Provokator Dan Yang Diprovokasi Dalam Paribasan Jawa

Provokator dari dahulu sudah ada. Hasil kerja provokator pun sama: menghancurkan ketenteraman dan memicu perselisihan.
 
Kalau yang bertikai orang besar maka orang kecil yang ketiban susahnya, mirip kata peribahasa: Gajah tumbuk kancil mati ing tengah.
 
Bagi penggemar wayang, niscaya kenal provokator perkasa dalam pedhalangan yang sanggup dibaca pada posting WatakDrengki (2): Patih Sangkuni.
 
Kerja provokator sanggup halus sanggup kasar bergantung tingkat kelihayannya.
 
Di bawah yakni beberapa pola paribasan Jawa yang terkait dengan ulah provokator dan respons yang diprovokasi:
 
 
DAWA ILATE
 
Dawa: panjang; Ilat: lidah. Menggambarkan orang yang dalam bahasa Jawa disebut “golek alem. Cari kebanggaan namun dengan menjelek-jelekkan orang lain. Bahayanya kalau keburukan orang lain yang diceriterakan ini menyangkut pribadi yang diberi ceritera. Ia sanggup terprovokasi untuk tidak suka hingga menantang berkelahi. Lebih parah lagi kalau kebetulan ia boss dari yang dipitnah. Bisa terjadi ada orang dipindah tanpa tahu sebabnya.
 
 
TUMBAK CUCUKAN
 
Orang yang “dawa ilate” di atas niscaya punya sifat “tumbak cucukan” (Tumbak: tombak; Cucuk: paruh burung). Mulutnya menyerupai tombak yang sanggup mencelakakan orang lain. Ia seorang pengadu, yang belum pasti benar apa yang diadukan. Anak kecil yang tumbak cucukan saja sanggup menghasilkan orang bau tanah bertengkar. Misalnya si A dinakali kawan dekat sepermainan lalu menangis lapor terhadap orang tuanya, kalau habis dipukul si B. Bisa-bisa ibunya si B nglurug ke tempat tinggal orang bau tanah si A, terjadilah sabung verbal yang jadi tontonan tetangga. Ini gres anak kecil; kalau kawan dekat sekerja di kantor lapor pimpinan?
 
 
NGGUPITA SABDA
 
Nggupita: mereka-reka, mengarang; Sabda: Ucapan. Nggupita sabda: Mengarang atau mereka ucapan yang mau disampaikan. Bisa baik kalau untuk pidato. Tapi sanggup gawat kalau dipakai oleh orang “dawa ilate” yang “tumbak cucukan”.
 
 
DIUYAH-ASEMI
 
Garam dan asam yakni bumbu masak. Makanan yang kurang garam dan asam rasanya hambar. Ucapan yang “diuyah-asemi” bermakna ucapan yang sudah diberi bumbu penyedap. Digunakan untuk memuji maka orang yang “gunggungan” akan lupa daratan. Selanjutnya laporan ditambah bumbu pedas untuk memprovokasi. Provokasi tidak cuma untuk menjelekkan orang lain. Provokasi juga banyak dipakai untuk mengerjakan sesuatu. Misalnya berbelanja sesuatu produk atau menandatangani sebuah surat yang sebenarnya tidak betul. Mengenai “nggunggung” dan “gunggungan” sanggup dibaca pada Serat Wulangreh: Orang nggunggung pasti ada maunya dan Serat Wulangreh: jangan menjadi orang gunggungan.
 
 
KUNTUL DIUNEKAKE DHANDHANG, DHANDHANG DIUNEKAKE KUNTUL
 
Burung kuntul (yang berwarna putih) dibilang burung dhandhang (gagak yang berwarna hitam) dan sebaliknya dhandhang (yang hitam) dibilang kuntul (yang putih). Yang baik dibilang jelek dan yang jelek dibilang baik. Bila “sabda” sudah “digupita” dengan cantik plus ditambah “uyah asem” dan disampaikan oleh orang yang “ilate dawa” sekaligus bermental “tumbak cucukan” niscaya akan banyak berhasilnya. Hubungan pertemanan sanggup rusak, terlebih hubungan atasan bawahan. Lebih lengkapnya sanggup dibaca pada posting kuntul diunekake dhandhang, dhandhang diunekake kuntul.
 
 
ISTILAH KHUSUS UNTUK PERILAKU SUKA “WADUL-WADUL”
 
Dalam paribasan Jawa, orang besar (atasan) sering diumpamakan dengan banteng (andaka), harimau atau gajah. Dalam hal ini kita kenal ungkapan NGLANCIPI SINGATING ANDAKA, NGADU SINGATING ANDAKA dan NGUDANG SINGATING ANDAKA (Singat: tanduk; Nglancipi: menghasilkan lebih tajam; Ngudang: membuai).
 
Pengertiannya sama yakni mengadu supaya marah. Memang ada orang yang suka mengadu-adu mirip ini. Kalau lalu boss memarahi seseorang (karena laporan kita) maka kita akan ketawa-ketawa di belakang sambil mengatakan: “Kapokmu kapan”.
 
Catatan: Kalau yang kita provokasi biar murka bukan boss (misalnya kawan dekat kita sendiri) maka peribahasanya tidak menggunakan kata ANDAKA namun cukup ERI (duri): NGLANCIPI ERI.
 
Membuat pimpinan tidak tenteram dengan memprovokasi biar marah, terkadang menggembirakan juga. Memprovokasi tidak mesti memfitnah orang. Kalau lalu pimpinan melampiaskan marahnya ke orang lain, itu ceritera lain. Macan berjemur (dhedhe) diumpamakan selaku atasan yang sudah reda dari marahnya. Ia kembali santai, menyerupai “macan dhedhe”. Orang yang suka  menghasilkan murka orang yang sudah turun tensinya dibilang selaku NGUTHIK-UTHIK MACAN DHEDHE.
 
Agak serupa namun tidak sama yakni NGUTHIK-UTHIK MACAN TURU. Digunakan untuk orang yang kurang kerjaan. Harimau tidur kenapa mesti dibangunkan. Saya punya pengalaman jaman dahulu pernah menginformasikan pimpinan kalau data yang ia presentasikan ada yang salah. Mood ia hari itu menjadi tidak baik. Saya dimarahi teman-teman. Kata mereka saya ini kurang kerjaan. Apa keuntungannya “nguthik-uthik harimau turu”, kecuali kalau kau tidak diuthik-uthik lalu kantor kita ambruk.
 
 
CINDHIL NGADU GAJAH
 
Kalau ini memang sungguh-sungguh kejahatan. Dapat dibaca pada posting cindhil ngadu gajah. Dua orang besar sanggup diadu domba oleh orang kecil (yang memang anyir kelakuannya). Tentunya orang ini amat lihay dalam “nggupita sabda” dan “nguyah asemi” sehingga kedua petinggi sanggup menelan mentah-mentah kedua burung “kuntul” dan “dhandang” yang disajikan.
 
Cindhil yakni anak tikus, hewan yang memang menjadi lawan manusia. Satu hal yang perlu kita garisbawahi yakni betapa bijak nenek moyang kita. Mengapa yang dijadikan pola yakni “cindhil”, kok bukan kancil yang memang dipahami cerdik. Dalam Kancil Kridhamartana dikisahkan bahwa secara individual kancil sanggup mendustai gajah. Tetapi kancil tidak pernah mengadu gajah. Ketika dua gajah berkelahi, justru kancil yang celaka, mirip di atas sudah disebutkan: Gajah tumbuk kancil mati ing tengah.
 
 
BAGAIMANA DENGAN YANG DIPROVOKASI?
 
Laporan (wadul) sanggup cantik namun menghasilkan telinga merah alias menghasilkan marah: NGABANGAKE KUPING. Kalau mood yang diprovokasi sedang tidak baik (yang diumpamakan “geni” atau api) maka dalam paribasan Jawa dibilang selaku kaya GENI PINANGGANG (api dipanggang). Sudah panas ditambahi panasnya. Kalau ia Prabu Baladewa yang dipahami brangasan, niscaya pribadi meloncat dengan Nanggala nya. Sebaliknya kalau ia Prabu Yudistira dari Amartapura yang kondang penyabar maka yang terjadi yakni NGAGAR METU KAWUL (Ngagar: menghasilkan api dengan menggosok-gosokkan kayu; Kawul: cuilan halus kayu). Sudah digosok-gosok sekuat tenaga, yang keluar bukan api, cuma serbuk kayu. Dengan kata lain: tidak mempan di provokasi.
 
 
LIDING DONGENG
 
Hati-hati menjadi insan jangan hingga terprovokasi untuk berbuat yang tidak betul. Baik menjadi marah, atau mengerjakan perbuatan salah. Yang namanya SETAN NGGAWA TING (Pekerjaan setan: Menggoda manusia; Nggawa ting: semacam lampion, menggambarkan api) ada dimana-mana. Bila kita kebetulan menjadi pemimpin mesti lebih hati-hati lagi. Sang provokator tidak akan berhenti. Ia akan berusaha dengan banyak sekali cara, mirip kata peribahasa: DHALANG ORA KURANG LAKON (Iwan MM)

Related : Provokator Dan Yang Diprovokasi Dalam Paribasan Jawa

0 Komentar untuk "Provokator Dan Yang Diprovokasi Dalam Paribasan Jawa"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)