Bila kita ditanya berapa jumlah penduduk Indonesia? Kalau kita jawab dalam bahasa Inggris mungkin jawab kita “more or less 240 million” (bukan less or more). Bila kita jawab dalam bahasa Indonesia, pada biasanya dari kita akan menjawab lebih-kurang (atau kurang-lebih) 240 Juta. Kita tidak mempunyai angka statistik berapa proporsi yang menjawab dengan “kurang lebih” dan yang menjawab dengan “lebih kurang”
Saya tidak pernah menimbang-nimbang hal ini hingga sebuah di saat ketemu Darman di program chitanan anak seorang teman. Dia tanya: “Tamunya banyak ya Mas, kok nampaknya semarak”. Dijawab sama tuan rumah: “Ora akeh kok Man, luwih kurang satus”. Ketika tuan rumah menyapa tamu lainnya, Darman mengajukan pertanyaan terhadap saya: “Mas, yang bener itu kita katakan kurang luwih atau luwih kurang?”
KELAZIMAN
“Lazimnya ya kurang luwih, Man”. Jawab saya, sebelum kenangan dalam otak bau tanah aku timbul bahwa Mas Bagyo waktu mentraktir soto Lamongan dahulu pernah minta ke pramusaji warung: “Lha sendok poroknya mana?” (porok: garpu). Kemudian ia menerangkan terhadap saya, mengapa “sendok porok” dan bukan “porok sendok”, lantaran sendok lebih penting dari garpu. Kita bisa makan soto dengan sendok saja, walau tanpa garpu. Kata Mas Bagyo, ada rumus yang tidak diajarkan di sekolah, namun sanggup kita rasakan.
RASA DAN REASON
“Man,” sambung aku sebelum ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut. “Disamping kelaziman, ada yang lebih penting yakni “rasa dan logika”.
“Lha itu Mas, yang aku ingin ngerti. Kalau kita ingin nguri-uri basa Jawa jangan setengah-setengah. Kalau panjenengan ngendika lazim dan rasa, maka bila tidak lazim dan tanpa rasa kan namanya rusak”.
“Kalau boleh pakai rumus, Man. Pesan utama taruh di depan. Yang jadi duduk kasus adalah, diutamakan dalam hal apa? Prioritas tidak senantiasa sama, dari waktu ke waktu maupun dari orang ke orang".
“Jlentrehnya gimana Mas. Masih belum jelas”.
“Sederhana, Man. Dalam kaitan dengan ucapan kurang luwih tadi, Manusia kan lebih banyak merasa kurang, ketimbang lebih. Kamu punya duit 100 ribu, niscaya merasa kurang. Tetapi di saat uangmu 1 juta, kau juga belum merasa lebih kan? Oleh alasannya yakni itu kata kurang ditaruh di depan. Tamu seratus sebenarnya kurang, namun mau luwih dari seratus, tidak mampu."
Darman manggut-manggut, kemudian katanya: “Jadi bila dibalik menjadi luwih kurang, menjadi tidak lazim menurut rasa Jawa, ya Mas?”
“Untuk orang dulu, barangkali jawabnya YA. Untuk orang kini mungkin sudah tidak dipikirkan lagi. Bagi orang sekarang, kata kurang lebih atau lebih kurang artinya sama yakni approximately. Ada referensi yang lebih gampang, Man. Orang sekarang tidak tahu mengapa kita katakan mangan ngombe. Padahal ada pitutur bahwa yang benar kita makan dahulu gres minum (ngombe)".
Saya teringat kata Mas Bagyo waktu menerangkan tentang sendhok porok dulu: “Pokoknya kata yang sudah jadi gandhengannya, ya memang menyerupai itulah adanya. Jangan dibolak-balik. Makna filosofinya jadi hilang. Tidak perlu dihapalkan, asal paham jiwanya niscaya akan mengalir sendiri. Kalau coverage vocabulary kita sudah tinggi maka output-nya yakni basa basuki kita akan baik dan outcome-nya kita menjadi lebih arif”.
PENUTUP
Diskusi ini tidak dilanjutkan. Disamping santapan yang dihidangkan “mirasa”, banyak teman dekat lain yang pastinya mesti kita sapa. Setelah berpamitan terhadap yang “kagungan kersa” (empunya hajat), hingga rumah aku eksklusif browsing di internet. Suatu di saat Darman niscaya akan mengajukan pertanyaan lebih lanjut tentang kata-kata lain yang bergandengan menyerupai “kurang luwih” tadi. Jujugan aku yakni webnya Yayasan Sastra Lestari, Surakarta, dan alhasil aku peroleh di Serat Warnasari, anggitan Ki Padmasusastra, 1925 yang aku tulis pada posting sehabis yang ini:
Saya teringat kata Mas Bagyo waktu menerangkan tentang sendhok porok dulu: “Pokoknya kata yang sudah jadi gandhengannya, ya memang menyerupai itulah adanya. Jangan dibolak-balik. Makna filosofinya jadi hilang. Tidak perlu dihapalkan, asal paham jiwanya niscaya akan mengalir sendiri. Kalau coverage vocabulary kita sudah tinggi maka output-nya yakni basa basuki kita akan baik dan outcome-nya kita menjadi lebih arif”.
PENUTUP
Diskusi ini tidak dilanjutkan. Disamping santapan yang dihidangkan “mirasa”, banyak teman dekat lain yang pastinya mesti kita sapa. Setelah berpamitan terhadap yang “kagungan kersa” (empunya hajat), hingga rumah aku eksklusif browsing di internet. Suatu di saat Darman niscaya akan mengajukan pertanyaan lebih lanjut tentang kata-kata lain yang bergandengan menyerupai “kurang luwih” tadi. Jujugan aku yakni webnya Yayasan Sastra Lestari, Surakarta, dan alhasil aku peroleh di Serat Warnasari, anggitan Ki Padmasusastra, 1925 yang aku tulis pada posting sehabis yang ini:
0 Komentar untuk "Kata Bermacam-Macam (1): Banyak Yang Punya Makna Filosofi, Jangan Dibolak Balik Penggunaannya"