Siapapun boleh memberi pitutur. Tidak mesti orang renta atau orang yang dituakan duduk dalam lembaga resmi maupun setengah resmi, berbusana Jawa komplit dengan keris, menyodorkan pitutur luhurnya.
Orang Jawa punya sikap yang ialah kelebihan sekaligus kelemahannya yakni “bicara tidak langsung”. Parikan yakni salah satu cara menyodorkan pitutur secara tidak eksklusif dalam situasi yang lebih santai atau samasekali santai lantaran dapat kita laksanakan ketika bercanda.
Parikan bahwasanya sama dengan pantun. Sayang dalam lembaga resmi di tempat berbahasa Jawa parikan nyaris tidak pernah disampaikan. Beda dengan tempat lain di daerah Indonesia, utamanya yang berbudaya Melayu, dimana “pantun” nyaris senantiasa digunakan dalam sambutan-sambutan resmi. Mungkin lantaran “pantun” disampaikan dalam bahasa Indonesia, sementara parikan jikalau tidak pakai bahasa Jawa namanya kemudian bukan parikan.
Merakit parikan memang gampang-gampang susah. Dibilang praktis lantaran kita cuma mencari persamaan kata (guru lagu). Dikatakan sulit lantaran bahwasanya menghasilkan parikan itu ada aturannya. Budaya Jawa bahwasanya “taat pada paugeran”, taat azaz. Orang taat azaz yang tidak bakir merakit kalimat karenanya tidak berani bikin parikan. Sementara orang trampil yang tidak taat azaz akan tanpa beban. Ketika diberitahu misalnya, parikan anda manis namun mbok ditata lagi mudah-mudahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, jawabnya ada saja: “Ini parikan mbeling, mas”.
Guna perhiasan wawasan bagi yang belum tahu, di bawah ini saya tulis rumus menghasilkan parikan. Gampang saja kok. Memang perlu merenung-renung juga. Apa jeleknya merenung, namun pesan dokter jangan sambil rokokan.
Pertama: Parikan berisikan dua kalimat yang masing-masing berisikan dua anak kalimat, menggunakan purwakanthi swara (padanan kata selesai kalimat pertama dan ke dua). Kalimat pertama ialah purwaka (pendahuluan) digunakan untuk menawan perhatian, Kalimat ke dua berisi pesan yang hendak kita sampaikan. Bisa berupa sindiran, pitutur atau pesan lainnya. Oleh alasannya yakni itu kalimat pertama mesti menarik, boleh sedikit gempar namun tetap tidak boleh vulgar. Intinya menghasilkan orang kesengsem pada ucapan kita sehingga mau mendengar kalimat berikutnya. Supaya lebih mudah, semestinya kita siapkan lebih dahulu kalimat ke dua nya yakni pesan kita, gres kita cari kalimat pertamanya.
Berdasar jumlah suku kata (catatan: pelanggaran yang paling kerap terjadi dalam menghasilkan parikan yakni “jumlah suku kata” yang tidak sama) maka parikan dibagi tiga:
A. (4 suku kata + 4 suku kata)X2
Contohnya:
Wajik Klethik, gula jawa
Luwih becik, sing prasaja
B. (4 suku kata + 8 suku kata)X2
Contoh:
Kembang menur, den sebar den awur-awur
Bareng sejahtera banjur lali mring sadulur
C. (8 suku kata + 8 suku kata)X2
Sega punar lawuh empal, segane penganten anyar
Dadi murid aja nakal, kudu ulah ati prasaja
Ke dua: Parikan tergolong “basa rinengga”, bahasa yang berhias. Perlu disusun sedemikian sehingga memikat. Kalau digunakan untuk menyindir, menasihati, bahkan memarahi, tidak terlampau menyakitkan hati, sebaliknya malah menyebabkan kesan sehingga senantiasa diingat. Gendhing-gendhing Jawa yang disisipi parikan menghasilkan situasi tambah gayeng. Di bawah ini perhiasan referensi untuk ketiga jenis parikan:
Wedang bubuk, tanpa gula
Aja ngamuk, gelis tuwa
Kembang kencur, ganda sedhep sandhing sumur
Kudu jujur, yen kowe kepengin luhur
Jangan kacang jangan kara, kaduk uyah kurang gula
Piwelingku mring pra muda, aja wedi ing rekasa
Ke tiga: Apakah parikan mesti menggunakan rumus baku menyerupai di atas? Memang tidak ada larangan. Parikan masih tidak seketat tembang (akan saya posting kemudian). Hanya perlu diingan, parikan yakni “basa rinengga” sehingga perlu diamati dalam penyusunannya: Enak didengar, praktis diterima. Lebih-lebih jikalau “gayung bersambut” dimana kita saling lempar parikan.
Parikan dengan rumus (8 suku kata + 8 suku kata)X2 telah cukup panjang. Kalau kita pakai untuk “ngidung” napas masih mempunyai pengaruh mengikutinya.
Esuk linggih sore linggih, sing linggih wong Surabaya
Esuk nagih sore nagih, sing ditagih ra rumangsa
Catatan: Mengapa ditulis “ra” bukan “ora” rumangsa? Hal ini untuk menyesuaikan jumlah suku kata. Mungkin lebih cocok diganti “gak” mengingat kalimat pertama berbunyi “wong Surabaya”. Dalam hal ini “kata” dapat ditata atau kasarnya dapat dikorbankan untuk menyesuaikan dengan aturan. Lha kenapa kok disebut “wong” bukan “arek”. Kalau pakai “arek” kan jadi kelebihan satu suku kata. Tapi masih dapat diakali menjadi “Sing linggih arek Srabaya”. Yang penting pendengarnya ngerti. Sumangga (IwMM)
0 Komentar untuk "Menyampaikan Pitutur Lewat Parikan"