Ada sobat yang bertanya: “Mas, yang dimaksud dengan laris itu nglakoni ya?” Tanpa pikir panjang pribadi saya jawab “Iya”. Teman saya melanjutkan pertanyaannya: “Jadi pakai patigeni, mutih, nglowong dan lain-lain?” Saya mulai serius: “Ya bukan mesti begitu. Rupanya kau tidak baca goresan pena saya dengan baik”. Ia tertawa terbahak-bahak: “Ya, cuma klik kemudian baca sepintas”.
Pitutur wacana “Laku” dan “Nglakoni” sanggup dibaca pada Serat Wulangreh, karya Sri Pakubuwana IV, Pupuh Kinanthi: “Dadya lakunireku; Cegah dhahar musuh guling; Lawan aja sukan-sukan; Anganggowa sawatawis; Ala watake wong suka; Nyuda kaprayitnaning batin”. Penjelasannya sanggup dibaca pada “Laku ing sasmita amrih lantip”.
“Nglakoni” yang merupakan amanah leluhur dan sesepuh bahwasanya merupakan “pendadaran” atau dalam bahasa Jawa yang lebih biasa merupakan “penataran”. Jangan lupa bahwa “Ngelmu iku kelakone kanti laku”. Sudah barang pasti “Laku” yang kita jalani diadaptasi dengan apa yang kita cita-citakan. Kalau anak kita ingin jadi dokter maka beliau mesti nglakoni kuliah dan praktikum mulai dari Semester satu hingga akhir, praktek kesehatan penduduk di desa hingga koasistensi di Rumah Sakit. Jaman saya dahulu paling cepat enam setengah tahun gres sanggup lulus dokter. Yang selesai dalam sepuluh tahun pun tidak sedikit.
“Jadi bukan bertapa di kawasan sepi, tidak tidur tidak makan?” sobat saya masih minta penegasan.
Jawaban saya “Ya dan tidak”. Orang yang menuntut ilmu dan ingin “kelakon” (tidak “drop out”) memang mesti “cegah dhahar musuh guling”, meminimalkan makan dan tidur tetapi bukan tidak tidur dan tidak makan samasekali. Terlalu banyak makan bikin ngantuk. Terlalu banyak tidur kapan belajarnya? Ditambah lagi “lawan aja sukan-sukan” dan “anganggowa sawatawis”. Banyak hura-hura (sukan-sukan) dan “anganggowa sawatawis” (dalam pemahaman tidak cuma berpakaian sederhana tetapi lebih luas lagi tidak bermewah-mewah, keduanya, bersenang-senang dan bermewah-mewah, menghasilkan kita lupa jikalau sedang menuntut ilmu. Mengurangi dugem tergolong menyepi dan mana mungkin kita berguru di kawasan ramai.
“Lalu jikalau puasa bagaimana, mas?” pertanyaan sobat saya mulai sulit.
Hakekat puasa merupakan ibadah. Makara puasalah yang betul, jangan cuma sanggup laparnya. Serat Wedhatama, Pupuh Pucung, karya Sri Mangkunegara IV sanggup dijadikan rujukan: “Ngelmu iku kelakone kanti laku; Lekase musuh kas; tegese kas nyantosani; Setya budya pangekese dur angkara”. Tentang “laku” sudah dibahas di atas. “Kas”: merupakan tekad yang lingkaran yang “nyantosani” (memberi kekuatan). Dengan diingatkan lewat puasa maka kita tidak akan lupa bahwa kita sedang menjalani “laku”.
“Satu lagi mas, bagaimana dengan bertapa di kawasan sunyi menyerupai di goa-goa?”
Goa dalam pemahaman saya merupakan kawasan khusus. Belajar kan mesti ada kawasan khusus yang sebaiknya dibentuk tenteram untuk belajar. Bisa di rumah, di perpustakaan atau kawasan lain. Saya ingat ada sobat yang kawasan kos-kosannya terlalu ramai dan beliau memutuskan berguru di Masjid setelah selesai sholat Isya. Sering beliau sekalian tidur di Masjid, bangkit sanggup pribadi sholat Subuh berjamaah. Setelah jadi orang berhasil, beliau sering menyumban pembangunan masjid dan jikalau kita ke rumahnya, ada ditawarkan satu ruang khusus dan cukup besar untuk Mushola.
Itulah terjemahan nglakoni pada jaman sekarang. Anak orang kaya maupun orang tidak kaya jikalau ingin menemukan ilmu ya mesti “nglakoni”. Hartabenda barangkali sanggup dipakai untuk berbelanja ijazah tetapi tidak sanggup dipakai untuk berbelanja ilmu. “Ngelmu iku kelakone kanti laku” (IwMM)
Dilanjutkan ke Nglakoni (2): Tulisan kala yang lalu
Pitutur wacana “Laku” dan “Nglakoni” sanggup dibaca pada Serat Wulangreh, karya Sri Pakubuwana IV, Pupuh Kinanthi: “Dadya lakunireku; Cegah dhahar musuh guling; Lawan aja sukan-sukan; Anganggowa sawatawis; Ala watake wong suka; Nyuda kaprayitnaning batin”. Penjelasannya sanggup dibaca pada “Laku ing sasmita amrih lantip”.
“Nglakoni” yang merupakan amanah leluhur dan sesepuh bahwasanya merupakan “pendadaran” atau dalam bahasa Jawa yang lebih biasa merupakan “penataran”. Jangan lupa bahwa “Ngelmu iku kelakone kanti laku”. Sudah barang pasti “Laku” yang kita jalani diadaptasi dengan apa yang kita cita-citakan. Kalau anak kita ingin jadi dokter maka beliau mesti nglakoni kuliah dan praktikum mulai dari Semester satu hingga akhir, praktek kesehatan penduduk di desa hingga koasistensi di Rumah Sakit. Jaman saya dahulu paling cepat enam setengah tahun gres sanggup lulus dokter. Yang selesai dalam sepuluh tahun pun tidak sedikit.
“Jadi bukan bertapa di kawasan sepi, tidak tidur tidak makan?” sobat saya masih minta penegasan.
Jawaban saya “Ya dan tidak”. Orang yang menuntut ilmu dan ingin “kelakon” (tidak “drop out”) memang mesti “cegah dhahar musuh guling”, meminimalkan makan dan tidur tetapi bukan tidak tidur dan tidak makan samasekali. Terlalu banyak makan bikin ngantuk. Terlalu banyak tidur kapan belajarnya? Ditambah lagi “lawan aja sukan-sukan” dan “anganggowa sawatawis”. Banyak hura-hura (sukan-sukan) dan “anganggowa sawatawis” (dalam pemahaman tidak cuma berpakaian sederhana tetapi lebih luas lagi tidak bermewah-mewah, keduanya, bersenang-senang dan bermewah-mewah, menghasilkan kita lupa jikalau sedang menuntut ilmu. Mengurangi dugem tergolong menyepi dan mana mungkin kita berguru di kawasan ramai.
“Lalu jikalau puasa bagaimana, mas?” pertanyaan sobat saya mulai sulit.
Hakekat puasa merupakan ibadah. Makara puasalah yang betul, jangan cuma sanggup laparnya. Serat Wedhatama, Pupuh Pucung, karya Sri Mangkunegara IV sanggup dijadikan rujukan: “Ngelmu iku kelakone kanti laku; Lekase musuh kas; tegese kas nyantosani; Setya budya pangekese dur angkara”. Tentang “laku” sudah dibahas di atas. “Kas”: merupakan tekad yang lingkaran yang “nyantosani” (memberi kekuatan). Dengan diingatkan lewat puasa maka kita tidak akan lupa bahwa kita sedang menjalani “laku”.
“Satu lagi mas, bagaimana dengan bertapa di kawasan sunyi menyerupai di goa-goa?”
Goa dalam pemahaman saya merupakan kawasan khusus. Belajar kan mesti ada kawasan khusus yang sebaiknya dibentuk tenteram untuk belajar. Bisa di rumah, di perpustakaan atau kawasan lain. Saya ingat ada sobat yang kawasan kos-kosannya terlalu ramai dan beliau memutuskan berguru di Masjid setelah selesai sholat Isya. Sering beliau sekalian tidur di Masjid, bangkit sanggup pribadi sholat Subuh berjamaah. Setelah jadi orang berhasil, beliau sering menyumban pembangunan masjid dan jikalau kita ke rumahnya, ada ditawarkan satu ruang khusus dan cukup besar untuk Mushola.
Itulah terjemahan nglakoni pada jaman sekarang. Anak orang kaya maupun orang tidak kaya jikalau ingin menemukan ilmu ya mesti “nglakoni”. Hartabenda barangkali sanggup dipakai untuk berbelanja ijazah tetapi tidak sanggup dipakai untuk berbelanja ilmu. “Ngelmu iku kelakone kanti laku” (IwMM)
Dilanjutkan ke Nglakoni (2): Tulisan kala yang lalu
0 Komentar untuk "Nglakoni (1): Jaman Sekarang"