Tembang “Emplek-Emplek Ketepu” (2): Tetap Memberi Pitutur Walau Jaman Telah Berubah

Saya ceriterakan pada goresan pena sebelum ini bahwa jaman kini sudah tidak banyak lagi orang yang kenal dengan masakan yang berjulukan “Emplek-emplek Ketepu”. Katul (ketepu) yang di emplek-emplek. Lagunya pun sudah tidak banyak yang tahu, mungkin cuma oleh orang-orang yang sudah cukup umur pada ketika Waljinah menyanyikannya.

Ngaturaken gunging panuwun dumateng  Kelompok FB "Nguri-uri Basa Jawa. Saya mendapat komentar atas posting aku sehingga aku sanggup melanjutkan tlisan sebelum ini,  Tembang “Emplek-emplek Ketepu”(I): Tuladha untuk urip nrima, ora ngaya dan ngati-ati.
 
 
“MAKANAN” EMPLEK-EMPLEK KETEPU: DULU DAN SEKARANG
 
Kalau Bapak Ibu browsing di internet, akan mendapat resep Emplek-emplek Ketepu yang menurut rekomendasi aku cuma pinjam nama saja. Bahannya tidak mengecewakan moderen, cara buatnya tidak sulit:
 
Parutan singkong, diaduk tepung ketan, irisan bergairah gula jawa, beri air, aduk hingga bergumpal tetapi jangan diremas, taruh di atas daun pisang kemudian dikukus. Selesai sudah. Setelah masak dan dingin, dipotong-potong, suguhkan dengan “topping kelapa parut yang sudah digarami. Bentuknya cakep dan niscaya memanggil komentar “mak nyuss”.
 
Tidak ada suara “katul” (ketepu) samasekali.  Padahal dahulu betul-betul “katul doang”.  Saya sampaikan terimakasih terhadap Ibu Waliatie dari Kelompok FB Nguri-uri Basa Jawa yang sudah memposting cara menghasilkan Emplek-emplek Ketepu yang betul-betul “ketepu” selaku berikut:
 
Katul diuleni (dicampur dan diaduk) dengan air, kemudian bubur padat katul yang dihasilkan diemplek-emplek di atas daun pisang, berikutnya dipanggang di atas bara api. Supaya terasa gurih, diaduk sedikit garam.
 
Mungkin katul jaman kini sudah 100 persen bergeser untuk masakan ayam. Itupun ayam kampung di kampung, bukan ayam ras atau ayam kampung yang dibudidayakan menyerupai ayam ras.


TEMBANG EMPLEK-EMPLEK KETEPU: DULU DAN SEKARANG
 
Sejalan itu pula tembang “Emplek-emplek ketepu yang tadinya “polosan” saja, jadi ikut  bersolek. Yang tadinya cuma dendang kawula alit yang betul-betul “adoh ratu cedhak watu”, mulai tersentuh modernisasi dan lebih berani.
 
Kalau boleh aku ulang tulis model “Djadoel”nya yang polosan:
 
Plek-emplek ketepu; Wong lanang goleka kayu; lamun golek aja dha menek; lamun menek aja dha mencit; lamun mencit aja dha tiba; lamun datang aja nganti lara; lamun lara aja nganti mati.
 
Terjemahannya: Plek-emplek ketepu; Laki-laki carilah kayu; bila cari jangan memanjat; bila memanjat jangan tinggi-tinggi; bila tinggi jangan hingga jatuh; bila jatuh jangan hingga sakit; bila sakit jangan hingga mati.
 
Catatan: Penjelasan pituturnya sanggup dibaca pada goresan pena pertama. Ringkasnya merupakan pitutur supaya seorang pria (kepala rumah tangga) bila mencari nafkah nggak usah ngaya, nggak usah mengambil risiko, bila toh mesti ambil risiko ya mesti dilandasi kehati-hatian supaya selamat.
 
Yang namanya tembang Jawa dari dahulu pun memang banyak yang pakai senggakan. Tapi tembang Emplek-emplek Ketepu terlalu sederhana untuk disenggaki. Mungkin sentuhan Waljinah di pita rekaman, barangkali tahun 1970an, sudah memodernisasi tembang Emplek Ketepu dengan senggakan.
 
Sungguh mengherankan bahwa Emplek-emplek Ketepu plus senggakan justru menjadi sindiran untuk pria yang lazimnya tidak mau dinasihati, mau maunya sendiri. Kalau dahulu merupakan ucapan selamat jalan, pesan dan doa seorang isteri terhadap suami yang akan makarya, maka dengan “senggakan” kelihatan sekali bahwa pria kini memang “bandel”.
 
Matur sanget nuwun dumateng Bapak Suparnawa Suratmadja yang sudah membuatkan lirik simpanannya lewat  kelompok FB Nguri-uri Basa Jawa, selaku berikut (yang di dalam kurung abjad miring merupakan “senggakan”nya)
 
Ala .. wayah .. tak mencit-mencit sisan

Emplek-emplek ketepu, wong lanang goleka kayu ...
(Ala .. wayah ... tak golek-golek sisan ...) 2X
Lamun golek, wong lanang mbok aja menek .....
(Ala .. wayah ... tak menek-menek sisan ...)
Lamun menek, wong lanang mbok aja mencit ....
(Ala .. wayah, tak mencit-mencit sisan ...)
Lamun mencit, wong lanang mbok aja niba ...
(Ala .. wayah ..., tak niba-niba sisan ...)
Lamun niba, wong lanang mbok aja mati ...
(Ala .. wayah ..., tak mati-mati sisan ...)
Lamun mati, wong lanang tak tinggal rabi ...
(Ala .. wayah ..., tak urip-urip sisan ...)
 
Kelihatan sentuhan humornya, tetapi tidak seronok. Terasa  pula sindirannya: Bahwa pria bila “dituturi” malah tambah ndableg.
 
 


EPILOG
 
Ridwan masih bareng saya.  “Saya jadi membayangkan dua skenario, pak. Yang pertama wanita jaman dahulu melepas suami mau cari kayu, dengan pesan hati-hati ya mas, anak istri nunggu di rumah. Yang kedua wanita sekarang, sama-sama melepas suami  dengan hikmah tetapi yang namanya laki-laki  sekarang, bila diberi hikmah ya menyerupai itu, ngeyel. Hanya begitu keluar kata-kata bila mati ditinggal rabi (maksudnya kawin lagi), mikir  juga si lelaki, ia gak mau mati”.
 
Saya seneng Ridwan sanggup serius. “Makanan dan lagu bagaimanapun niscaya menyesuaikan dengan selera jaman”, komentar aku dengan serius pula. “Nilai emplek-empleknya tetap ada walau tanpa ketepu lagi. Demikian pula pitutur luhurnya tidak hilang, walau kini yang dituturi ngeyel”.
 
“Ngomong-omong, pak”, Ridwan tersenyum. “Emplek-emplek ketepu ini niscaya masakan orang Jawa, bukan masakan orang Madura”. Saya belum sempat menanyakan reasoningnya, beliau sudah menjawab sendiri: “Dulu orang Madura kan makan jagung, jadi tidak ada katul disana. Bagaimana bisa  punya cukup ketepu yang sanggup diemplek-emplek”. (IwMM).

Related : Tembang “Emplek-Emplek Ketepu” (2): Tetap Memberi Pitutur Walau Jaman Telah Berubah

0 Komentar untuk "Tembang “Emplek-Emplek Ketepu” (2): Tetap Memberi Pitutur Walau Jaman Telah Berubah"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)