Anggota tubuh bab atas kita merupakan bab yang banyak dilihat orang selain kepala. Lebih khusus lagi merupakan tangan dan jari-jari kita. Tiap hari kita ketemu orang dan tiap hari pula kita bersalaman dengan orang. Oleh alasannya merupakan itu banyak diantara kita yang mengecat kuku dan menghiasi jari-jemari kita dengan cincin. Bahkan tidak cuma satu cincin saja di jari manis. Sayangnya sikap jari-jari kita sering tidak semahal dekorasi yang bertengger disitu.
Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, dalam Serat Subasita, 1914 menyodorkan menyerupai di bawah ini. Apakah masih berkaitan untuk kala sekarang, kita baca bersama:
KUKU HITAM
Ujung kuku yang hitam kotor menghasilkan tidak tenteram orang yang melihat. Sebaiknya diiris pendek, jangan biarkan kuku menjadi panjang lantaran niscaya lebih gampang kemasukan kotoran. Kalau memang piara kuku panjang ya mesti tekun membersihkan. Orang bertamu jikalau kelihatan kukunya kotor dianggap “degsura” (kurang ajar).
PERILAKU JARI-JARI TANGAN
Tidak boleh garuk-garuk di depan lazim terlebih di pertemuan. Bisa disangka tubuh kita banyak kutu atau jamur oleh orang yang melihat. Kalau ada yang terasa gatal dan ingin menggaruk, menyingkirlah sebentar ke kawasan lain, atau ditekan saja pada busana di kawasan yang gatal dengan jari.
Perilaku lain dari jari-jari tangan kita yang sering di luar kesadaran merupakan menggosok-gosok mata (Jawa: ucek-ucek). Mungkin ada yang mengganjal, atau terasa gatal, atau ada kotorannya (Jawa: blobok). Orang yang menyaksikan merasa tidak enak. Kalau terpaksa, gunakan saputangan atau tissue bersih.
Demikian pula lubang telinga, merupakan sasaran tidak sadar jari-jari kita. Mengorek lubang telinga dengan jari memang tenteram bagi si empunya jari. Lobang indera pendengaran memang sering gatal. Mungkin lantaran ada kotorannya (Jawa: Cureg). Orang yang melihat, rasanya niscaya “eneg”, kata orang Jawa.
Satu lagi lobang yang amat sering jadi tujuan jari merupakan lobang hidung. Kita sering membersihkan kotoran di hidung (Jawa: upil) dengan jari.Ini juga sikap “degsura” yang kira-kira paling banyak kita jalankan di luar kesadaran. Sampai ada “cangkriman” Jawa: Apa sing mlebune lenceng metune bengkong? (apa yang masuknya lurus keluarnya bengkok? Jawabannya tentusaja orang mencari “upil”. Demikian pula pernah saya baca teka-teki bahasa Indonesia, mengapa kayu di bab bawah meja permukaannya kasar? Jawabannya: Karena banyak upil dileletkan disitu.
Yang ini mungkin tidak terlampau menjijikkan tapi tidak sopan. Yaitu bila wajah kita terasa berminyak kemudian kita usap pakai tangan. Pakailah saputangan atau tissue. Sedapat mungkin sebelum kita berjumpa seseorang jikalau wajah kita berminyak, kita bersihkan dulu. Saya ingat pernah mendampingi pimpinan ke sebuah desa di atas bukit yang mesti ditempuh dengan jalan kaki. Sebelum masuk rumah pak Kades, boss saya bilang: “Bersihkan wajah dulu, sisir rambut, agar tidak kelihatan nggilani”.
Perilaku di atas menampilkan hal-hal yang tidak patut lantaran ada unsur “menjijikkan”. (Blobok, Cureg, Upil). Bayangkan saja kita sedang bincang-bincang dengan orang, orang itu kuku jarinya kotor, kemudian selama perbincangan beliau sempat uthik-uthik upil”. Selesai bicara, beliau berpamitan, mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Mau tidak diterima, kita yang jadi tidak sopan (degsura), jikalau diterima kita merasa jijik.
MEMBERIKAN SESUATU
Memberikan sesuatu yang ada pegangan atau pangkalnya maka yang kita hadapkan pada si peserta merupakan bab pangkal atau pegangan. Bagian ujung atau bab tajam menghadap ke diri kita. Bila kita menjalankan sebaliknya, tergolong sikap “degsura”, tidak sopan. Contoh: menyediakan pisau, tongkat, payung.
GERAK TANGAN SAAT BICARA
Dalam budaya Jawa, mengatakan dengan tangan bergerak kesana-kemari (Jawa: tangan srawean) dianggap sikap tidak sopan. Mungkin ini agak spesifik Jawa lantaran di kawasan lain hal ini tidak menjadi masalah. Dalam hal ini kita dilarang begitu saja “nggebyah uyah” bahwa orang yang bicara dengan tangan “srawean” merupakan orang “degsura”.
MENUNJUKKAN SESUATU
Menunjukkan sesuatu seharusnya dengan ibu jari (jempol) jangan dengan jari telunjuk, lantaran hal ini tergolong sikap “degsura”. Apalagi dengan menghunus kaki, amat tidak sopan. Sering kita tidak sadar, dikala sedang bangun sementara tangan masih pegang sesuatu, kemudian kita menampilkan sesuatu yang letaknya di lantai dengan ... ujung kaki kita.
Bulan Maret kemudian ada reuni teman-teman FK UGM yang usianya sebagian besar di atas 55 tahun. Ada yang iseng menghimpun foto “olah jari” mereka. Ternyata banyak yang menggunakan “jari telunjuk” untuk menampilkan sesuatu. Komentarnya kurang-lebih: Perilaku jari orang yang pernah jadi boss. Sayang saya tidak hadir waktu itu. (IwMM)
Sambungan dari: Subasita Jawa (1): Mengantuk dan Menguap
Dilanjutkan ke: Subasita Jawa (3): Kentut, Berak dan Kencing
Sambungan dari: Subasita Jawa (1): Mengantuk dan Menguap
Dilanjutkan ke: Subasita Jawa (3): Kentut, Berak dan Kencing
0 Komentar untuk "Subasita Jawa (2): Sikap Jari Dan Tangan"