Tembang Emplek-Emplek Ketepu (1): Tuladha Untuk Urip Nrima, Ora Ngaya Dan Ngati-Ati


Anak muda kini banyak yang tidak tahu apa itu “emplek-emplek ketepu”. Sebenrnya merupakan masakan kecil jaman dahulu yang yang dibikin dari parutan ketela pohon dan tepung bekatul (ketepu) kemudian diemplek-emplek kemudian dikukus. Ada juga kawan yang menyampaikan bukan dikukus namun dipanggang di atas api. Supaya gurih, cukup diberi garam. Untuk ukuran kini mungkin tidak yummy sehingga resep emplek-emplek ketepu jaman kini parutan ketela pohonnya diaduk tepung ketan. Pemanisnya pakai gula merah, “topping”nya kelapa parut. Mungkin juga diberi “topping” keju atau yang lain yang lebih moderen. Namanya tetap emplek-emplek ketepu namun tanpa “ketepu” (bekatul).
 

TEMBANG LAMA DARI DESA

Lamun menek aja dha mencit

Jaman dahulu disamping selaku “nyamikan” sederhana pengganjal perut orang-orang yang bermukim “adoh ratu cedhak watu” (maksudnya di perifer atau di desa-desa marginal), juga mengenal lagu “emplek-emplek ketepu”. Lagunya amat sederhana namun maknanya dalam. Entah siapa yang menulis liriknya. Yang terang kelihatan sekali bahwa merupakan pitutur dari mereka untuk mereka yang tinggal jauh di sana. Inilah kurang-lebihnya kata-kata yang pernah saya dengar:

Plek-emplek ketepu; Wong lanang goleka kayu; lamun golek aja dha menek; lamun menek aja dha mencit; lamun mencit aja dha tiba; lamun datang aja nganti lara; lamun lara aja nganti mati.
 
Terjemahannya: Plek-emplek ketepu; Laki-laki carilah kayu; jikalau cari jangan memanjat; jikalau memanjat jangan tinggi-tinggi; jikalau tinggi jangan hingga jatuh; jikalau jatuh jangan hingga sakit; jikalau sakit jangan hingga mati.
 
 
PITUTUR WONG CILIK YANG BERMAKNA DALAM
 
Mengapa “orang kecil?” Karena kata pembukanya merupakan “emplek-emplek ketepu” masakan sederhana yang tidak dimengerti orang kota. Dilanjutkan dengan “wong lanang goleka kayu”. Maksud sesungguhnya merupakan pria carilah pekerjaan. Pekerjaan cari kayu biasanya dijalankan oleh orang-orang yang tinggal di akrab hutan. Kaprikornus terang pesan ini dibentuk dalam nuansa kehidupan di “remote area” atau daerah-daerah yang “adoh ratu cedhak watu” tadi.
 
Kalimat selanjutnya merupakan “lamun golek aja dha menek”. Kaprikornus cari yang sanggup dijangkau dengan mudah saja, tidak usah memanjat.  Pemahamannya jikalau melakukan pekerjaan tidak usah ngaya dan melakukan sesuatu yang berisiko tinggi. Yang penting kita “obah” (bergerak) dan memperoleh hasil seperlunya selanjutnya pulang selamat.  Dewasa ini banyak orang yang “ngaya” mau cari lebih banyak. Perlambangnya dalam lagu ini merupakan “menek” (memanjat). Pitutur pertama disini adalah: Nrima lah dengan apa yang ada. Tidak usah ngaya.

“Menek” (memanjat) memang ada risikonya. Sehingga dibilang dalam lagu tersebut: “Lamun menek aja dha mencit” dan “lamun mencit aja dha tiba”. Memang sanggup dipahami jikalau kayu yang kacau di bawah tidak ada, mau tidak mau ya mesti memanjat. Seorang nelayan jikalau maritim sedang ganas ya tidak usah melaut. Seorang pegawai akan memperoleh perhiasan penghasilan jikalau kerja lembur. Tetapi apa ya mesti cari lemburan tiap hari. Risikonya celaka atau sakit. Maka pesannya: Kalau memanjat jangan tinggi-tinggi. Kalau toh tinggi jangan hingga jatuh. Pitutur kedua adalah: Segala sesuatu biar diperhitungkan pakai deduga, prayoga, watara dan reringa. Demikian pesan Sri Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh yang disebutkan berlaku untuk siapa pun yang masih bernapas.
Selanjutnya dikatakan: “Lamun datang ja nganti lara; lamun lara ja nganti mati”. Kalau jatuh jangan hingga sakit dan jikalau sakit jangan hingga mati. Hasil pertimbangan kita mesti dibarengi dengan upaya preventif (pencegahan). Banyak kita lihat pekerja yang pekerjaannya panjat-memanjat tidak pakai alat pengaman, misalnya tali pengikat. Nelayan melaut dengan bahtera sederhana tanpa bawa pelampung. Pegawai kerja lembur tanpa diimbangi makan dan istirahat cukup, justru rokoknya tambah banyak. Risikonya merupakan “jatuh” sanggup celaka sanggup sakit. Kemudian katau terjadi sakit, banyak yang tidak punya antisipasi seandainya terjadi sakit. Misalnya jaminan kesehatan. Malah dipaksa kerja, dianggapnya sakit ringan-ringan saja. Padahal sakit berat biasanya diawali tanda-tanda ringan yang diabaikan. Adapun pitutur ke tiga: Sikap hati-hati kita mesti disokong dengan langkah-langkah pencegahan yakni upaya-upaya biar tidak menjadi sakit (promotif dan preventif) dan upaya-upaya pengobatan dan pemulihan (kuratif dan rehabilitatif) jikalau sakit.
Dalam ilmu kesehatan moderen kita kenal empat upaya kesehatan menyeluruh yaitu: Promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Empat upaya ini sudah diterjemahkan sendiri oleh kawula alit yang bermukim di tempat sulit.
 
WALJINAH
Sentuhan lebih moderen diberikan oleh biduanita langgam Jawa senior, Waljinah. Liriknya hampir sama. Saya coba menyimak dengan saksama lewat youtube, risikonya selaku berikut:

1.    Didahului “bawa” dengan sekar Kinanthi bait pertama, dari Serat Wulangreh selaku berikut:  padha gulangên ing kalbu | ing sasmita amrih lantip | aja pijêr mangan nendra | ing kaprawiran dèn kèsthi | pêsunên sariranira | cêgahên dhahar lan guling ||

2.    Diberi “senggakan” setiap ganti baris. Misalnya setelah “wong lanang goleka kayu” disisipi “(ala wayah golek-golek kayu)2X, o-e-o, golek kayu, o-e o” demikian seterusnya sanggup didengarkan sendiri.

3.    Baris terakhir setelah “lamun lara aja nganti mati” ditutup dengan “lamun mati la aja ditangisi”.

“Lamun mati aja ditangisi” inilah bukti sikap sabar tawakal bahwa apapun yang kita lakukan jikalau Allah sudah mengharapkan maka insan tidak akan sanggup mengubahnya. Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama pupuh Pocung bait ke 10 dan 11 menyebutkan ihwal Triprakarapegangan ksatria Jawa, selaku berikut:
(10) basa ngèlmu mupakate lan panêmu | pasahe lan tapa | yèn satriya tanah Jawi | kuna-kuna kang ginilut tri prakara ||
(11) lila lamun kelangan nora gêgêtun | trima yèn kataman | saksêrik samèng dumadi | tri lêgawa nalôngsa srahing bathara ||
Sehingga pitutur ke empat yang kita temukan adalah: Lila, trima dan legawa, semua milik Allah dan terhadap Allah semata semua akan kembali.
Gending Emplek-emplek ketepu diiringi bunyi Waljinah, juga Nyi Tukinem. Ervina juga menyanyikan ini. Disini Bapak Ibu sanggup menyimak apa yang disampaikan Waljinah lewat youtube dari situs Ki Demang selaku berikut:
 
 
EPILOG
 
Kali ini saya sedang bareng Ridwan, diskusi ihwal masakan dari ketela pohon yang ada di hadapan kita. Dia menyebut “Luk guluk” sementara saya menamai “Cothot”. Lalu saya tanya jikalau “emplek-emplek ketepu” tahu enggak? Dia menyimak kisah saya. Akhirnya beliau tanya: “Untuk jaman kini barangkali sanggup diartikan jikalau kerja gak usah korupsi, jikalau korupsi gak usah banyak-banyak, jikalau banyak ......”
 
Kata-katanya saya potong: “Filosofinya enggak gitu. Tembang itu dibentuk di tempat yang kata korupsi dan sikap korup samasekali tidak dikenal. Tembang itu merupakan pesan orang renta terhadap anaknya atau mungkin juga pesan istri pada wong lanang, yakni suaminya. Gak usah ngaya mas, yang penting kamu selamat”. (IwMM)

Dilanjutkan ke: Tembang Emplek-emplek Ketepu (2): Tetap memberi pitutur walau jaman sudah berubah

Related : Tembang Emplek-Emplek Ketepu (1): Tuladha Untuk Urip Nrima, Ora Ngaya Dan Ngati-Ati

0 Komentar untuk "Tembang Emplek-Emplek Ketepu (1): Tuladha Untuk Urip Nrima, Ora Ngaya Dan Ngati-Ati"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)