Suatu di saat aku naik taksi dari Bandara Soekarno Hatta, sopirnya muda dan ramah. Ia mengajukan pertanyaan ihwal diri saya: “Bapak dari Jawa?” Saya jawab pendek: “Iya”. “Jawa mana Pak?” Si sopir melanjutkan pertanyaannya. “Aslinya Jogja, dik,” jawab aku tetap pendek. Sopir yang kemudian aku tahu berjulukan Parno itu menjadi semangat: “Saya juga Jawa Pak, namun Jawa ngapak-ngapak, orisinil Cilacap. Kalau Bapak orang Jogja aku mau belajar!” Sepercik sanjungan selaku orang Jogja timbul dalam diri saya: “Lha wong bahasa Jawamu baik gitu lho, mau mencar ilmu apa?” “Saya mau tanya peribahasa, tulung menthung itu artinya apa Pak?” Jawab dia.
Dalam hati aku berpikir, jikalau cuma “tulung menthung”, orang yang tidak ngerti bahasa Jawa saja niscaya ngerti artinya. Sudah ditolong malah menyusahkan yang menolong. Mungkin dalam bahasa Indonesia nyaris sama dengan peribahasa air susu dibalas dengan air tuba. Dengan agak dongkol aku jawab: “Sudah terang gitu lho, mudahnya sampeyan pinjam sepeda motor, aku kasihkan malah dibawa lari”.
“Ya itu Pak, yang aku bingung,” sahut Parno. “Kan cuma kata dasar tulung. Kenapa kita cuma berpikir telah ditulung malah menthung? Kan sanggup juga punya arti nulung sekaligus menthung?”
Wah ini sopir cerdas, pikir saya. “Kamu kok pinter dik, aku malah nggak berpikir kesitu”. “Bapak, malah kini lebih banyak yang nulung menthung ketimbang yang ditulung menthung”, kata Parno, kemudian ia teruskan dengan contoh-contoh mulai penolong korban kecelakaan sambil nyopet dompet, kacamata dan cincin, banyaknya kreditor dan rentenir, bahkan hingga ke proyek.
Saya cuma sanggup geleng-geleng kepala. Kenapa embah-embah kita dahulu menggunakan kata “tulung menthung”. Jaman dahulu mungkin lebih banyak orang yang diberi pinjaman namun tidak tahu diri, sedang di saat itu jikalau kita menolong niscaya ikhlas. Tetapi apa ya demikian seterusnya? Oleh alasannya yaitu itu amrih luwesnya digunakan tembung lingga (kata dasar) “tulung” yang belum ditambah awalan, akhiran atau sisipan.
“Tulung menthung” dalam pemahaman “ditulung menthung” juga menjadi salah satu lagu Didi Kempot, demikian pula dalam lelagon Jawa Campursari, aku pernah mendengar lirik ..... apa ra kelingan biyen kowe kuwi sapa, lara tak obati bareng mari kowe lali (apa tidak ingat dahulu itu kau siapa, sakit aku obati sehabis sembuh kau lupa) ........ ilat tanpa balung wis ditulung malah menthung (lidah tidak bertulang telah ditolong malah menthung).
Karena ingin tau hingga di rumah aku browsing internet. Ternyata penafsiran “tulung menthung” memang ada dua. Walau demikian nyaris seluruhnya menafsirkan dengan “ditulung menthung”, kecuali beberapa orang ditambah Parno yang sopir taksi tadi. Pendapat minoritas, namun belum pasti salah.
Oh ya, satu lagi barusan sanggup masukan seorang sobat “tulung menthung” bisa diartikan menolong menthung. Teman aku ini pernah menyaksikan tukang copet ketangkap kemudian dipenthungi rame-rame, kemudian ditolong Polisi. Wah jikalau ini sih kira-kira kisah lain lagi.
Karena ingin tau hingga di rumah aku browsing internet. Ternyata penafsiran “tulung menthung” memang ada dua. Walau demikian nyaris seluruhnya menafsirkan dengan “ditulung menthung”, kecuali beberapa orang ditambah Parno yang sopir taksi tadi. Pendapat minoritas, namun belum pasti salah.
Oh ya, satu lagi barusan sanggup masukan seorang sobat “tulung menthung” bisa diartikan menolong menthung. Teman aku ini pernah menyaksikan tukang copet ketangkap kemudian dipenthungi rame-rame, kemudian ditolong Polisi. Wah jikalau ini sih kira-kira kisah lain lagi.
Bagaimanapun kita memang berada di tengah-tengah tarikan dua kutub: Tulung tinulung (saling tolong) dan Penthung pinenthung (saling penthung), diantara dua kutub itulah terdapat “ditulung menthung dan nulung menthung”. Yang penting kita jikalau ditolong maupun menolong janganlah sekali-sekali menthung (IwMM).
0 Komentar untuk "Tulung Menthung"