Subasita Jawa (6): Bicara


 
Benar kata peribahasa “Berbicara peliharalah lidah” atau “Mulutmu macan kamu”, maknanya kita mesti hati-hati dengan obrolan kita. Dalam “Serat Subasita” bukan “isi” obrolan yang dibahas melainkan “cara” kita bicara

Apa saja yang tergolong “degsura” dalam cara kita bicara?

Pertama, merupakan “bicara dengan suara keras”. Tatakrama Jawa memang mengajarkan mudah-mudahan kita tidak bicara keras-keras, terlebih jikalau posisi kita dekat dengan kawan bicara kita.

Ke dua, merupakan “bicara dengan berbisik-bisik” terlebih jikalau ada orang lain lagi disamping kawan bisik-bisik kita. Ada kesempatan kita disangka “ngrasani” orang itu. Kalau memang ada obrolan yang bersifat rahasia, keluar dahulu ke wilayah lain agar tidak dicurigai bicara yang bukan-bukan.

Ke tiga, jangan bicara sambil tertawa alasannya tergolong degsura. Tidak bolehkan kita tertawa? Boleh-boleh saja jikalau memang ada yang lucu, namun bukan kita tertawa sambil bicara. Sudah seharusnya pula kita tidak tertawa atas apa yang kita bicarakan. Yang tertawa mestinya kawan bicara kita. Kalau toh kita mesti tertawa, ya sehabis simpulan bicara. Tertawa dalam pitutur Jawa mesti “empan papan”

Ke empat, bicara “celometan” didepan orang renta dan perempuan merupakan “degsura”. Wanita boleh menghalau pria yang bicara “celometan”.

Ke lima, tidak bicara multitafsir di depan wanita. Multitafsir mempunyai arti mengandung rahasia, konotasinya hati kita tidak bersih. Walaupun perempuan itu telah dekat seumpama saudara, tetap dianggap “murang tata”.

Ke enam, memotong pembicaraan orang lain. Kaprikornus dengarkan dahulu hingga orang simpulan bicara, gres menimpali. Memotong atau menyela terlebih lalu menggantikan merupakan langkah-langkah degsura. Bila kita kadung memangkas lalu sadar akan kesalahan kita, cepat-cepatlah mohon maaf.

Ada kawan orang Jawa juga, bertanya: Apa orang Jawa jikalau ngomong mesti ditata ya. Sebenarnya juga tidak namun ada tatakrama dalam bicara utamanya menghadapi orang yang lebih renta dan wanita. Walau demikian sifat anteng, meneng dan jatmika merupakan yang lebih baik, paling tidak menurut ukuran dulu.
 
Sambungan dari: Subasita Jawa (5): Marah

Related : Subasita Jawa (6): Bicara

0 Komentar untuk "Subasita Jawa (6): Bicara"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)