“Kere” menurut Poerwadarminta merupakan orang miskin yang mengemis. Dalam bahasa halus yang "ngenyek" (mengejek) disebut selaku "kridha lumahing asta". Banyak orang miskin tidak mengemis demikian pula ada juga orang tidak miskin tetapi mengemis, yang terakhir ini yang disebut dengan “mental kere”.
KERE MUNGGAH BALE
Sopir yang biasa menjemput saya, sebuah di saat berceritera” “Ada juragan kendaraan beroda empat transportasi biasa menikah sama montirnya. Montir itu memang orang baik dan taat beribadah. Tapi namanya KERE MUNGGAH BALE ya pak?”
Sopir yang biasa menjemput saya, sebuah di saat berceritera” “Ada juragan kendaraan beroda empat transportasi biasa menikah sama montirnya. Montir itu memang orang baik dan taat beribadah. Tapi namanya KERE MUNGGAH BALE ya pak?”
Bale sanggup diartikan pendopo, balairung atau balai-balai (dipan). Kere munggah bale memiliki arti orang rendahan yang memperoleh kedudukan tinggi. “Ya, itu salah satu referensi kasus atas ungkapan kere munggah bale. Tapi jangan senantiasa diartikan dengan pembantu menikah sama juragan”.
“Bapak, peribahasa itu tujuannya baik apa tidak? Sepertinya kok ngenyek (menghina) orang yang lebih rendah”
Saya jadi membayangkan seorang kere dekil, kesempatannya amat kecil untuk sanggup masuk ke pendopo. Baru hingga di gerbang mungkin sudah disuruh pergi oleh petugas. Kere yang sanggup masuk pendopo pastinya punya kelebihan. Mulai dari kelihayan menyelinap hingga penguasaan ilmu.
Sebagai pengagum tokoh wayang Adipati Karno, rasanya Adipati Karno yang di saat itu tidak dipahami selaku anak Dewi Kunthi (ibunya Pandawa lima) namun anak kusir Adirata tiba-tiba diangkat jadi Narpati di Ngawangga. Apa ini bukan sejenis “kere munggah bale”. Tapi Adipati Karno memang kompeten. Ia sudah menguasai banyak ilmu dengan “laku” yang sempurna. Dan ia tidak pernah terlena dengan derajat, semat dan kramat.
“Kere munggah bale samasekali tidak ngenyek. Faktanya kan hal menyerupai itu memang ada. Kita yang menyaksikan mesti ikut bersyukur, sekaligus bertambah percaya bahwa Allah betul-betul Maha Adil, Maha Pemurah, Maha Pengasih. Mudah-mudahan orang itu imannya kuat. Makara Kere munggah bale itu baik-baik saja, asal jangan hingga menjadi menyerupai KERE NEMONI MALEM”.
KERE NEMONI MALEM
KERE NEMONI MALEM
“lalu tujuannya Kere nemoni malem apa Pak?” Si sopir kembali bertanya.
“Contoh sederhananya, kita dipanggil ke resepsi pernikahan, lihat masakan terlalu banyak sementara hari-hari kita amat jarang lihat masakan menyerupai itu, maka piring kita penuhi dengan semua jenis masakan dan makan habis-habisan hingga semua jenis masakan kita santap. maka dibilang kita makan menyerupai kere nemoni malem. Kata malem tujuannya maleman. Saat maleman kan masakan berlimpah-limpah."
Itulah dua peribahasa yang meminjam nama kere. “Kere munggah bale” dan “kere nemoni malem”. Kita dihentikan iri dengan “Kere munggah bale” namun boleh tertawa dengan “kere munggah bale yang sekaligus kere nemoni malem” menyerupai dalam lakon “Petruk dadi ratu” yang saya tulis dalam Petruk: Pernah tidak besar lengan berkuasa drajat, semat dan kramat (IwMM)
0 Komentar untuk "Dua Peribahasa Dengan “Kere”"