Merenungi Kembali Respon Kita Dikala Si Kecil Menjatuhkan Gelasnya

Source image: pxhere
"PRAANNGG!!" dan botol beling itupun terhempas dan berkecai di lantai. Wajah kecil itu memucat dan perlahan menatap ke atas, ke tampang seseorang yang amat dikenalinya. Menunggu respon. Menerima nasib.

Anak kecil itu menatap ibunya, setelah secara tidak sengaja, tangannya menyenggol suatu pot beling dan memecahkannya. Respons yang ia tunggu? Teriakan, marah, kecewa sekaligus rentetan nasihat. Ia merencanakan dirinya. Mentalnya. Ia tahu ia salah.

Lalu, ibu itu menjajal meredam keterkejutannya, berguru perlahan mendatangkan senyum, dan berkata dengan perlahan: Ngak papa nak, ngak sengaja kan?

Anak kecil itu tergamam. Bukan ini respons yang diharapkannya, ia terkejut. Kenapa mamanya tiba-tiba berubah? Padahal ia sedang merencanakan diri menghadapi murkanya.

Lalu perlahan tampang kecil itu mulai bertahap berganti santai, masih menjajal mencerna, apa yang menghasilkan ibunya berubah. Drastis! 360 derajat!.

Ibu itu lagi dengan gesit mengangkat anak kecil itu dari tempatnya berdiri, memindahkannya ke wilayah yang lebih aman, dan menyuruhnya menjauh. Ia pun perlahan lahan mulai membersihkan potongan beling yang bertabur radius 100 meter dari wilayah permulaan pot beling itu berada.

Si anak menjajal memahami, apa yang sedang terjadi. Kemana ibunya yang suka emosi, gampang murka dan teriak itu pergi. Ia masih belum sanggup percaya.

Kejadian diatas terdengar familiar? Mungkin bagi orangtua yang masih memiliki balita, iya. Namun respons ibunya? Apakah anda menyerupai itu juga?

Seringkali kita bertindak reaksional, responsive, pada insiden di sekeliling kita. Tanpa apalagi dulu menampilkan otak semenit dua untuk menjajal lebih mengerti kondisi dan berfikir bagaimana bereaksi atasnya?

Padahal, satu dua menit itulah yang justru SANGAT KRUSIAL dan PENTING yang mau SANGAT membedakan bagaimana kita kelak bereaksi. Tanpa mesti menyesalinya kemudian.

Masalah pecah/rusaknya suatu benda di rumah, memang sungguh gampang untuk memancing ibu-ibu untuk beremosi. Padahal, jauh di lubuk hati, kita tahu. Semua ada waktunya. Ada waktunya untuk semua benda rusak/diganti, bahkan ada waktunya untuk kita juga pergi, selama-lamanya.

Terkadang waktu suatu benda untuk tetap utuh, ada yang lama, ada juga yang gres saja hingga di rumah, eksklusif tiada. Belum rezeki namanya.

Namun lucunya, apabila benda tersebut dirusak/ dipecahkan oleh orang lain atau tamu, secara tiba-tiba kita sanggup bereaksi sopan dan memaafkan sambil menyampaikan “Ah, ngak papa kok, namanya juga anak kecil”, “Ini murah kok”, “Besok sanggup beli lagi”, “Lagian ini juga udah tua”, dan ribuan argumentasi yang lain untuk meminimalkan rasa tidak nikmat sang tamu yang sudah melaksanakan kesalahan tersebut.

Tapi, kenapa kita tidak sanggup melakukannya pada anak?

Apa alasannya anak sengaja memecahkan/ menghancurkan benda tersebut? Nggak juga, kan? Terkadang, tangannya licin, motorik kasarnya belum sempurna, kerap kali gengamannya belum kuat, dlsb. Tapi, kita memutuskan untuk menepikan semua itu, dan murka pada anak.

Jika anak saya menumpahkan masakan yang gres saja kami pesan atau beli, dan bahkan belum sempat kami cicipi, saya berupaya “menggeser paradigma” dalam menyaksikan hal ini.

Saya akan tersenyum pada anak yang merasa bersalah, dan menyampaikan “Mungkin ada sesuatu yang kurang baik yang ada di masakan itu, yang Allah ngak mau kita makan. Ya sudah, ngak papa. Kita beli aja lagi”.

Mengajarkan bahwa mungkin ada hal hal yang di luar sepengetahuan kita yang terjadi, yaitu cara menatap sesuatu biar sanggup lebih mendapatkan keadaan.

Toh, memang ada Allah yang maha mengontrol segala, dan tidak ada yang tidak sengaja bagi Allah. Semua dalam perhitungan-Nya secara tepat dan detail.

Memang, sanggup juga hal tersebut terjadi alasannya keteledoran anak. Tapi yakinlah, tidak ada anak yang dengan sengaja menjatuhkan masakan yang gres dipesan dan atau memecahkan suatu benda beling biar dimarahi oleh orangtuanya.

Cara orangtua, utamanya ibu, apabila ia yaitu pengasuh utama anaknya, menghadapi dan berespons kepada insiden tragedi ‘kecelakaan’ menyerupai ini, jauh dan usang efeknya.

Anak akan sempat menyaksikan ke dalam dirinya, menyadari kesalahannya, dan mungkin bahkan lebih berhati hati kedepannya. Dibandingkan dengan mereka yang di marahi, dibentak, disalahkan dll.

Mereka akan lebih sibuk untuk menyelamatkan perasaanya, merasa makin bersalah, -dan yang terpenting- menyimpan semua itu dalam memorinya, dan kelak bereaksi yang serupa saat ada yang melaksanakan hal menyerupai itu juga.

Orangtua itu contoh. Tidak sanggup tidak. Tidak sanggup lebih ditekankan lagi. Maka setiap gerak geriknya akan dicontoh. Tidak terkecuali, reaksinya saat terkejut dana atau kesal/marah.

Mencoba mengajak anak bernalar, bahwa mungkin ada hikmah di balik insiden ini, akan berakibat panjang dan usang pada anak. Sehingga, saat ia mendapatkan kesusahan dan kesusahan dalam hidupnya kelak, ia sudah sudah biasa “menggeser paradgima”, dan menjajal menyaksikan segala sesuatunya dari segi lain. Mungkin yang maha kuasa ingin menyelamatkan kita dibandingkan dengan suatu keburukan. Mungkin Allah akan gantikan dengan yang lebih baik. Mungkin ada hikmah dibelakang semua ini.

Mereka akan lebih gampang mendapatkan suatu kesusahan, dan tidak reaksional terhadapnya. Bukankah ini yang kita kehendaki nantinya? Agar mereka sanggup lebih bijaksana dalam menyaksikan suatu insiden yang tidak pas dengan impian dan usahanya?

Sudahkah kita mencontohkannya, utamanya pada insiden kecil sehari-harinya? Kalau bukan sekarang, mulainya kapan? Kalau nggak terus belajar, betulnya kapan? Wallahu a’lam bis shawab.

WINA RISMAN
Sumber https://www.parentnial.com/

Related : Merenungi Kembali Respon Kita Dikala Si Kecil Menjatuhkan Gelasnya

0 Komentar untuk "Merenungi Kembali Respon Kita Dikala Si Kecil Menjatuhkan Gelasnya"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)