah kerbau oleh harimau.

Ada juga ceritera simpanse yang kesusahan menyeberang sungai. Untung ada kura-kura yang akan bantu. Apesnya hingga di seberang bukan terimakasih yang diperoleh kura-kura melainkan simpanse mau makan hati kura-kura.

Dari tiga peribahasa wacana kera, yang pertama “Kaya Kethek Ditulup” telah saya tulis. Yang ini tidak berceritera wacana keburukan simpanse melainkan “tolah-tolehnya” jikalau tidak “dhong” apa yang terjadi. Tapi yang dua di bawah ini menyebutkan bahwa simpanse itu “jahat”

1.    Kethek saranggon (ranggon: semacam rumah di atas tiang di hutan) menggambarkan sekumpulan orang jahat. Janganlah kita dekat-dekat sama mereka.

2.    Rampek-rampek kethek (Rampek-rampek: Dalam pemahaman bahasa Jawa lainnya rampek-rampek = nyanak-nyanak, mendekati, supaya memperoleh perhatian). Pengertiannya adalah: Orang jahat mendekati kita seolah-olah beliau baik, padahal dikala kita lengah ia akan berbuat kejahatan pada kita.

Kera jikalau tidak jahat ya nakal. Waktu bertugas di pedalaman Afrika, kawan Afrika saya senantiasa mengingatkan supaya hati-hati dengan barang-barang saya seraya menunjuk ke atas pohon. Kera juga sanggup menularkan Rabies. Kaprikornus jikalau piara simpanse di rumah, supaya tidak lupa di vaksinasi anti Rabies.
 

LIDING DONGENG

Seorang kawan protes. “Lha kau gres saja menulis wacana profesionalisme Hanuman dalam Yen wania ing praktis wedia ing ewuh sebarang nora tumeka. Saya telah punya jawabnya. Pertama, Hanuman berwujud simpanse lantaran kesalahan orang tuanya waktu berebut Cupu Manik Astagina. Akhirnya Ibunya (Dewi Anjani) dan kedua Oomnya (Sugriwa dan Subali) menjelma kera. Kedua, ayah Hanuman merupakan Batara Guru, bossnya Dewa. Kaprikornus hanuman itu 50% Dewa, 25% Manusia dan 25% Kera.

Kesimpulannya, janganlah kita masuk dalam lingkungan “kethek saranggon”. Demikian pula kita mesti senantiasa berhati-hati dengan orang yang “rampek-rampek kethek”, lantaran jikalau tidak dijahati ya akan ketularan jahat. (IwMM)

Related : “Kera” Dalam Paribasan Jawa

0 Komentar untuk "“Kera” Dalam Paribasan Jawa"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)