Pada goresan pena berjudul Kadang Konang, sanggup dibaca bahwa ada orang-orang yang cuma mau mengakui kerabat selama orang tersebut masih punya “gebyar” yang diumpamakan “kunang-kunang” (konang). Kalau gebyarnya sudah padam, mirip halnya kunang-kunang, maka tercampaklah ia di tanah, tidak ada lagi yang hendak memperhatikan.
Seorang petinggi selama masih punya kedudukan niscaya banyak yang mengaku kadang dengan banyak sekali motif. Yang terperinci niscaya banyak orang yang merapat kepadanya dengan banyak sekali keperluan. Oleh alasannya itu kehati-hatian amat diperlukan, mirip kata peribahasa Yitna yuwana, lena kena (siapa yang berhati-hati akan selamat, siapa yang lengah akan terkena) dan Yuwana mati lena (orang baik-baik yang celaka lantaran lengah).
Semuanya mesti diseleksi, seluruhnya perlu disaring sehingga cuma yang sudah sungguh-sungguh BANYU SINARING (air disaring) yang kita respons. Bisa kita bayangkan bahwa air yang sudah jernih masih kita saring.
Di bawah yakni beberapa pola paribasan Jawa yang kiranya sanggup dijadikan anutan bagi kita semua utamanya yang mempunyai kedudukan, mudah-mudahan selalu “prayitna” (waspada) dalam segala hal. Kembali kewaspadaan menjadi kunci segalanya.
A. ORANG-ORANG YANG MERAPAT DAN MENCARI MUKA
Banyak orang mendekat, berusaha mengambil hati. Dalam paribasan Jawa orang-orang yang suka “nyanak-nyanak” orang besar ini disebut NUWILA GANDA. Cara termudah untuk mengambil hati yakni dengan menyanjung. Tergantung kelihayannya maka pujian sanggup terperinci sanggup samar. Sepanjang kita tidak tersanjung dengan sikap orang-orang yang NGATHOK atau NGOLOR dengan gombalannya ini, maka kita akan baik-baik saja. Tetapi biasanya orang lemah menghadapi sanjungan.
Orang yang mabok kebanggaan disebut orang yang gunggungan atau umpakan. Pitutur terkait dengan hal ini sanggup dirujuk ke goresan pena Pitutur kumpulan 3: Pujian, umpakan dan tembung lamis. Bahkan Sri Pakubuwana IV menggarisbawahi sifat gunggungan ini dalam Serat Wulangreh: Jangan menjadi orang gunggungan lantaran orang nggunggung pasti ada maunya
Banyak orang yang NGALEM LEGINING GULA. Pengertian peribahasa ini yakni “memuji orang yang punya kelebihan (misalnya kepandaian, kekayaan dan kedudukan). Kalau kita sadar, bersamaan buat apa memuji (ngalem) manisnya (legining) gula yang memang sudah manis: niscaya ada maunya.
B. DIMANFAATKAN
Orang yang punya kedudukan memang pantas dikasihani. Bila keyakinan tidak kuat, ia sanggup mempergunakan kedudukannya untuk berbuat tidak baik, lazim disebut dengan aji mumpung. Tapi petinggi yang baikpun sanggup dipinjam namanya oleh orang lain untuk motif pribadinya. Di dunia ini banyak juga orang yang suka KEKUDHUNG WALULANG MACAN. Petinggi sering diumpamakan dengan macan. Banyak orang yang bertudung kulit (walulang) macan. Pinjam nama pembesar untuk membuat lebih gampang urusannya. Oleh alasannya itu hati-hatilah jikalau memamerkan kartu nama, atau foto bareng orang lain. Kartu nama dan foto sanggup digunakan selaku “walulang macan” untuk menakut-nakuti orang.
C. GRATIFIKASI
Pengertian sederhana dari gratifikasi yakni derma yang ada kaitan dengan kedudukan kita. Artinya jikalau kita tak mempunyai kedudukan yang itu maka derma yang itu juga tidak akan ada. Kata “gratifikasi” gres terkenal setelah ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Sebenarnya “pemberian” yang bernada “gratifikasi” sudah ada sejak dulu. Nenek moyang kita juga sudah mengingatkan lewat paribasan. Setidaknya ada dua paribasan Jawa yang terkait dengan hal ini:
1. SRAMA PINGGIR JURANG
Pengertian “srama” yakni pemberian. Kemudian ditambah kata “pinggir jurang” yang mempunyai arti wilayah berbahaya. Pengertiannya yakni derma yang sanggup mencelakakan. Siapa yang dicelakakan? Keduanya: Yang diberi maupun yang memberi.
2. KABANYURASA UPAYA
“Banyu rasa” yakni “air raksa”, zat kental cair berwarna timbal, yang amat korosif. Coba saja letakkan air raksa di kap mobil: Pasti keropos. Emaspun luluh dalam air raksa. Pengertian paribasan “kabanyurasa upaya” yakni orang yang terbujuk dan luluh oleh manisnya pemberian
Paribasan “srama pinggir jurang” dan “kabanyurasa upaya” ini sudah jarang kita dengar, namun kejadiannya pada “Era KPK” ini nyaris tiap hari terdengar: Pemberi maupun akseptor “srama” keduanya ditangkap dan diadili.
D. MUSUH
1. MUSUH DALAM SELIMUT
Kalau ada mitra pastinya ada lawan. Teman sejati niscaya ada. Musuh yang jelas-jelas musuh juga. Untuk hal-hal yang sudah terperinci mirip ini pasti tidak ada masalah. Yang amat berbahaya yakni musuh yang tidak kelihatan dan biasanya justru dari orang-orang yang amat erat dengan diri kita: Bisa saudara, sanggup kawan dekat sepekerjaan. Dalam paribasan Jawa dimengerti dengan istilah SATRU MUNGGWING CANGKLAKAN. (Cangklakan: Ketiak).
2. SEMULA TEMAN KEMUDIAN BERUBAH JADI MUSUH
Ada beberapa istilah dalam paribasan Jawa, diantaranya adalah: DUGANG MIROWANG. (dugang: tendang; rowang: teman). Semula kawan dekat (rowang) kemudian menendang (dugang). Kemudian kita kenal paribasan yang diawali dengan kata MALIK (berbalik), yaitu: MALIK TINGAL, MALIK KLAMBI dan MALIK BUMI. (Tingal: Mata; Klambi: Baju; Bumi: tanah). Pengertiannya sama, yaitu: Yang semula kawan dekat berbalik jadi musuh atau ikut musuh.
E PENYUSUP
1. DHADHAP KETUWUHAN CANGKRING
Pohon Dadap bunganya manis sedangkan pohon Cangkring, mirip Dadap namun berduri. Kalau hingga ada Dadap ketumbuhan Cangkring tujuannya kumpulan orang baik-baik yang kemasukan penjahat.
2. JATI KETLUSUBAN RUYUNG
Ruyung: sejenis mirip glagah atau alang-alang namun lebih besar. Artinya sama dengan di atas: Kumpulan orang baik-baik kemasukan orang tidak baik (termasuk intel musuh). Ada juga yang mengubah kata ‘jati” dengan GLUGU KETLUSUBAN RUYUNG (Glugu: batang kelapa).
E PENYUSUP
1. DHADHAP KETUWUHAN CANGKRING
Pohon Dadap bunganya manis sedangkan pohon Cangkring, mirip Dadap namun berduri. Kalau hingga ada Dadap ketumbuhan Cangkring tujuannya kumpulan orang baik-baik yang kemasukan penjahat.
2. JATI KETLUSUBAN RUYUNG
Ruyung: sejenis mirip glagah atau alang-alang namun lebih besar. Artinya sama dengan di atas: Kumpulan orang baik-baik kemasukan orang tidak baik (termasuk intel musuh). Ada juga yang mengubah kata ‘jati” dengan GLUGU KETLUSUBAN RUYUNG (Glugu: batang kelapa).
0 Komentar untuk "Hal-Hal Yang Perlu Diwaspadai Para Petinggi Dalam Paribasan Jawa (1): Dari Elemen Luar"