Saya mulai berpikir untuk menulis ihwal gajah sementara waktu yang kemudian di saat mau boarding di Bandara Soekarno Hatta. Rupanya pesawat parkir di “remote area” sehingga boarding tidak lewat garbarata (belalai) melainkan naik bis. Seorang ibu di belakang saya berkata pada anak yang di gandengnya: “Ayo nak turun, kita tidak lewat tlale”. Saya hingga noleh, senyum-senyum kecil sendiri. Ibu itu menyaksikan ke saya. Wah jangan-jangan saya dikira orang renta mau usil. Langkah saya perlambat kemudian saya sampaikan: “Sudah usang sekali tidak dengar kata tlale, Bu”. Ibu itu tertawa. “Lha tlale kan sama saja dengan belalai, Rama”, katanya. Tak ada komunikasi lebih lanjut. Namanya orang mau naik pesawat ya sibuk sendiri-sendiri.
Gajah memang bukan hewan orisinil Jawa. Rasanya agak asing jikalau rino ada di Sumatra dan Jawa namun Gajah cuma di Sumatra, meskipun fosil nenek moyang gajah, Mammoth, sanggup kita lihat di Museum Purbakala, Sangiran, Sragen.
Bukan orisinil Jawa namun erat dalam kehidupan orang Jawa. Mungkin alasannya merupakan gajah dari jaman dahulu menjadi hewan piaraan raja-raja di Jawa, termasuk jadi kendaraan kavaleri untuk perang. Ronggolawe, Bupati Tuban pada kala Majapahit juga digambarkan berkendaraan gajah. Prabu Baladewa dalam pedhalangan Jawa juga dipahami selaku raja yang tunggangannya gajah, berjulukan "Puspadhenta". sementara raja-raja lainnya lebih senang naik kereta.
Seberapa akrabkah gajah di hati orang Jawa? Kalau kini alasannya merupakan ada kebun hewan dan taman safari tergolong pawang gajahnya, maka pastilah insan erat dengan gajah. Di Alun-alun Kidul Yogyakarta pun di sekarang ini gajah peliharaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat telah membaur dengan penduduk tergolong anak-anak.Tetapi jejak keakraban pada jaman dahulu bagaimana? Kita sanggup melacaknya lewat beberapa pintu, antara lain tembang, cangkriman, dolanan, kisah dan paribasan.
CANGKRIMAN
Gajah memang bukan hewan orisinil Jawa. Rasanya agak asing jikalau rino ada di Sumatra dan Jawa namun Gajah cuma di Sumatra, meskipun fosil nenek moyang gajah, Mammoth, sanggup kita lihat di Museum Purbakala, Sangiran, Sragen.
Bukan orisinil Jawa namun erat dalam kehidupan orang Jawa. Mungkin alasannya merupakan gajah dari jaman dahulu menjadi hewan piaraan raja-raja di Jawa, termasuk jadi kendaraan kavaleri untuk perang. Ronggolawe, Bupati Tuban pada kala Majapahit juga digambarkan berkendaraan gajah. Prabu Baladewa dalam pedhalangan Jawa juga dipahami selaku raja yang tunggangannya gajah, berjulukan "Puspadhenta". sementara raja-raja lainnya lebih senang naik kereta.
Seberapa akrabkah gajah di hati orang Jawa? Kalau kini alasannya merupakan ada kebun hewan dan taman safari tergolong pawang gajahnya, maka pastilah insan erat dengan gajah. Di Alun-alun Kidul Yogyakarta pun di sekarang ini gajah peliharaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat telah membaur dengan penduduk tergolong anak-anak.Tetapi jejak keakraban pada jaman dahulu bagaimana? Kita sanggup melacaknya lewat beberapa pintu, antara lain tembang, cangkriman, dolanan, kisah dan paribasan.
CANGKRIMAN
Cangkriman yang jawabannya “Gajah” telah saya posting dalam Cangkriman 2b: Cangkriman dengan Tembang. Ingat kan?: Bapak pucung dudu watu dudu gunung; Sangkamu ing sabrang; Ngon-ingone sang Bupati; Yen lumaku si pucung lembehan grana (tidak saya terjemahkan lagi)
DOLANAN
Ingat Hompimpah dan Hompingsut? Dalam pingsut kita gunakan jari-jari tangan mewakili manusia, semut dan gajah. Gajah kalah sama semut. Ceritera gajah dan semut erat di dunia bawah umur entah orisinil Indonesia atau bukan. Tapi jikalau ada kancilnya, kira-kira banyak orisinil Indonesianya.
DONGENG
Yang orisinil Jawa mungkin kisah Kancil dan Gajah dalam Serat Kancil Kridhamartana karya Raden Panji Natarata, dimana kancil yang terperosok dalam lobang sukses membohongi gajah. Dikatakan oleh kancil bahwa langit akan ambruk, gajah sanggup tidak selamat kecuali masuk ke dalam lobang wilayah kancil terperosok. Gajah pun menekuni ke lobang dan kancil keluar dari lobang sehabis menggunakan punggung gajah selaku watu loncatan.
Yang ini “wisdom story” nampaknya bukan ceritera orisinil Indonesia, namun waktu SD dahulu guru saya pernah berceritera ihwal orang buta dan gajah. Masing-masing menggambarkan gajah berbeda-beda sesuai dengan apa yang ia raba waktu memegang gajah. Yang meraba telinga akan berlawanan pendapatnya dengan yang meraba Badan, belalai, kaki dan ekor. Nyaris sama dengan penggambaran guna mengenalkan gajah pada bawah umur yang disampaikan lewat tembang dolanan pada posting sehabis ini (IwMM)
0 Komentar untuk "Gajah 1: Cangkriman, Dolanan Dan Dongeng"