Pohon-pohon jati itu melepaskan dedaunannya. Daun-daun kecoklatan melayang dan terhempas ringan di atas tanah. Lantai hutan jati terlihat sarat dengan daun lebar kering berwarna coklat muda yang berserakan. Hutan jati dalam kondisi meranggas dikala itu.
Dua orang melintas pelan di hutan itu. Seorang lelaki dengan janggut panjang dan lelaki satunya masih sungguh belia. Dua orang ini yakni murid dan guru yang berkelana mencari kearifan hidup.
”Guru, dua bulan lalu, kita pernah melintasi hutan jati di wilayah lain. Waktu itu kita mencicipi kesegaran dibawah naungan pepohonan jati dengan daun hijaunya yang segar dan bunga-bunganya yang sedang mekar. Kali ini, nyaris tak ada daun yang menempel di ranting pepohonan ini. Apa jati ini mesti menggugurkan daunnya setiap tahun guru?” Tanya sang murid.
” Kemarau dengan panas yang terik dan air dari langit yang tertahan, mewajibkan jati melalui hari harinya dengan melepas dedaunannya. Begitulah jati menempa dirinya muridku.” Jawab sang guru singkat.
”Bagaimana caranya jati dapat berkembang dan meningkat tanpa daun. Bukankah daun sungguh penting untuk menyerap matahari dan menguapkan air bagi tumbuhan. Mereka dapat mati bila begitu terus, Guru?” Sang murid mendesak gurunya menjelaskan.
Sang guru kemudian menjawab rasa ingin tau muridnya.
”Itulah pesan yang tersirat yang Tuhan berikan lewat pohon jati. Meski tanpa daun, pohon jati justru sedang menempa dirinya menjadi salah satu pohon terbaik di bumi ini. Dia takkan mati. Ia bahkan sedang ”berpuasa” untuk tidak meningkat secara kasat mata. Ia sedang menempa dirinya untuk sanggup bertahan dengan cobaan kelemahan air dan panasnya cuaca. Ia melalui cobaan itu sambil mengugurkan problem yang ada di daun dan memperbaiki kulitas kayu di batangnya.”
”Menggugurkan masalah...?Artinya daun-daun itu bila terus ada dan melakukan pekerjaan di demam isu kemarau dapat mengusik perkembangan pohon alasannya yakni boros air. Nantinya bab pohon lain seumpama batang dan akar dapat terusik ya, Guru?” Sang murid menjajal menganalisis klarifikasi gurunya.”
”Benar sekali muridku. Sama halnya dengan tubuh kita. Pada saatnya kita mesti mengistirahatkan anggota tubuh kita seumpama perut untuk meminimalisir kerjanya. Itu sungguh diinginkan agar bab lain dari diri kita berfungsi lebih optimal. Misalnya, dikala perut beristirahat mengolah makanan, bab tubuh lain terutama asumsi dan jiwa kita dapat lebih maksimal bekerja. Bukankah perut kita yakni salah satu sumber hadirnya penyakit.” Sang guru mulai menerangkan kearifan alam yang diamatinya
”Mungkin daun-daun itu bisa kita andaikan selaku dosa-dosa kita. Saat kita mau berkorban untuk menahan diri dan bertahan dari ujian, Tuhan akan memberi kita karunia-Nya berupa bergugurannya dosa-dosa kita. Pada dikala dosa-dosa itu berlepasan dalam diri kita, kita mencicipi hidup ini lebih hening dan bahagia. Bahagia itulah mutu tertinggi yang dicapai insan dan sekaligus karunia dari-Nya. Kamu ingin hidup senang kan muridku? Sang guru menepuk punggung muridnya.
”Eh iya guru, pasti. Makanya kita mesti secepatnya hingga di kampung agar tenang, gak kepanasan begini Guru”
”Kamu masih puasa, kan? Jangan kalah sama pohon Jati yang puasanya lebih panjang dari kita,” canda Sang Guru
”Hahaha...” Guru dan murid tertawa. Mereka mendapat kearifan hidup dari bergugurannya dedaunan pohon Jati.
0 Komentar untuk "Pelajaran Puasa Dari Pohon Jati"