Kehati-hatian orang Jawa dalam mengambil keputusan tercermin dalam empat kata berjenjang ini “Deduga, prayoga, watara dan reringa”. Hal ini supaya tidak salah di kemudian hari, sesuai dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”. Leluhur kita mengajarkan mudah-mudahan segala sesuatu diperhitungkan masak-masak mudah-mudahan tidak “keduwung buri” (menyesal di belakang hari).
MAKNA TEMBANG
“Empat kata” ini sanggup dibaca pada Serat Wulangreh, pupuh pangkur, utamanya pada bait ke 2, 3 dan 4 selaku berikut:
Inti maksud per bait kurang lebih selaku berikut:
(2) Deduga, prayoga, watara dan riringa dilarang ditinggalkan dikala kita bangun, duduk, berdiri dan berjalan, baik dikala berbicara, membisu bahkan dikala tidur.
(3) Dalam segala hal, dalam acara besar maupun kecil, setiap hari, siang maupun malam, orang kota maupun orang desa, semua orang yang masih bernapas, empat hal tersebut dilarang ditinggalkan.
(4) Kalau ada insan meninggalkan duga dan prayoga, ia tidak layak bergaul dengan orang banyak. Orang yang tidak tahu tatakrama (degsura), kurang bimbing (daludur) dan sombong ( tan wruh ing edir) seperti ini jangan didekati alasannya cuma membuat kesusahan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa keempat hal tersebut: Deduga, prayoga, watara dan reringa dilarang ditinggalkan oleh siapa pun sepanjang masih bernapas, baik orang kota maupun orang desa, baik siang maupun malam. Orang yang meninggalkan keempat hal tersebut tergolong
EMPAT LANGKAH MENGAMBIL KEPUTUSAN
"DEDUGA" boleh diartikan sebelum melangkah mesti dipertimbangkan. Sebuah pola sederhana merupakan kita punya pegawai yang kolot di kantor. Tiap hari bikin kita murka alasannya pekerjaannya. Lalu mau kita apakan dia? Dipecatkah? Jangan keburu memecat. Pertimbangkan dahulu baik-baik.
"PRAYOGA" sebaiknya bagaimana? Apa untungnya memecat dan mengganti? Demikian pula apa ruginya? Mengganti orang gres sesungguhnya sama saja dengan beli kucing dalam karung. Kita tetap tidak tahu baik buruknya. Orang yang akan kita ganti ini kolot tetapi jujur dan loyal, jangan-jangan nanti bila sanggup orang baru, kita sanggup yang terpelajar tetapi tidak disiplin dan suka mencuri? “Dados prayoganipun kadospundi? Ya kita rembug sama-sama.
"WATARA" tetap kita mesti mengira-ira lagi dengan memikirkan aneka macam hal secara seimbang. Kita perlu konsultasi atau minta rekomendasi orang lain, namun yang menentukan ya tetap kita.
"RERINGA" mengingatkan lagi bahwa kita mesti waspada dan sungguh-sungguh percaya sebelum mengetok palu.
PERTIMBANGAN BUKAN BERARTI LAMBAN
Hal ini yang memunculkan seperti orang Jawa lambat mengambil keputusan. Pada jaman sekarang, jaman yang serba cepat dimana pergeseran sanggup terjadi dalam hitungan menit, kelambatan mengambil keputusan sanggup sama jeleknya dengan salah mengambil keputusan.
“Deduga, prayoga, watara dan reringa” merupakan pelajaran jaman dulu. Intisarinya amat bagus, jangan gegabah. Yang dikehendaki merupakan kecepatan. Guna memperbaiki kecepatan pada jaman kini telah banyak sekali “toolkit” administrasi yang sanggup kita pelajari. Misalnya saja analisis SWOT yang mempelajari Strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunity (peluang) dan Threat (Ancaman) yang pada hakekatnya merupakan analisis DPWR (Deduga, Prayoga, Watara dan Reringa) yang telah dibentuk lebih sistematis dan terstruktur.
Jadi, cara mengambil keputusan lewat “deduga, prayoga, watara dan reringa” bukan penyebab kelambanan. Kalau ada yang lamban maka yang lamban merupakan “manusianya” yang terlalu mangu-mangu (ragu-ragu) bukan ajarannya. Ungkapan Jawa lainnya terkait dengan kebalikan hal ini merupakan “Kurang duga prayoga” dan ”Kaduk wani kurang deduga”. Maknanya nyaris sama, cuma yang pertama menekankan pada lemahnya pertimbangan sedang yang kedua menitikberatkan pada kegegabahan dalam bertindak (IwMM)
CATATAN:
Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939:
MAKNA TEMBANG
“Empat kata” ini sanggup dibaca pada Serat Wulangreh, pupuh pangkur, utamanya pada bait ke 2, 3 dan 4 selaku berikut:
Inti maksud per bait kurang lebih selaku berikut:
(2) Deduga, prayoga, watara dan riringa dilarang ditinggalkan dikala kita bangun, duduk, berdiri dan berjalan, baik dikala berbicara, membisu bahkan dikala tidur.
(3) Dalam segala hal, dalam acara besar maupun kecil, setiap hari, siang maupun malam, orang kota maupun orang desa, semua orang yang masih bernapas, empat hal tersebut dilarang ditinggalkan.
(4) Kalau ada insan meninggalkan duga dan prayoga, ia tidak layak bergaul dengan orang banyak. Orang yang tidak tahu tatakrama (degsura), kurang bimbing (daludur) dan sombong ( tan wruh ing edir) seperti ini jangan didekati alasannya cuma membuat kesusahan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa keempat hal tersebut: Deduga, prayoga, watara dan reringa dilarang ditinggalkan oleh siapa pun sepanjang masih bernapas, baik orang kota maupun orang desa, baik siang maupun malam. Orang yang meninggalkan keempat hal tersebut tergolong
EMPAT LANGKAH MENGAMBIL KEPUTUSAN
"DEDUGA" boleh diartikan sebelum melangkah mesti dipertimbangkan. Sebuah pola sederhana merupakan kita punya pegawai yang kolot di kantor. Tiap hari bikin kita murka alasannya pekerjaannya. Lalu mau kita apakan dia? Dipecatkah? Jangan keburu memecat. Pertimbangkan dahulu baik-baik.
"PRAYOGA" sebaiknya bagaimana? Apa untungnya memecat dan mengganti? Demikian pula apa ruginya? Mengganti orang gres sesungguhnya sama saja dengan beli kucing dalam karung. Kita tetap tidak tahu baik buruknya. Orang yang akan kita ganti ini kolot tetapi jujur dan loyal, jangan-jangan nanti bila sanggup orang baru, kita sanggup yang terpelajar tetapi tidak disiplin dan suka mencuri? “Dados prayoganipun kadospundi? Ya kita rembug sama-sama.
"WATARA" tetap kita mesti mengira-ira lagi dengan memikirkan aneka macam hal secara seimbang. Kita perlu konsultasi atau minta rekomendasi orang lain, namun yang menentukan ya tetap kita.
"RERINGA" mengingatkan lagi bahwa kita mesti waspada dan sungguh-sungguh percaya sebelum mengetok palu.
PERTIMBANGAN BUKAN BERARTI LAMBAN
Hal ini yang memunculkan seperti orang Jawa lambat mengambil keputusan. Pada jaman sekarang, jaman yang serba cepat dimana pergeseran sanggup terjadi dalam hitungan menit, kelambatan mengambil keputusan sanggup sama jeleknya dengan salah mengambil keputusan.
“Deduga, prayoga, watara dan reringa” merupakan pelajaran jaman dulu. Intisarinya amat bagus, jangan gegabah. Yang dikehendaki merupakan kecepatan. Guna memperbaiki kecepatan pada jaman kini telah banyak sekali “toolkit” administrasi yang sanggup kita pelajari. Misalnya saja analisis SWOT yang mempelajari Strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunity (peluang) dan Threat (Ancaman) yang pada hakekatnya merupakan analisis DPWR (Deduga, Prayoga, Watara dan Reringa) yang telah dibentuk lebih sistematis dan terstruktur.
Jadi, cara mengambil keputusan lewat “deduga, prayoga, watara dan reringa” bukan penyebab kelambanan. Kalau ada yang lamban maka yang lamban merupakan “manusianya” yang terlalu mangu-mangu (ragu-ragu) bukan ajarannya. Ungkapan Jawa lainnya terkait dengan kebalikan hal ini merupakan “Kurang duga prayoga” dan ”Kaduk wani kurang deduga”. Maknanya nyaris sama, cuma yang pertama menekankan pada lemahnya pertimbangan sedang yang kedua menitikberatkan pada kegegabahan dalam bertindak (IwMM)
CATATAN:
Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939:
Duga: Nganggo dipikir dhisik untuk baiknya (demi baiknya semua langkah-langkah mesti dipikir apalagi dahulu)
Duga-prayoga: Pangrembug kang murih becike (berembug untuk baiknya)
Duga-wetara: Pamikir, panemu (buah pikiran, pendapat)
Prayoga: Pertimbangan baik
Watara: Pangira-ira (Perkiraan)
Reringa: Kanthi pangati-ati merga gojag-gajeg (Dengan sarat kehati-hatian alasannya masih ragu-ragu)
0 Komentar untuk "Serat Wulangreh: Deduga, Prayoga, Watara Dan Reringa"