Pitutur Terhadap Pemberi Pitutur (2): Pitutur Tetap Perlu


Melanjutkan posting Pitutur terhadap pemberi pitutur (1): Apakah pitutur perlu? Jawabnya niscaya “Perlu”. Kalau tidak diperlukan, mengapa ada terlalu banyak buku wacana pitutur, dan pitutur senantiasa ada pada setiap event kegiatan, misalnya dalam rangkaian program pernikahan. Demikian pula “Pengarahan” pimpinan senantiasa ada pada setiap pembukaan program formal. Bukankah instruksi sama saja dengan pitutur?
 
PITUTUR TETAP PERLU
Ki Padmasusastra meskipun mengkritisi perkara pitutur ini, pada kesannya juga beropini bahwa “Pitutur itu perlu. Beliau menulis:
Wong kang ora anggugu piwulang bêcik, iku prasasat nadhahi rubuhe kayu gurda, ngandêle yèn wis anglakoni, apa kowe dhêmên mangkono.
TERJEMAHAN: Orang yang tidak mengindahkan hikmah baik, mirip ditimpa robohnya pohon beringin (gurda). Dia gres yakin kalau telah mengalami. Apa kau mau mirip itu?
 
DIBUTUHKAN KEBERANIAN
Ralph Waldo Emerson (1803-1882), seorang penyair Amerika menyampaikan bahwa apapun  yang kita lakukan, butuh keberanian. Selalu ada yang menyampaikan bahwa yang kau katakan merupakan salah. Selalu ada tantangan bahwa kritik (kalau pitutur boleh kita samakan dengan kritik) yang kita berikan merupakan benar. Untuk ini kita perlu keberanian seorang prajurit. Lengkapnya selaku berikut:
Whatever you do, you need courage. Whatever course you decide upon, there is always someone to tell you that you are wrong. There are always difficulties arising that tempt you to believe your critics are right. To map out a course of action and follow it to an end requires some of the same courage that a soldier needs. Peace has its victories, but it takes brave men and women to win them.
TIPS UNTUK PEMBERI DAN PENERIMA PITUTUR
Adlai Stevenson II (1900-1965), Gubernur Illonis yang dua kali menjadi calon presiden Amerika Serikat menyampaikan biar kita hati-hati dalam menampilkan pitutur terlebih kalau kita sendiri tidak menjalani pitutur itu. Lebih baik tidak usah menampilkan pitutur. Lengkapnya selaku berikut: 
We should be careful and discriminating in all the advice we give. We should be especially careful in giving advice that we would not think of following ourselves. Most of all, we ought to avoid giving counsel which we don't follow when it damages those who take us at our word.
Adlai Stevenson masih berumur 12 tahun dikala Serat Madubasa dicetak. Dalam Serat tersebut Ki Padmasusastra menulis:
Pituturing wong tuwa marang wong ênom, sayogya dilakoni, amarga si tuwa wis tau ngalami yèn lakune si ênom mangkana iku nyimpang saka garising bênêr, bakal tumiba marang luput, balik si tuwa ênggone awèh pitutur aja mung saka gampange ngobahake lambe bae, yèn kalakuane dhèk ênom, mangan, nginum, madon, madat sarta main durung dimarèni, sayoga ora pitutur bae, dene wong ênom kang anduwèni watêk kaya watêke wong tuwa, iku musthikaning budi, amêsthi bakal ora kêduwung uripe.
TERJEMAHAN: Orang muda semestinya mengindahkan pitutur orang yang lebih tua, alasannya merupakan yang bau tanah pernah mengalami kalau sikap si muda yang mirip itu menyimpang dari jalan yang benar. Sebaliknya bagi yang tua, dalam memberi pitutur jangan sekedar menggerakkan bibir. Kalau kelakuannya pada masa muda (dalam hal ini diberikan pola “Ma Lima”) belum dihentikan, semestinya tidak usah memberi pitutur. Disisi lain orang muda yang telah memiliki sifat orang bau tanah (yang baik), budinya laksana permata. Hidupnya tidak bakalan menyesal.
 
LIDING DONGENG
Ternyata untuk menampilkan pitutur tidak sekedar diperlukan kepandaian mengolah kata. Kredibilitas mesti berada di depan disokong keberanian menyampaikan. Saya ingat pimpinan saya dahulu mengatakan. Kalian jangan hanya bilang: Ya, Bapak atau siap, bapak saja. Harus berani ngomong Bapak jangan begini, mesti begitu.
Di luar lembaga saya beranikan diri untuk bertanya: hal mirip itu apa namanya bukan memberi pitutur terhadap pimpinan, yang dalam sopan santun Jawa rasanya tidak pas? Sambil ketawa dia mengatakan: "Itu namanya bukan pitutur tetapi anjuran staf. Pimpinan dapat mendengar, dapat pula mengabaikan".
Yang jelas, terhadap siapapun kita bertutur, Ki Padmasusastra menampilkan tiga kata kunci: Menyampaikan sesuatu yang “Temen” (sungguh-sungguh) disampaikan secara “Jujur” dari hati yang “Tulus” (IwMM).

Related : Pitutur Terhadap Pemberi Pitutur (2): Pitutur Tetap Perlu

0 Komentar untuk "Pitutur Terhadap Pemberi Pitutur (2): Pitutur Tetap Perlu"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)