Nglakoni (2): Goresan Pena Kurun Yang Lalu

Merujuk kembali ke diskusi bareng seorang sobat tentang “Nglakoni” kebetulan saya baca Majalah Mardisiwi,yang diterbitkan oleh Literair Paedagogische Club Soerakarta, November 1938 goresan pena S. Sastrowardojo, berjudul “Awratipun tiyang nglampahi”, sanggup di klik dan cari di www.sastra.org

Apa yang saya tulis di Nglakoni (1): Jaman sekarang memang cuma mengambil pola “orang sekolah”. Kebetulan itu pola yang gampang. Bagaimana pada jaman belum banyak sekolahan dan belum banyak pula orang sekolah? Saya tidak akan berceritera bagaimana Abimanyu bertapa kemudian mendapat Wahyu Cakraningrat, ilmu memang belum hingga kesitu. Contoh yang ditulis S. Sastrowardojo (1939) cukup sederhana pada jamannya dan masih sanggup diketahui pada masa sekarang.

Sastrowardojo mengambil pola “umpaminipun kemawon nglampahi temen” (Temen: lurus hati, jujur). Orang yang sedang “nglampahi” (nglakoni) untuk menjadi “temen” akan mencicipi betapa beratnya “nyirik goroh” (berpantang dusta). Goroh merupakan “wewaler” (larangan) utama orang yang ingin menjadi “temen”. Padahal kita hidup sehari 24 jam mulai dari berdiri tidur hingga tidur lagi. Kalau kita menjajal catat sikap kita dalam 24 jam, betapa banyak sikap “ora temen” yang kita perbuat dalam sehari semalam. Padahal dusta itu bersaudara dengan mengaku-aku, ingkar janji, mendustai dan perbuatan tercela lainnya.

Bagaimana dengan dusta kecil-kecilan? Dusta merupakan dusta dan tidak menyaksikan ukurannya. Hukum "sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit" berlaku di sini. Sastrowardojo mengatakan, “Boten ngengeti yen kathah punika asalipun saking sakedhik. Manawi ingkang alit-alit wau boten enggal dipun papras, saya lami ndadra. Yen sampun dados pakulinan, sampun matuh, angel sanget ical-icalanipun” Terjemahannya: Tidak ingat jikalau yang banyak itu asalnya dari sedikit. Kalau yang kecil-kecil tidak cepat-cepat dikepras, semakin usang semakin jadi. Kalau telah jadi kebiasaan akan susah dihilangkan. Dikatakan juga oleh Sastrowardojo, “Wosing wewarahipun leluhur wau: Supados nglampahana weting ngagesang” (Intisari fatwa leluhur kita biar menjalani pranata kehidupan).

Di atas gres satu contoh. Norma-norma yang mesti kita jalani masih banyak. Antara lain: Keimanan dan ketaqwaan, hormat terhadap orang tua, cinta kasih terhadap sesama, dan lain lain. Kita bisa “nglakoni” jikalau mengikuti pituduh “pada gulangen ing kalbu”, nggegulang, melatih, sejak kecil, dimana saja dan kapan saja, sehingga tahu, bisa memutuskan dan menyeleksi untuk menjalani yang bagus dan menyingkiri yang buruk.

Kembali kepada “Ngelmu iku kelakone kanti laku; Lekase musuh kas; tegese kas nyantosani; Setya budya pangekese dur angkara”, dengan highlight pada “laku” yang dilandasi “kas” dan meredam “dur angkara” maka yang terakhir ini lah kita mesti bisa menertibkan hawa napsu. Sastrowardojo menyebutkan: “Kajawi pakulinan utawi panggladhi ingkang sampun kula aturaken wau, manungsa ugi perlu saged nulak sakathahing godha ingkang ngregoni dateng lampah leres: kedah saged ngampah hawa napsu” (disamping latihan yang telah saya sebut tadi insan juga mesti bisa menolak semua godaan terhadap perbuatan baik: mesti bisa menertibkan hawa napsu). Disebutkan lewat tirakat, tergolong berpuasa, meminimalkan tidur dan meminimalkan bicara. Kaprikornus “nglakoni” merupakan sesuatu yang bergotong-royong mesti kita lakukan sehari-hari, sanggup dilihat di Laku ing sasmita amrih lantip

“Nglakoni” merupakan amalan hidup untuk menjadi orang utama. Bukan sesuatu yang berbau gaib (IwMM).

Related : Nglakoni (2): Goresan Pena Kurun Yang Lalu

0 Komentar untuk "Nglakoni (2): Goresan Pena Kurun Yang Lalu"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)