APA ITU Hyper-Parenting? Itu merupakan dunia dimana orang bau tanah ‘memacu’ anaknya untuk terus berlari kencang. Orang bau tanah memegang kendali sarat atas perjalanan anak-anaknya, dan mereka juga mencicipi kepuasan atas aturan-batasan yang mereka menegaskan sendiri.
Alvin Rosenfeld, psikiater anak dari anak mereka untuk tujuan meraih keberhasilan dengan contoh hyper-parenting ini. “Ini merupakan contoh bimbing fasis dan menjauhkan anak dan orangtua dari hal-hal menggembirakan yang semestinya bisa mereka lakukan,” tambah Rosefeld.
Menurut Rosenfeld, contoh Hyper Parenting ini banyak dipraktekkan keluarga kelas menengah ke atas. Mereka lebih sering khawatir atas kehidupan anak mereka yang bekerjsama baik-baik saja.
Bahkan ada beberapa orang bau tanah yang secara sengaja mencari hormon perkembangan untuk anaknya yang kebetulan berbadan pendek dengan asumsi bahwa orang-orang berbadan pendek akan dianggap pecundang.
Pakar anak dari University of Minnesota, William Doherty, menambahkan, banyak laporan dari sejumlah dokter mengenai kliennya yang anak-anaknya sering menderita sakit maag dan pusing akhir kecapekan dan stres.
Menurut pakar lain, Terri Apter, spesialis psikiatri cukup umur dari Newnham College, Cambridge, kecenderungan orang bau tanah untuk ‘memaksa sempurna’ anak-anaknya ini dipicu oleh motivasi dan permintaan terbuat oleh lingkungan sekitarnya.
Sejumlah orang bau tanah bahkan yakin bahwa tindakannya tersebut tergolong dalam contoh bimbing anak baru.
"Ada asumsi bahwa sikap orang bau tanah tersebut tergolong dalam contoh bimbing baru, yang menyampaikan bahwa Anda mesti mengeluarkan semua potensi anak Anda di usia muda, jikalau Anda tidak mau kecewa di kemudian hari," kata Apter dikutip laman Sahabat Keluarga Kemendikbud.
Anak jadi korban
Nurul Mufidah dan Muhammad Rifqi dalam penelitiannya yang berjudul "Hyper-parenting Effects Toward Child’s Personality in Stephen King’s Novel Carrie", menjajal mencari tahu latar belakang orang bau tanah menjalankan contoh bimbing hyper-parenting.
Hasilnya, penyebab utama terjadinya hyper-parenting merupakan peristiwa traumatik masa kemudian yang dialami oleh orang tua. Mereka juga mendapatkan sejumlah imbas negatif dari penerapan contoh bimbing anak ini.
“Hyper-parenting juga akan bikin anak kurang yakin diri, kurang mandiri, gampang menyerah, gampang khawatir dan takut menghadapi dunia luar. Selain itu anak menjadi kurang cekatan dalam bersosialisasi,” tulis kedua peneliti.
Menurut keduanya, contoh bimbing hyper-parenting akan memicu anak mempunyai emosi yang kaku dan sulit dikontrol.
Selain itu, anak yang terlalu terbebani dengan hukum dan kiprah juga akan bikin tenaga dan pikirannya terkuras, yang bukannya tidak mungkin akan berujung pada duduk kasus kesehatan si anak itu sendiri.
Hal ini juga diterangkan oleh Ian Janssen dalam risetnya yang berjudul "Hyper-parenting is Negatively Associated with Physical Activity Among 7–12 Year Olds".
Penelitian yang melibatkan 724 orang bau tanah dari anak berusia 7-12 tahun di Amerika Utara ini menunjukan bahwa contoh bimbing hiper ini akan memicu imbas negatif pada kesibukan fisik anak. Padahal, kesibukan fisik ini memainkan kiprah penting dalam menyeleksi kesehatan mental, fisik, dan sosial anak.
Kebiasaan orangtua mengarahkan anaknya akan bikin anak menjadi terlalu penurut dan kurang bisa membuatkan talenta dan potensinya sendiri.
Banyaknya kiprah dari orang bau tanah dan aturan-aturan yang menangkal gerak mereka mempunyai potensi bikin anak tertekan, terbebani, dan rentan depresi.
Stanford Dean dan Julie Lythcott-Haims dalam buku How to Raise an Adult: Break Free of the Overparenting Trap and Prepare Your Kid for Success menuliskan juga bahwa anak yang kurang memperoleh keleluasaan dari orang tuanya lebih rentan menjadi korban bully di sekolah ataupun lingkungannya.
Perundungan terjadi alasannya kurangnya kesanggupan komunikasi antara anak dengan teman-temannya. Peraturan dan kiprah yang diarahkan orangtua otomatis bikin anak menjadi lebih sibuk, sehingga perlahan akan abai dengan lingkungan sekitar.
Kesibukan yang dijalani anak akan bikin waktu bermain anak menjadi sungguh kurang. Selain itu, ia secara perlahan ditarik dari lingkungan sosialnya. Konsekuensinya, belum belakangan ini akan kesusahan berkomunikasi dengan baik dengan teman-teman sekitarnya.
Perilaku hyper-parenting juga mengarah pada pembatasan kesibukan anak dengan lingkungan bermainnya. Sejumlah orang bau tanah bahkan melarang anak-anaknya bermain di tempat-tempat kotor.
Celakanya, observasi yang dipublikasi di Journal of Allergy and Clinical Immunology mencatat, belum dewasa yang tinggal di rumah yang terlalu higienis justru lebih gampang menderita alergi dan asma.
“Orangtua mungkin berpikir anaknya mesti sehat sehingga mereka terlalu overprotektif mempertahankan mereka dari paparan kotoran, debu, jamur. Tapi nyatanya, kotoran merupakan cuilan dari pengembangan metode kekebalan badan anak. Ketika Anda bikin lingkungan yang steril untuk anak-anak, Anda justru membentuk anak Anda menjadi lebih gampang sakit,” pungkas Dr. Todd Mahr, spesialis alergi dan imunologi.
YANUAR JATNIKA Sumber https://www.parentnial.com/
Alvin Rosenfeld, psikiater anak dari anak mereka untuk tujuan meraih keberhasilan dengan contoh hyper-parenting ini. “Ini merupakan contoh bimbing fasis dan menjauhkan anak dan orangtua dari hal-hal menggembirakan yang semestinya bisa mereka lakukan,” tambah Rosefeld.
Menurut Rosenfeld, contoh Hyper Parenting ini banyak dipraktekkan keluarga kelas menengah ke atas. Mereka lebih sering khawatir atas kehidupan anak mereka yang bekerjsama baik-baik saja.
Bahkan ada beberapa orang bau tanah yang secara sengaja mencari hormon perkembangan untuk anaknya yang kebetulan berbadan pendek dengan asumsi bahwa orang-orang berbadan pendek akan dianggap pecundang.
Pakar anak dari University of Minnesota, William Doherty, menambahkan, banyak laporan dari sejumlah dokter mengenai kliennya yang anak-anaknya sering menderita sakit maag dan pusing akhir kecapekan dan stres.
Menurut pakar lain, Terri Apter, spesialis psikiatri cukup umur dari Newnham College, Cambridge, kecenderungan orang bau tanah untuk ‘memaksa sempurna’ anak-anaknya ini dipicu oleh motivasi dan permintaan terbuat oleh lingkungan sekitarnya.
Sejumlah orang bau tanah bahkan yakin bahwa tindakannya tersebut tergolong dalam contoh bimbing anak baru.
"Ada asumsi bahwa sikap orang bau tanah tersebut tergolong dalam contoh bimbing baru, yang menyampaikan bahwa Anda mesti mengeluarkan semua potensi anak Anda di usia muda, jikalau Anda tidak mau kecewa di kemudian hari," kata Apter dikutip laman Sahabat Keluarga Kemendikbud.
Anak jadi korban
Nurul Mufidah dan Muhammad Rifqi dalam penelitiannya yang berjudul "Hyper-parenting Effects Toward Child’s Personality in Stephen King’s Novel Carrie", menjajal mencari tahu latar belakang orang bau tanah menjalankan contoh bimbing hyper-parenting.
Hasilnya, penyebab utama terjadinya hyper-parenting merupakan peristiwa traumatik masa kemudian yang dialami oleh orang tua. Mereka juga mendapatkan sejumlah imbas negatif dari penerapan contoh bimbing anak ini.
“Hyper-parenting juga akan bikin anak kurang yakin diri, kurang mandiri, gampang menyerah, gampang khawatir dan takut menghadapi dunia luar. Selain itu anak menjadi kurang cekatan dalam bersosialisasi,” tulis kedua peneliti.
Menurut keduanya, contoh bimbing hyper-parenting akan memicu anak mempunyai emosi yang kaku dan sulit dikontrol.
Selain itu, anak yang terlalu terbebani dengan hukum dan kiprah juga akan bikin tenaga dan pikirannya terkuras, yang bukannya tidak mungkin akan berujung pada duduk kasus kesehatan si anak itu sendiri.
Hal ini juga diterangkan oleh Ian Janssen dalam risetnya yang berjudul "Hyper-parenting is Negatively Associated with Physical Activity Among 7–12 Year Olds".
Penelitian yang melibatkan 724 orang bau tanah dari anak berusia 7-12 tahun di Amerika Utara ini menunjukan bahwa contoh bimbing hiper ini akan memicu imbas negatif pada kesibukan fisik anak. Padahal, kesibukan fisik ini memainkan kiprah penting dalam menyeleksi kesehatan mental, fisik, dan sosial anak.
Kebiasaan orangtua mengarahkan anaknya akan bikin anak menjadi terlalu penurut dan kurang bisa membuatkan talenta dan potensinya sendiri.
Banyaknya kiprah dari orang bau tanah dan aturan-aturan yang menangkal gerak mereka mempunyai potensi bikin anak tertekan, terbebani, dan rentan depresi.
Stanford Dean dan Julie Lythcott-Haims dalam buku How to Raise an Adult: Break Free of the Overparenting Trap and Prepare Your Kid for Success menuliskan juga bahwa anak yang kurang memperoleh keleluasaan dari orang tuanya lebih rentan menjadi korban bully di sekolah ataupun lingkungannya.
Perundungan terjadi alasannya kurangnya kesanggupan komunikasi antara anak dengan teman-temannya. Peraturan dan kiprah yang diarahkan orangtua otomatis bikin anak menjadi lebih sibuk, sehingga perlahan akan abai dengan lingkungan sekitar.
Kesibukan yang dijalani anak akan bikin waktu bermain anak menjadi sungguh kurang. Selain itu, ia secara perlahan ditarik dari lingkungan sosialnya. Konsekuensinya, belum belakangan ini akan kesusahan berkomunikasi dengan baik dengan teman-teman sekitarnya.
Perilaku hyper-parenting juga mengarah pada pembatasan kesibukan anak dengan lingkungan bermainnya. Sejumlah orang bau tanah bahkan melarang anak-anaknya bermain di tempat-tempat kotor.
Celakanya, observasi yang dipublikasi di Journal of Allergy and Clinical Immunology mencatat, belum dewasa yang tinggal di rumah yang terlalu higienis justru lebih gampang menderita alergi dan asma.
“Orangtua mungkin berpikir anaknya mesti sehat sehingga mereka terlalu overprotektif mempertahankan mereka dari paparan kotoran, debu, jamur. Tapi nyatanya, kotoran merupakan cuilan dari pengembangan metode kekebalan badan anak. Ketika Anda bikin lingkungan yang steril untuk anak-anak, Anda justru membentuk anak Anda menjadi lebih gampang sakit,” pungkas Dr. Todd Mahr, spesialis alergi dan imunologi.
YANUAR JATNIKA Sumber https://www.parentnial.com/
0 Komentar untuk "Ayah Bunda Perlu Mengenali Dampak Negatif Tumpuan Didik Hyper-Parenting"