Subasita Jawa (1): Mengantuk Dan Menguap


Mengantuk dan menguap yaitu penyakit harian yang niscaya kita alami dimana saja dan kapan saja. Bila kala 21 kita sebut selaku kala rapat dan pelatihan maka di kawasan itu lah akan kita temui orang mengantuk, menguap bahkan tidur. Karena kala 21 juga kala informatika maka foto orang ngantuk terlebih kalau yang ngantuk itu orang penting cepat sekali beredar kemana-mana.

Manusia setampan atau secantik apapun kalau sedang menguap terlihat jelek sekali. Cobalah sekali-sekali kalau sedang mengikuti konferensi minta ke salah satu kawan untuk memotret kalau kebetulan kita menguap. Wah, kita akan terkagum-kagum sendiri menyaksikan wajah kita. Tetapi kelihatannya penyakit mengantuk tergolong penyakit yang tidak dapat dicegah.

MENGANTUK

Menurut “subasita” Jawa mengantuk dikala hadir dalam “pasamuwan” (pertemuan) dibilang “saru”. Kalau kita kehilangan kesanggupan komunikasi dalam konferensi lantaran ngantuk semestinya pulang saja, tidur! Lebih celaka lagi kalau dalam konferensi kita tak pernah lepas dari kantuk, namun tatkala hidangan keluar kantuk pun hilang. Kita makan, bahkan dalam takaran besar seolah mata dan lisan bangun sendiri-sendiri. Selesai makan, kantuk hilang diganti tidur. Kenapa kita tidak kasihan terhadap diri kita sendiri?

MENGUAP

Dalam bahasa Jawa menguap disebut “Angob”. Menguap terkait bersahabat dengan kantuk. Tidak ada kuap tanpa kantuk demikian pula tidak ada kantuk tanpa kuap. Menguap juga ialah sikap tidak sadar orang yang bosan.

Oleh alasannya yaitu itu kalau kita sedang menerima tamu baik di rumah maupun di kantor jangan sekali-sekali menguap. Hal ini sama saja menghalau secara halus. Tentu saja yang dapat mencicipi cuma tamu yang “tanggap ing sasmita” dari bahasa badan tuan rumah. Bila kita selaku tuan rumah merasa akan “angob” carilah trik mudah-mudahan tidak tertangkap berair tamu kita. Apakah berdiri, akal-akalan mengambil sesuatu di kawasan lain atau cara lain yang pas.

Tamu juga jangan hingga menguap di depan tuan rumah. Orang Jawa menyampaikan “degsura” atau kurang ajar.

CATATAN

Sumber goresan pena ini yaitu “Serat Subasita” karangan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, tahun 1914, nyaris 100 tahun yang lalu. Apakah jaman memang telah berubah sehingga pada kala 21 ini banyak orang tidak aib “angob” dan “ngantuk” di wajah umum? Termasuk menyaksikan wajah jelek kita kalau sedang “angob?” Sumangga (IwMM)

Dilanjutkan ke: Subasita Jawa (2): Perilaku Jari dan Tangan

Related : Subasita Jawa (1): Mengantuk Dan Menguap

0 Komentar untuk "Subasita Jawa (1): Mengantuk Dan Menguap"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)