Beberapa tahun yang kemudian ada salah satu saudara mengatakan: “Sekarang tembang aku Pangkur, bukan Durma lagi”. Mungkin kelihatan jikalau aku tidak begitu “dhong” dengan maksudnya, ia melanjutkan: “Saya sudah pensiun, jadi sudah mungkur dari dunia persilatan”. Saya gres ngeh.Ooo, jadi yang dimaksud dengan tembang pangkur tadi yakni mungkur alias pensiun. Pengertian Durma mungkin darma atau bakti. Kaprikornus ia sudah purnabakti, lengser keprabon madheg pandita.
Selanjutnya saudara aku tadi menerangkan bahwa Sekar (tembang) Macapat secara keseluruhan yakni pepeling (peringatan) terhadap insan tentang perjalanan hidup, mulai dari bentuk benih dalam kandungan ibu hingga mati dan dikubur.
Macapat tergolong Sekar Alit (Tembang Cilik), namun ada juga yang memasukkan sebagian dari Macapat dalam Sekar Madya (Tembang Tengahan), yaitu: Gambuh dan Megatruh). Waktu SD dan Sekolah Menengah Pertama dulu, aku pernah mencar ilmu nembang macapat ini, bahkan diajari menghasilkan tembang macapat, setelah diberikan rumus dan sifat tiap-tiap metrum. Sungguh tolol aku hingga tidak tahu bahwa Sekar Macapat secara keseluruhan ialah citra perjalanan hidup manusia. Melalui browsing di internet memang aku dapatkan bahwa semua sarujuk bahwa Macapat berceritera tentang perjalanan hidup. Yang beda hanyalah analisis dan urutan metrumnya.
Pembaca sanggup mencari dan menerima sendiri bacaan baik di toko buku maupun browsing. Selanjutnya mengerjakan analisis sendiri dan aku percaya bapak dan ibu akan sarujuk pula. Saya sendiri mengerjakan othak-athik dan menerima pengertian seumpama di bawah ini:
Maskumambang: (Mas: istilah lazim mengundang orang tanpa membedakan gender; meskipun jaman kini kata “mas” dipakai untuk menyebut gender laki-laki; Kumambang: terapung). Menggambarkan masa-masa insan masih dalam bentuk janin kecil yang terapung-apung di air ketuban dalam rahim ibunda. Watak lagu kurang-lebih menggambarkan sesuatu yang masih harap-harap cemas.
Mijil: (Mijil: Muncul, lahir, keluar). Bayi dalam kandungan sudah lahir dan terang jenis kelaminnya pria atau wanita yang tentusaja disambut bangga oleh seluruh keluarga. Watak lagu kurang-lebih bernuansa gembira, cinta dan pendidikan.
Sinom: (Nom: muda; Sinom: daun asam yang masih pupus atau muda). Bayi sudah berkembang jadi sampaumur dengan gairah kemudaannya, disamping dihentikan melewatkan bahwa di saat ini yakni potensi bagi insan untuk mengisi dirinya dengan ilmu. Watak lagu kurang lebih bersuasana ceria, lincah, bangga dan mendidik.
Kinanthi: (Kanthi: tuntun, bimbing). Manusia masih dalam masa muda yang dibilang bersifat “gelisah, meraba dan mencari”, oleh lantaran itu perlu di”kanthi”, dibimbing dan diarahkan baik lewat pendidikan formal maupun informal supaya kelak di kemudian hari menjadi insan yang baik, iktikad dan taqwanya kuat, sehingga bisa menghadapi hambatan, bahaya dan tantangan hidup di dunia ini. Watak tembang kurang lebih mengarah terhadap sesuatu yang gembira, cinta kasih, pendidikan dan pengajaran.
Asmaradana: (Asmara: cinta; dahana: api). Sudah menjadi kodrat insan bahwa ia akan jatuh cinta pada musuh jenisnya. Terbakar api asmara yakni kodrat manusia, namun jikalau sudah di “kanthi” pada tahap sebelumnya maka peristiwa kebakaran disini yakni kebakaran yang dapat dikendalikan. Sifat lagu bisa romantis, kasih-sayang maupun nasihat.
Gambuh: (dari kata jumbuh: pas, cocok, sesuai). Bila yang saling jatuh cinta sudah “jumbuh” atau cocok satu sama lain pastinya mesti disatukan dalam kesepakatan nikah untuk membentuk keluarga yang sakinah. Sampai disini sanggup kita lihat bahwa bekal insan untuk memulai hidup yang bahu-membahu dipandang sudah cukup. Manusia dalam perjalanan menuju puncak. Watak tembang sarat keramahan dan kekeluargaan.
Dhandhanggula: (Dhandhang: wadah/tempat menanak nasi). Menggambarkan kehidupan yang sudah mapan dan tercukupi. (Dhandhangnya berisi gula). Kehidupan keluarga yang bahagia, keuangan yang baik, mungkin juga kedudukan yang pantas, apa yang dikehendaki sudah tercapai. Merupakan tembang yang paling luwes bisa dipakai untuk nuansa apa saja.
Durma: (dari kata Darma: menyumbang, memberi). Orang yang sudah mapan hidupnya, dilandasi pendidikan agama yang baik, maka ia akan terpanggil untuk menyediakan sebagian miliknya terhadap sesama insan yang kurang mujur hidupnya. Darma bisa berupa apa saja yang sanggup di “share” terhadap sesama. Seorang guru akan menyediakan ilmu terhadap murid-muridnya, Dokter akan berusaha keras menyehatkan penduduk demikian pula pejabat akan bertindak jujur, adil dan bertanggungjawab dalam mengerjakan kiprah yang diamanahkan kepadanya. Watak tembang dalam hal ini keras (termasuk marah), semangat dan dinamis.
Pangkur: (dari kata Mungkur: membelakangi, mengundurkan diri, menyingkir). Sebagai pasangan dari mengerjakan ”darma” maka kita mesti sungguh-sungguh “mungkur” dari sifat angkara murka, “mungkur” dari semua hal yang mencoreng nama baik seorang ksatria utama, sehingga yang dipikirkan hanyalah “darma” semata: memberi dan membagi. Oleh lantaran itu tembang ini menggambarkah hal-hal yang bersifat keras: pesan tersirat yang keras. Sebagai kelanjutan perjalanan setelah “Durma” menuju ke “Megatruh” maka Pangkur juga diartikan insan yang “madheg pandita setelah lengser keprabon”. Dalam dunia terbaru dipahami dengan nama “pensiun”. Dia tidak lagi tampil di depan. Tongkat estafet sudah diberikan terhadap generasi yang lebih muda. Tetapi “darma” tetaplah “darma”. “Old soldier never die” demikian ucapan populer dari jenderal MacArthur, salah satu satria Perang Dunia ke Dua.
Megatruh: (Pegat: lepas, cerai, berpisah; Ruh: Roh). Saat roh berpisah dengan raga. Saat kita kembali menghadap Allah SWT. Bila tahapan sebelumnya sudah kita lalui dengan baik pastinya di saat “megatruh” kita akan siap dan tenang, sudah demikianlah kodrat manusia: Semua yang diciptakan Tuhan akan kembali terhadap Tuhan. Dengan demikian jikalau tembang ini dilantunkan dengan nuansa sedih, menyesal atau tenang, pasrah, semua bergantung bagaimana kita lewat tahap-tahap kehidupan sebelumnya.
Pucung: (Mengambil kata: Pocong): Setelah Roh berpisah dengan raga kita akan dikafani dan dipocong sebelum dikubur. Selesai sudah masalah insan di dunia. Yang mengherankan pertebaran tabiat tembang Pucung justru yang paling luas. Mulai dari yang paling tidak serius hingga yang paling serius. Bisa dipakai untuk cangkriman (teka-teki), bercanda, menyindir hingga ke pitutur luhur.
Demikianlah, 11 Metrum Sekar Macapat yang menggambarkan perjalanan hidup manusia. Kiranya sanggup dijadikan wahana untuk introspeksi atau retrospeksi keadaan kita pada tiap-tiap stasiun (mulai dari Maskumambang hingga Pangkur) guna kesiapan pada di saat hingga di tahap Megatruh dan Pucung. Sumangga (IwMM)
0 Komentar untuk "Tembang Macapat “All In One”"