Subasita Jawa (8): Merokok

Yang dibahas dalam Serat Subasita, karangan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, 1914 yakni sopan santun orang merokok di saat bertamu. Bukan larangan merokok. Bagaimanapun tidak merokok yakni yang paling baik. Saya tulis alasannya yakni rasanya masih ada yang berkaitan untuk jaman sekarang, meskipun tinjauannya cuma dari segi tatakrama, bukan dari segi kesehatan. Tetapi apabila diperhatikan, orang yang menggunakan susila ini dalam urusan merokok, sebenarnya hampir tidak ada potensi untuk merokok, kecuali beliau sendirian dan tidak ada orang lain di dekatnya.
 
BERTAMU

Merokok di saat bertamu ialah sikap “degsura”. Kalau dalam perjalanan kita merokok, kemudian hingga di rumah yang kita tuju rokok masih panjang, jangan sayang mencampakkan jauh-jauh puntung yang masih panjang itu (matikan dahulu apinya). Jangan hingga kita masuk rumah atau kantor orang dalam kondisi kebal-kebul merokok.

Jangan merokok rokok kita sendiri, tunggulah hingga ditawari rokok oleh tuan rumah. Kaprikornus apabila tuan rumah tidak merokok ya jangan merokok. Pada jaman kini masih banyak perokok yang tidak bisa menahan diri apabila bertamu baik di rumah/kantor sesama perokok maupun bukan perokok. Tuan rumah yang perokok barangkali tidak memasalahkan namun yang bukan perokok niscaya merasa tidak bahagia meskipun tidak diungkapkan.

Setelah rokok santapan habis, jangan terus mentang-mentang boleh merokok kemudian menyalakan rokoknya sendiri. Hal ini tidak sopan alasannya yakni dianggap meremehkan suguhan. Kalau masih ingin merokok ya tunggu hingga tuan rumah menawari lagi. Mudah-mudahan saja tuan rumahnya perokok berat dan menawari lagi, sehingga dapat sambung-menyambung dengan lancar.

Kalau yang dipersiapkan cerutu, sedangkan kita tidak besar lengan berkuasa merokok cerutu, maka kita boleh menolak dengan argumentasi bahwa cerutu terlalu berat, kemudian mohon ijin merokok rokok kita sendiri. Tetapi apabila tuan rumah kemudian memberikan rokok yang bukan cerutu, tidak ada argumentasi bagi kita untuk merokok punya kita sendiri.

MENERIMA TAMU

Eyang saya dahulu pegawai Belanda dan perokok. Setelah merdeka pun di rumahnya masih menawarkan cerutu, rokok putih dan tembakau shag maupun pipa. Bila ada tamu, yang dipersiapkan yakni cerutu dan rokok putih yang tersimpan dalam kotak bagus.

Dalam Serat Subasita disebutkan bila kita punya cerutu dan rokok putih tersimpan dalam satu “slepen” (tempat rokok), pilih yang bagus, ditarik sedikit mudah-mudahan gampang mengambilnya, kemudian lebih sopan apabila memamerkan cerutunya lebih dahulu.Habis itu nyalakan sekali rokoknya. Kalau tamu menegaskan sigaretnya, itu dongeng lain. Boleh-boleh saja.

MEROKOK DI DEPAN WANITA

Unggah-ungguh Jawa intinya menghormati wanita. Kita tidak boleh merokok di erat wanita. Tidak cuma menghasilkan sesak napas namun juga tidak sopan. Saat itu orang barangkali belum tahu bahwa orang yang tidak merokok apabila erat dengan orang yang sedang merokok sebenarnya tergolong merokok juga, yang disebut perokok pasif. Perokok pasif pun berisiko untuk terkena kanker paru. Demikian pula untuk perempuan hamil selaku perokok pasif pun punya risiko  melahirkan  bayi dengan berat tubuh rendah

Budaya Belanda pada masa itu mengijinkan merokok di erat wanita, asal minta ijin dan diberi ijin. Dengan catatan asap tidak boleh lari ke arah perempuan di erat kita. Kalau mengarah ke perempuan di erat kita, asap tersebut mesti kita usir. Entah dengan tangan atau dengan alat lain. Ya apabila begitu lebih baik tidak usah merokok

CATATAN

Jangan lupa ini yakni goresan pena tahun 1914. Jaman kini hukum tentang rokok sudah kian ketat. Penyuluhan tentang ancaman rokok untuk diri sendiri maupun orang lain juga sudah cukup gencar. Ancaman denda besar untuk orang yang merokok di wilayah larangan merokok juga sudah ada, namun dimana-mana masih banyak orang merokok.

Subasita  merokok di atas, kalau kita terapkan demi keamanan orang lain, sebenarnya  bisa mencegah keinginan orang ingin merokok, apabila ia mau melaksanakan. Contohnya:

(1) Pasti tidak akan ada orang merokok di dalam kendaraan umum, karena disitu niscaya ada wanita, mempunyai arti tidak boleh merokok.
(2) Ketika bertamu, apabila hitungan antusias persentase perokok yakni 30 persen maka potensi kita untuk merokok kira-kira cuma satu banding tiga. Itupun apabila ditawari. Kalau tidak ditawari, ya ngaplo alasannya yakni dihentikan merokok rokoknya sendiri (IwMM).

 
Dilanjutkan ke: Subasita Jawa (9): Makan

Related : Subasita Jawa (8): Merokok

0 Komentar untuk "Subasita Jawa (8): Merokok"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)