Bila kita membaca secara keseluruhan pupuh pertama dalam Serat Wedhatama yang berisikan 14 bait pupuh Pangkur sanggup kita lihat bahwa Serat Wedhatama dimaksudkan untuk mendidik putera-puteri yang memiliki arti anak muda. Kita lihat bait pertama:
(1) mingkar-mingkuring angkara | akarana karênan mardi siwi | sinawung rêsmining kidung | sinuba sinukarta | mrih krêtarta pakartining ngèlmu luhung | kang tumrap nèng tanah Jawa | agama agêming aji ||
Artinya kurang lebih: (1) Dalam menghadapi nafsu angkara; Karena ingin mendidik putera-puteri; Dalam suatu tembang; Yang disambut bangga dan dihormati; Supaya bisa mncapai hakekat ilmu luhur; Yang ada di tanah Jawa; Agama pakaian yang amat berharga.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa bait pertama sekar Pangkur ini yakni tujuan utama Serat Wulangreh. Mendidik anak, sesuai budaya Jawa, berlandaskan nilai-nilai keagamaan.
ORANG TUA DIPERINGATKAN LEBIH DAHULU
Sebelum hingga terhadap anak muda, Sri Mangkunegara IV mengingatkan orang renta lebih dahulu. Bahkan cukup keras. Kita lihat bait ke dua hingga dengan ke enam selaku berikut:
Adapun terjemahan bait ke dua hingga dengan ke enam kurang lebih:
(2) Disajikan dalam Wedhatama; Agar tidak kendor dalam muatan kebijaksanaan kita; meskipun telah renta dan pikun; jikalau tidak mengetahui ilmu; Pasti sepi, masbodoh mirip ampas kosong; Bila menghadiri pertemuan; Perilakunya memalukan.
(3) Menuruti kemauan sendiri; Bila mengatakan tanpa dipertimbangkan; Tetapi tidak mau dianggap bodoh; Maunya dipuji-puji; Tetapi insan yang telah berhati-hati terhadap situasi; Tetap bermuka manis; Dan bertutur-kata baik.
(4) Si dungu tidak menyadari; Bahwa bualannya kian menjadi-jadi; Bicara makin ngelantur; Bicaranya tidak masuk akal; Makin asing dan tidak ada putusnya; Yang bakir berhati-hati dan mengalah; Menutupi malu si tolol
(5) Demikianlah ilmu yang nyata; Senyatanya menyediakan kesegaran hati; Hati bahagia dibilang bodoh; Tetap bangga biarpun dihina; Tidak mirip si dungu yang senantiasa arogan Ingin disanjung setiap hari; Janganlah begitu orang hidup.
(6) Hidup sekali saja rusak; Nalarnya tidak meningkat dan tercabik-cabik; Ibarat goa yang gelap dan menyeramkan; Ditiup angin; Suaranya gemuruh dan berdengung; Seperti halnya akhlak anak muda; Walau demikian tetap congkak
Penjelasannya selaku berikut:
Kita lihat bahwa Sri Mangkunegara IV keras dalam mengingatkian orang tua: Pada bait ke dua dijelaskan,walau telah renta kalau tidak menguasai ilmu ibaratnya ampas kosong. Bila berjumpa dengan orang banyak maka perilakunya memalukan. (yekti sepi asepa lir sepah dan gonyak-ganyuk anglilingsemi). Jaman kini mungkin yang sering kita dengar adalah kata “pepesan kosong”.
Selanjutnya yang dimaksud dengan mirip “sepah” dan “gonyak-ganyuk tadi mirip apa sanggup dilihat pada bait ke tiga, yaitu: “Menuruti kemauan sendiri” yang berisikan tiga hal: Bicara tanpa pertimbangan, tidak mau dianggap kurang bakir dan ingin dipuji-puji. Dalam hal ini insan yang telah berhati-hati terhadap suasana akan tetap bermuka bagus dengan tutur kata yang bagus pula (Sinamun ing samudana dan sesadon ingadu manis). Apapun sikap orang, kita tetap berprasangka baik dengan bahasa badan yang bagus pula.
Tetapi apa yang terjadi? Pada bait ke empat diterangkan bahwa yang bersangkutan tidak ngrumangsani. Justru gonyak-ganyuk nglilingsemi-nya kian menjadi-jadi. Barangkali alasannya yakni telah merasa tua, merasa bakir dan berpengalaman, maka ia susah dikasih-tahu, dan lainnya dianggap bocah wingi sore. Maka Sri Mangkunegara IV berpesan yang masih punya penalaran ngalah saja lah. Biar hati sebal tetapi tetaplah Ngalingi marang si pingging (menutupi malu si dungu) tentusaja dengan sinamun ing samudana, sesadon ingadu manis.
Mungkin ada juga yang dalam hati kurang rela. Kenapa tidak kita labrak saja orang yang gunggungan mirip itu? Maka dalam bait ke lima Sri Mangkunegara IV menjelaskan: Orang yang telah mengendap semestinya senantiasa memberi kesegaran hati; walau dihina atau dibodoh-bodohkan tak usah dimasalahkan, tetaplah gembira. Jangan mirip si tolol yang arogan dan maunya dipuji-puji setiap hari.
Omong besarnya si tolol pada bait ke enam diumpamakan oleh Sri Mangkunegara IV selaku gemuruh bunyi suatu goa yang ditiup angin kencang. Mohon diamati pada bait ke enam ini lah entry nasihat untuk anak muda. Pada dua baris terakhir disebutkan “Pindha padhane si mudha; Prandene paksa kumaki”
Saya sendiri telah mulai tua. Apa kira-kira orang renta memang banyak ngomong? Minteri? Dan ngomongnya pun tidak betul? Dibantah juga tidak mau? Apakah pemahaman renta menurut Sri Mangkunegara IV?
UKURAN DISEBUT “SEPUH”
Ternyata usia bukanlah ukuran mirip yang disebutkan dalam bait ke duabelas pupuh Pangkur selaku berikut:
Terjemahannya kurang lebih: Siapapun yang menerima wahyu Allah; Dengan cemerlang bisa menjalankan ilmu; Menguasai ilmu kesempurnaan; Sempurna jiwa raga; Itulah yang layak disebut “orang tua” (sepuh); Arti “orang tua” (sepuh) yakni tidak dikuasai hawa nafsu (sepi hawa) ; Paham akan dwi tunggal (loroning atunggal).
Dengan demikian, siapapun yang telah mengendap jasmani dan rohaninya tanpa menyaksikan umur, itulah “sepuh” sepi ing hawa. Anak muda pun kalau telah manunggal jiwa dan raganya, bisa menertibkan hawa napsu telah bisa disebut “sepuh”. Kaprikornus ada orang yang “tua tetapi tidak sepuh” yang diumpamakan mirip anak muda yang masih suka omong besar. “Pindha padhane si mudha; Prandene paksa kumaki,”
Lalu apa pesan Sri Mangkunegara IV terhadap Kawula muda saya teruskan di Serat Wedhatama: Menasihati para muda.(IwMM)
0 Komentar untuk "Serat Wedhatama: Pesan Terhadap Orang Tua"