"BU, SAYA CAPEK. Suami saya bila murka sama saya, dia senantiasa mengungkit dirinya yakni seorang qowwam (pemimpin). Apalagi di tambah kata-kata, 'jika kau tidak taat, maka saya akan mencari orang lain yang lebih baik dari kamu'".
Alhasil, si istri hidup dalam ketertekanan. Tak berani menyodorkan aspirasi apapun yang ada dalam hatinya. Masih untung banyak kawan dekat yang perhatian padanya, sehingga dikala kesedihan melanda. Ada orang lain yang menghiburnya.
Begitulah curhat seorang ibu, yang katanya cuma gegara kata qowwam tersebut alhasil suaminya tidak mau berubah. Ketika dinasehati istrinya bahkan teman- temannya sendiri.
Qowwam dengan persepsi dangkal menghasilkan dia menjadi sosok insan layaknya Fir'aun yang wajib untuk ditaati walau titahnya salah. Wuiiih, serem, kan.
Ada lagi curhat seorang ibu lain.
"Bu, dikala suami saya ingin mengajak saya bepergian dan dia belum hingga rumah, tiba tiba nge-chat saya bahwa sekitar 15 menit dia nyampe ke tempat tinggal dan memerintahkan saya dan bawah umur mesti sudah dalam kondisi bersiap untuk jalan ke blablablabla,"...
"Saya suka saja diajak jalan, Bu. Namun dengan bawah umur yang masih kecil, antisipasi saya tentu sungguh luar biasa. Belum lagi dikala itu ada anak saya yang menyibukkan diatur, maka makin lambatlah antisipasi kami".
"Apalagi kadang suami cuma menampilkan space waktu yang kadang tidak masuk akal. Bahkan tidak mau tau betapa sulitnya saya mesti mengkondisikan anak-anak, mengubah baju mereka dengan busana patut untuk bepergian, merencanakan sesuatu yang dikehendaki dan lain-lain".
"Masih mending dikala suami saya tiba dan menyaksikan antisipasi saya belum kelar, dia menolong saya, eh malah dianya asyik main hape gak peduli dengan suasana saya".
Begitulah kisah seorang ibu dengan empat orang anaknya yang masih kecil-kecil. Ditambah lagi dalam ceritanya bahwa suaminya senantiasa tidak mau tau dikala sang istri terjun dalam kendala rumah tangga dengan segala tetek bengeknya.
Si ayah merasa dirinya qowwam, bahkan kata-kata bahaya akan menceraikan istri bila si istri tidak mentaati suami senantiasa menjadi power yang ditujukan terhadap istri dikala emosi suami meninggi.
Duh-duh-duh, membuat terenyuh para perempuan yg mendengarkannya, utamanya para perempuan yang masih punya hati, dengan kodrat kewanitaannya pastinya. Walau tak ujuk-ujuk emosi ikut campur menghakimi, namun geregetan itu pasti.
Walau bagaimanapun, orang luar yang dicurhati yakni layaknya penonton yang tidak mengenali secara utuh suatu pertentangan rumah tangga. Ibarat penonton bioskop yang cuma bisa menikmati film yang sudah tersaji tanpa paham proses pembuatannya.
Saya tidak dapat bayangkan dikala aneka macam seorang istri bila tidak sabar alhasil meminta "pisah", membuat perceraian alasannya yakni dangkalnya pengertian seorang suami ihwal definisi qowwam. Maka betapa sarat antrian somasi cerai yang terdaftar dalam list Pengadilan Agama.
Mereka yang berkesimpulan bahwa qowwam hanyalah sekedar suatu kekuatan suami yang menghasilkan si istri mesti tunduk dalam titahnya tanpa menyaksikan kondisi dan suasana sang istri, saklek.
Begini, bro. Sebelum kau mengkoarkan ke qowwam-mu terhadap istrimu, sudahkan engkau menjadi qowwam bagi dirimu sendiri dikala setan menguasai hatimu dan menjerumuskan dirimu terhadap lembah dosa?
Jika sudah, maka fix, kau patut disebut qowwam bagi orang-orang di sekitarmu atau dalam hal ini keluargamu.
Saya kalut qowwam-mu cuma sebatas menuruti nafsu dan ego belaka. Sehingga bukan kemashalahatan yang dilaksanakan tetapi cuma kemudharatan yang tertanamkan. Kamu butuh orang lain, bro, untuk menasehati dirimu, tergolong dari istri dan anak-anakmu.
Khawatir pengertian qowwam sepertimu patut untuk "diiris-tipis" tipis, terus dimasukkan ke dalam penggorengan, tetapi dikala belum matang, ironisnya ingin siap-siap dihidangkan biar orang sedunia faham.
Untungnya, penikmat santapan qowwam-mu itu tak muntah atau menyingkir darimu alasannya yakni merasa itu terlalu mentah bahkan tak patut untuk dikonsumsi bahkan disajikan. Namun demi penghormatan, santapan tersebut dimakan. Akhirnya mereka sakit perut dan masuk UGD, kau sendiri yang repot, he-he-he.
Oleh alasannya yakni itu, masbro, matangkan dahulu pemahamanmu ihwal qowwam, biar gak banyak korban di kemudian hari.
Ketika kau ingin bersikap menyerupai Rasulullah, sudahkan abjad Rasulullah menempel dalam kehidupanmu. Rasulullah yang penyayang. Rasulullah yang ketegasannya tak mengumbar emosi bahkan nafsunya dalam setiap pertentangan keluarganya.
Rasulullah yang bijak. Rasulullah yang santun. Rasulullah yang senantiasa mengerti impian para istri-istrinya tanpa menghina kekurangannya. Rasulullah yang menghormati istri-istrinya.
Ah, aneka macam abjad qowwam Rasulullah yang menghasilkan para perempuan tersanjung bila berada di akrab beliau. Rasulullah yang hebat nirwana sehingga bisa mengajak istrinya menjadi penghuni nirwana bersamanya. Wallahu a'lam. Sumber https://www.parentnial.com/
Alhasil, si istri hidup dalam ketertekanan. Tak berani menyodorkan aspirasi apapun yang ada dalam hatinya. Masih untung banyak kawan dekat yang perhatian padanya, sehingga dikala kesedihan melanda. Ada orang lain yang menghiburnya.
Begitulah curhat seorang ibu, yang katanya cuma gegara kata qowwam tersebut alhasil suaminya tidak mau berubah. Ketika dinasehati istrinya bahkan teman- temannya sendiri.
Qowwam dengan persepsi dangkal menghasilkan dia menjadi sosok insan layaknya Fir'aun yang wajib untuk ditaati walau titahnya salah. Wuiiih, serem, kan.
Ada lagi curhat seorang ibu lain.
"Bu, dikala suami saya ingin mengajak saya bepergian dan dia belum hingga rumah, tiba tiba nge-chat saya bahwa sekitar 15 menit dia nyampe ke tempat tinggal dan memerintahkan saya dan bawah umur mesti sudah dalam kondisi bersiap untuk jalan ke blablablabla,"...
"Saya suka saja diajak jalan, Bu. Namun dengan bawah umur yang masih kecil, antisipasi saya tentu sungguh luar biasa. Belum lagi dikala itu ada anak saya yang menyibukkan diatur, maka makin lambatlah antisipasi kami".
"Apalagi kadang suami cuma menampilkan space waktu yang kadang tidak masuk akal. Bahkan tidak mau tau betapa sulitnya saya mesti mengkondisikan anak-anak, mengubah baju mereka dengan busana patut untuk bepergian, merencanakan sesuatu yang dikehendaki dan lain-lain".
"Masih mending dikala suami saya tiba dan menyaksikan antisipasi saya belum kelar, dia menolong saya, eh malah dianya asyik main hape gak peduli dengan suasana saya".
========
Si ayah merasa dirinya qowwam, bahkan kata-kata bahaya akan menceraikan istri bila si istri tidak mentaati suami senantiasa menjadi power yang ditujukan terhadap istri dikala emosi suami meninggi.
Duh-duh-duh, membuat terenyuh para perempuan yg mendengarkannya, utamanya para perempuan yang masih punya hati, dengan kodrat kewanitaannya pastinya. Walau tak ujuk-ujuk emosi ikut campur menghakimi, namun geregetan itu pasti.
Walau bagaimanapun, orang luar yang dicurhati yakni layaknya penonton yang tidak mengenali secara utuh suatu pertentangan rumah tangga. Ibarat penonton bioskop yang cuma bisa menikmati film yang sudah tersaji tanpa paham proses pembuatannya.
Saya tidak dapat bayangkan dikala aneka macam seorang istri bila tidak sabar alhasil meminta "pisah", membuat perceraian alasannya yakni dangkalnya pengertian seorang suami ihwal definisi qowwam. Maka betapa sarat antrian somasi cerai yang terdaftar dalam list Pengadilan Agama.
Mereka yang berkesimpulan bahwa qowwam hanyalah sekedar suatu kekuatan suami yang menghasilkan si istri mesti tunduk dalam titahnya tanpa menyaksikan kondisi dan suasana sang istri, saklek.
Begini, bro. Sebelum kau mengkoarkan ke qowwam-mu terhadap istrimu, sudahkan engkau menjadi qowwam bagi dirimu sendiri dikala setan menguasai hatimu dan menjerumuskan dirimu terhadap lembah dosa?
Jika sudah, maka fix, kau patut disebut qowwam bagi orang-orang di sekitarmu atau dalam hal ini keluargamu.
Saya kalut qowwam-mu cuma sebatas menuruti nafsu dan ego belaka. Sehingga bukan kemashalahatan yang dilaksanakan tetapi cuma kemudharatan yang tertanamkan. Kamu butuh orang lain, bro, untuk menasehati dirimu, tergolong dari istri dan anak-anakmu.
Khawatir pengertian qowwam sepertimu patut untuk "diiris-tipis" tipis, terus dimasukkan ke dalam penggorengan, tetapi dikala belum matang, ironisnya ingin siap-siap dihidangkan biar orang sedunia faham.
Untungnya, penikmat santapan qowwam-mu itu tak muntah atau menyingkir darimu alasannya yakni merasa itu terlalu mentah bahkan tak patut untuk dikonsumsi bahkan disajikan. Namun demi penghormatan, santapan tersebut dimakan. Akhirnya mereka sakit perut dan masuk UGD, kau sendiri yang repot, he-he-he.
Oleh alasannya yakni itu, masbro, matangkan dahulu pemahamanmu ihwal qowwam, biar gak banyak korban di kemudian hari.
Ketika kau ingin bersikap menyerupai Rasulullah, sudahkan abjad Rasulullah menempel dalam kehidupanmu. Rasulullah yang penyayang. Rasulullah yang ketegasannya tak mengumbar emosi bahkan nafsunya dalam setiap pertentangan keluarganya.
Rasulullah yang bijak. Rasulullah yang santun. Rasulullah yang senantiasa mengerti impian para istri-istrinya tanpa menghina kekurangannya. Rasulullah yang menghormati istri-istrinya.
Ah, aneka macam abjad qowwam Rasulullah yang menghasilkan para perempuan tersanjung bila berada di akrab beliau. Rasulullah yang hebat nirwana sehingga bisa mengajak istrinya menjadi penghuni nirwana bersamanya. Wallahu a'lam. Sumber https://www.parentnial.com/
0 Komentar untuk "Suami Selaku Pemimpin, Tetaplah Muliakan Istri Selaku Wanita"