Segala sesuatu yang keluar dari ekspresi dan hidung kita, sanggup benda atau bunyi, amat tidak mengenakkan bagi orang yang mellihat atau mendengarnya. Apa yang keluar, sanggup akhir penyakit, sanggup pula alasannya yakni perilaku. Bila alasannya yakni penyakit, mestinya kita tak usah keluar terlebih bertamu. Bila alasannya yakni sikap semestinya sanggup diperbaiki. Apa yang ditulis oleh Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, tahun 1914, dalam Serat Subasita rasanya masih berkaitan untuk dikala ini.
MELUDAH
Di negara kita ini masih banyak orang meludah sebarang tempat, namun tidak ada tanda larangan meludah (Jawa: Idu) sebarangan plus denda seumpama halnya di Cina. Meludah sembarang pilih disamping tidak sopan juga mempermudah penularan penyakit. Tatakrama Jawa masih membolehkan kita meludah (dikaitkan dengan kebiasaan “nginang” pada masa itu). Tetapi mesti meludah di wilayah yang sudah ditetapkan (disebut paidon). Waktu meludah ekspresi dilindungi dari samping dengan tangan. Dikaitkan dengan budaya Belanda yang tidak membolehkan meludah, maka jika sedang bareng orang Belanda (Serat Subasita ditulis tahun 1914) upayakan untuk tidak meludah.
BUANG INGUS
Terkait dengan tatakrama dan penularan penyakit, jangan buang ingus (Jawa: Ingus = umbel dan langkah-langkah mencampakkan ingus = sisi) sembarang wilayah dan suasana. Memang sikap yang “nggilani” apalagi didukung bunyi “sentrap-sentrup” dari hidung alasannya yakni kita berusaha mengisap ingus yang hendak keluar. Ketika daya tampung rongga hidung sudah optimal kita buang dengan memijat hidung pakai ibu jari dan jari telunjuk lalu udara kita dorong keras-keras lewat hidung. Ingus yang tertampung di tangan kita kibaskan dan sisa yang tertinggal kita usapkan ke baju atau dinding atau apa saja yang erat dengan kita. Kenapa tidak pakai saputangan atau tissue dan kita keluarkan dengan bunyi minimal. Syukur jika sanggup menyingkir dahulu dari orang banyak, gres sisi untuk mencampakkan umbel.
BERSIN
Bersin (Jawa: wahing) sanggup terjadi alasannya yakni banyak hal. Rangsangan abu halus, alergi atau sakit flu. Bersin juga terkait dengan penularan penyakit dan tatakrama. Bila kita higienis sebaiknya menoleh ke samping kiri atau kanan yang tidak ada orang dan ekspresi kita lindungi dengan telapak tangan. Bila keluar ingus bersihkan dengan saputangan atau tissue. Bersin jika terjadi memang sukar dicegah dan ditahan, namun sedapat mungkin upayakan biar suaranya tidak terlampau menghasilkan orang lain tidak nyaman.
BATUK
Batuk juga amat terkait dengan penularan penyakit dan tatakrama. Penyakit Tuberkulosis amat terkait dengan batuk. Sakit Influenza mempunyai tanda-tanda batuk, juga bersin, keluar ingus dan niscaya meludahkan dahak (Jawa: riak). Ketika tahun 2009 dunia mengalami pandemi Influenza H1N1 yang secara salah kaprah disebut “Flu Babi”. Kementerian Kesehatan melancarkan kampanye penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat besar-besaran, terutama tentang “Cough Ethics”, tatakrama batuk. Batuk dan bersin sedapat mungkin menoleh, lindungi dengan tangan atau lengan baju. Masih ditambah “pakai masker” biar apa yang kita batukkan atau bersinkan tidak tentang orang lain.
DEHEM
“Dehem” yakni batuk-batuk ringan dan bikinan ... ehemm, ehemm. Biasanya orang bertamu, Assalamualaikum, belum ada sahutan kemudian dehem dehem. Sekedar menyediakan jika di luar ada orang, biar tuan rumah keluar. Tidak disebut selaku perbuatan tidak sopan. Dehem yang tidak sopan yakni dehem jika kita sedang berada di erat atau berpapasan dengan wanita. Hal ini dianggap menawan hati dan tergolong sikap “degsura”.
BERSENDAWA
Lain bangsa lain budaya. Walaupun dalam budaya Jawa glegeken atau antob dianggap kurang sopan, di wilayah lain ada yang berlaku sebaliknya. Kaprikornus dalam duduk permasalahan sendawa, kita mesti bijak, lihat-lihat dahulu sedang bareng siapa.
CEGUKAN
Cegukan (hiccup) sanggup alasannya yakni tersekat makanan atau penyakit, tidak sanggup berhenti maupun dicegah. Walaupun suaranya tidak mengenakkan, orang yang menyaksikan orang lain cegukan reaksinya sanggup tertawa hingga kasihan. Orang yang cegukan sebaiknya menyingkir dahulu hingga cegukannya berhenti. Kalau berkepanjangan lebih baik pulang saja.
PENUTUP
Semua yang keluar dari ekspresi dan hidung kita, terkait dengan dua hal: penyakit dan “subasita”. Penyakit sanggup menular (Influenza, Tuberculosis) sanggup tidak menular (cegukan). Adab dalam hal batuk, bersin, meludah dan buang ingus dan dikaitkan dengan subasita Jawa bekerjsama sudah ada sejak lama, namun hingga kini masih mesti diingatkan. Selama bangsa kita masih menilai “Flu itu sakit biasa” maka batuk dan bersin akan dianggap biasa pula. Dulu waktu sekolah di Amerika Serikat, saya pernah batuk berulang kali di kelas. Dosen akhir mengajar mengunjungi saya: “Iwan jika kau sakit, pulang saja, istirahat satu dua hari”. Saya tahu maksudnya, biar tidak menulari yang lain. Memang benar demikian. Kalau kita batuk dan bersin kemudian meludah dan buang ingus, camkan etikanya mesti bagaimana. Tapi jika sakit, pulang dan istirahat di rumah. Ini juga tatakrama (IwMM)
Sambungan dari: Subasita Jawa (3): Kentut, Berak dan Kencing
Sambungan dari: Subasita Jawa (3): Kentut, Berak dan Kencing
Dilanjutkan ke: Subasita Jawa (5): Marah
0 Komentar untuk "Subasita Jawa (4): Yang Keluar Dari Lisan Dan Hidung"